"Kamu anak kelas satu yang dari kota itu, ya?"
Olivia mendongak dari buku yang ia baca. Mengganggu.
Di dekatnya berdiri seorang anak lelaki, dengan bola sepak di tangan kiri.
"Iya. Kenapa?"
"Tidak ada
apa-apa." Lelaki itu berlalu. Olivia mengerutkan kening. Dasar aneh. Memangnya kenapa kalau aku
dari kota? Masalah buat dia? Olivia ingat, beberapa kali ia merasa ada yang
melihatnya dengan sinis. Mungkin laki-laki itu orangnya. Olivia kembali
melanjutkan membaca buku. Ia tengah menunggu Mas Wahyu pulang. Mereka akan
bermain ke kota kecamatan.
Sebagai anak kelas satu, Olivia menjalani nasib yang sama
dengan anak-anak kelas satu lainnya. Masih menjaga sikap sebaik mungkin.
Berusaha tidak membuat kesalahan atau terlihat mencolok. Bersua dengan kakak
kelas pun masih segan. Rasa sungkan tumbuh, merasa diri anak bawang. Hanya satu
dua yang benar-benar merebut perhatian. Seperti Rika, teman sekelasnya.
Perempuan yang cantik dan centil. Dalam seminggu, hampir semua anak lelaki
kelas dua dan tiga telah mengenal Rika. Dengar-dengar mantan pacarnya anak kelas
tiga. Hebat juga.
Tidak banyak yang tahu tentang hubungan Olivia dan Mas
Wahyu. Mereka jarang terlihat berdua di sekolah. Apalagi sekolah mereka
menerapkan sistem moving class
sehingga mereka tak punya kelas tetap. Di sekolah, Mas Wahyu lebih banyak menghabiskan
waktu dengan teman-temannya. Sesekali ia menyambangi Olivia. Namun tak ada yang
curiga tentang status hubungan mereka.
Olivia sangat bersyukur berpacaran dengan Mas Wahyu.
Tanpanya, mungkin Olivia akan sangat kesepian. Ia tidak nyaman dengan teman-teman
barunya. Tak mengerti bahasa atau apa yang mereka bicarakan. Tak memahami apa
yang memancing mereka tertawa. Apalagi beberapa anak bersikap berlebihan.
Membandingkan kota dengan desa. Bertanya banyak hal tentang kota. Membuat
Olivia merasa semakin berbeda.
"Apa rasanya tinggal di
kota?"
"Sama saja, seperti
kamu tinggal di sini."
"Ah, beda. Di sana ada
bioskop. Banyak mall. Aku lihat di tv-tv begitu. Pulang sekolah, anak-anak main
di mall."
"Itu kan sinetron.
Tidak semua anak yang pulang sekolah langsung pergi ke mall."
"Kamu suka ke
mall?"
"Kadang-kadang."
"Terus kenapa kamu
pindah ke sini? Di sini kan tidak ada mall. Mall letaknya jauh."
"Karena aku ke sini
bukan untuk main di mall. Tapi sekolah."
"Bukannya sekolah di
kota bagus-bagus?"
"Siapa bilang? Tidak
semua sekolah di kota lebih bagus dari pada di desa."
"Tapi pasti beda."
"Perbedaan itu
wajar."
"Bedanya seperti
apa?"
Olivia menyerah. Percakapan berakhir dengan wajah Olivia
yang bertekuk. Dia bingung bagaimana menghadapi pertanyaan teman-temannya.
Hidup di kota bukanlah segalanya. Dia tidak nyaman bila ditanya terus menerus.
Karena dia tidak mau berbohong. Aku
memang lebih suka di kota tapi mama memilih agar aku sekolah di desa. Apa yang
wajar dari pilihan itu? Olivia mendengus. Kecewa tergambar di wajahnya.
Ketika teman-temannya berkumpul dan bermain sepulang sekolah, ia enggan
terlibat. Sering ia terdiam karena teman-temannya asyik dalam dunia mereka. Ia
berbeda. Ia hanya pendatang.
"Kamu tidak boleh begitu." Mas Wahyu duduk di
sampingnya. "Jangan merasa berbeda. Bukan soal kamu datang dari mana. Tapi
bagaimana caranya kamu bertahan dan berjuang menghadapi perbedaan. Kamu memang
orang baru tapi kamu tidak selamanya menyandang predikat baru. Makin lama kamu
tinggal di sini, seharusnya kamu makin terbiasa. Kamu yang harus menyesuaikan
diri. Bukan orang-orang yang mengalah buat kamu. Ayo dong, mana semangatmu?
