Hujan. Hujan sepagi ini. Alam yang muram. Mendukung kelam
dan mendung dalam kamar Olivia. Berbagai memori tentang mama dan papanya
berkelebatan bagai video yang dipercepat. Apa, bagaimana, mengapa, dan kenapa
terus bergulir dalam kepalanya. Menghantuinya. Membuatnya berguling tak tentu
di atas ranjang. Ah, konyol. Dia tak tahu apa-apa. Padahal dia anak mereka.
Anak mama papanya. Mengapa dia mesti tidak tahu? Kenapa dia jadi pihak yang
buta keadaan? Di mana letak masalahnya?
Selama ini kedua orangtuanya nampak baik-baik saja.
Walaupun kedua orang tuanya bekerja, Olivia tidak merasa kesepian. Dia punya
banyak teman yang bisa menemani kekosongannya. Meski menyakitkan di perayaan
hari ibu waktu sekolah dasar dulu mamanya tak pernah hadir. Meski menyedihkan
di hari ia menjuarai lomba lari dulu papanya tidak melihatnya menerima piala di
panggung. Tapi itu cuma masalah kecil. Masalah yang bisa ia atasi lebih mudah.
Namun, perkara kali ini jauh lebih susah.
Ia tak ada di dekat kedua orang tuanya ketika mereka akan
bercerai. Ia justru berjarak entah berapa ratus kilo dari kota asalnya, merasa
asing, dan tanpa kawan. Mungkin ia kurang peka. Mungkin ia tidak merasa. Pasti
ada tanda-tanda yang menujukkan ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga. Olivia
mulai merenung sangat dalam.
"Kamu terlalu
memanjakan dia."
"Dia anakku. Memangnya
kenapa?"
"Kamu cuma balas dendam
karena enam hari dalam seminggu kamu sibuk bekerja. Setiap ada waktu luang,
kamu memberi dia hadiah berlebihan. Kamu kira hadiah-hadiah itu akan mengganti
waktu yang terbuang?"
"Aku hanya ingin
menunjukkan rasa terima kasih karena dia menjadi anak yang menis walau kedua
orang tuanya sibuk mencari uang. Aku tidak berlebihan. Apa yang berlebihan dari
sikap penuh kasih sayang kepada anak sendiri?"
"Hari minggu kamu
jadikan one stop service. Itu bukan
cara mendidik yang baik!"
"Kamu bisa mendidik dia
lebih baik? Kamu bisa punya waktu luang lebih banyak? Kamu tidak pernah
mengambilkan rapot dia di sekolah."
"Jangan membela diri.
Kamu pernah ambilkan rapot dia satu kali."
"Satu kali. Dibanding
tidak sama sekali."
"Kamu siapkan bajunya
setelah mandi, mengambilkannya makanan, dia tidak mandiri! Menyayangi tidak
sama dengan memanjakan."
"Alah, kamu bisanya
menasehati. Praktekkan dong, buktikan!"
Bisa jadi itu contoh pertengkaan orang tuanya yang tak ia
sadari di kemudian hari menjadi sumber konflik. Bodohnya Olivia. Ia mengutuki
diri. Aku melewatkan bagian ini.
Atau, mungkin pertengkaran lain. Waktu kedua orang tuanya berebut perhatiannya.
Mama memaksa agar papa setuju merayakan ulang tahun Olivia secara
besar-besaran. Papa menolak. Selain karena hari itu papa harus pergi ke luar
kota, papa juga merasa itu hanya buang-buang uang. "Ajak saja dia makan di
restoran favoritnya. Pesta itu mubazir," komentar papa kala itu. Lalu mama
tetap pada pendiriannya. Meski papa di luar kota, mama merayakan ulang tahun
Olivia. Tanpa papa.
Sepanjang hari, Olivia tidak keluar dari kamar. Eyang
juga tidak mencoba membujuknya keluar. Telpon berdering beberapa kali diikuti
pembicaraan singkat. Pasti mama dan eyang. Tanpa melibatkan Olivia. Kenapa tidak cerita, keluhnya. Dia bukan
anak-anak. Oke, usianya baru enam belas tahun. Hampir enam belas. Tapi dia
sudah SMA. Dia bisa mengerti. Bisa memahami. Dia juga bagian dari keluarga
mereka.
***
"Ayo senyum!" Mas Wahyu menggodanya. Olivia
mengumpulkan nafas. Menghembuskannya, lantas berusaha membentuk garis di
bibirnya. "Kok senyumnya terpaksa gitu? Lagi sedih ya?" Lagi-lagi Mas
Wahyu berusaha memecahkan kekakuan. Namun Olivia tidak berminat meladeni
candanya. Terasa hambar. Tidak menarik perhatiam. Tak seperti biasanya, kalau
melihat Mas Wahyu, bungah jiwanya.
"Mas, tahu namaku dari mana?" tanya Olivia
tiba-tiba. Ia masih penasaran kenapa dulu Mas Wahyu menyapanya lalu
mengantarnya pulang. "Menurutmu dari mana?" Olivia membuang muka.
Ditanya malah balik bertanya. Mas Wahyu memang suka bercanda. Sayang, Olivia
tengah malas menanggapi. "Mas cari tahu tentang aku ya? Mas naksir aku
ya?" Mas Wahyu tergelak. "Justru mas yang harus tanya kenapa kamu
sering liatin mas dari jauh." Olivia mengangkat alis. Lho, Mas Wahyu bisa
tahu?
"Mas ge-er nih!"
"Tapi betul kan?"
"Mm……"
"Jawab saja, dik! Kamu
tidak perlu malu."
"Iya deh, iya."
Mas Wahyu bercerita, teman-temannya melapor ada anak baru
yang sering mengamatinya dari. Kemudian Mas Wahyu mencari tahu tentang Olivia.
"Dan ternyata, mas jadi suka kamu." Olivia menutup mulutnya dengan
tangan, berusaha menahan ledakan tawa. Tawa bahagia. Ah, Mas Wahyu bisa saja. "Kamu
suka mas juga, kan?" Olivia berusaha keras menahan diri. Salah tingkah.
Bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan. Keluarganya sedang dalam
masalah dan ia justru tengah jatuh hati. Ya ampun. "Dik?" Olivia
meringis. "Mas sudah tahu kan, jawabannya?"
Sebelumnya:
so sweettttt
BalasHapus