Jangan mengeluh terus. Kapan kamu niat serius belajar bahasa Jawa? Kapan kamu
membuka diri dan menerima teman-teman barumu? Mas di sini sebagai pacarmu. Tapi
mas tidak selamanya ada buat kamu. Kalau mas sedang punya urusan, kamu dengan
siapa? Kamu akan bagaimana?"
Olivia masygul. Entah harus dijawab apa ceramah Mas Wahyu
barusan yang panjang lebar. Ia tidak menyangkal, ialah yang menjaga jarak. Tapi
mau apa lagi? Kecanggungan luar biasa menguasai dirinya. Tiap maju ke depan
kelas saja ia gemetar. Bingung mau bicara apa. Takut dicemooh. Takut dilihat.
Takut menjadi pusat. Seakan maju ke depan kelas setara dengan maju di
persidangan. Meski ia tak tahu rasanya disidang.
"Yuk, berangkat." Mas Wahyu memecah lamunanya.
Menggandenganya ke parkiran sepeda. "Sebentar ya. Mas ambil sepeda
dulu." Olivia hanya mengangguk. "Hei, kamu. Anak baru." Olivia
mencari asal suara. Anak lelaki yang tadi. Masih membawa bola. Wajahnya
terlihat kurang bersahabat. "Apa?" tanya Olivia menantang. Ia tak
suka dengan sikap lelaki itu. "Kamu pacaran dengan kakak kelas? Wah, hebat
sekali. Padahal anak baru. Sudah berani lirik kesana kemari." Kurang ajar
betul. Olivia bersidekap. Dagunya terangkat. "Keberatan?"
"Sedikit."
"Bukan urusanku."
"Kudengar, kamu tidak
punya teman."
"Bukan urusanmu."
"Kamu itu anak baru.
Kamu yang perlu menyesuaikan diri. Bukan orang lain yang mengikuti
kemauanmu."
"Aku tidak minta
nasehat."
"Kamu kekanakan."
"Lalu?"
"Kenapa orang seperti
Wahyu mau sama kamu?"
Olivia benar-benar dibuat jengkel. "Dengar.
Jangan-ikut-campur. Siapa pacarku atau berapa jumlah temanku, tidak ada
hubungannya denganmu. Aku anak baru, apa masalahmu? Tidak pernah jadi anak baru
ya? Kasihan."
"Aku tidak suka kamu
bersikap sombong. Banyak yang bilang kamu terlalu diam dan memakai alasan tidak
bisa bahasa Jawa. Kamu bukan siapa-siapa, jadi tolong jaga sikap dan kata-kata.
Coba dong latihan jadi pribadi yang rendah hati. Karena kamu di sini, kamu
perlu belajar bahasa Jawa. Bukan orang lain yang mengalah dan memakai bahasa
Indonesia."
"Bahasa Indonesia itu
bahasa persatuan."
"Kalau semua orang di
sini pakai bahasa Indonesia, bahasa Jawa bisa punah."
Kring kring! Bel sepeda Mas Wahyu terdengar dari
kejauhan. Mata lelaki itu menyipit. Ia segera pergi, meninggalkan Olivia yang
terlihat merah padam. Argh, apa maunya.
Mas Wahyu boleh menceramahiku. Tapi dia? Kenal saja tidak! "Maaf ya,
lama. Kamu kenapa, dik? Kamu marah?" Mas Wahyu terlihat heran melihat
perubahan bahasa tubuh dan ekspresi Olivia. "Eh, mm, tidak kok mas. Aku
naik, ya." Olivia duduk di boncengan. Berusaha mengendalikan amarahnya. Ia
tidak ingin Mas Wahyu tahu.
Sebelumnya:
klo pada rame dan nge-joke biasanya saia telat ktwa... tanya dulu artinya sama temen yang jawa... xixixi... agak sebel juga sih knp ga pake b indo aja... cumannn klo dipikir" di mana bumi di pijak yah disitu langit dijunjung kan? singkatnya "adaptasi"... alhasil lama" ngerti tapi pasif... soalnya klo ngomong suka diktawain krn aneh gt :D
BalasHapussaya juga suka gitu mbak kalo pulang kampung.kayak orang dari planet lain.merasa asing.hahahaha
Hapus