adrianpradana.wordpress.com |
Judul : Life of Pi
Penulis : Yann
Martel
Alih
bahasa : Tanti
Lesmana
Tebal : 448
halaman
Cetakan : Keenam,
Desember 2012
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Awalnya, Yann Martel ingin menulis
sebuah novel yang belatar belakang Portugal di tahun 1939. Ia berencana menulis
novel tersebut di India. Suatu ketika, ia bertemu seorang pria tua yang
berkata, “Saya punya cerita yang bakal membuat Anda percaya pada Tuhan.” (hal
11). Yann Martel pun tertarik dan mencoba mencari informasi pada sumber
tepercaya, satu-satunya korban selamat dari peristiwa tenggelamnya kapal
Tsimtsum. Korban itulah yang menjadi pemeran utama dalam buku ini, Piscine
Molitor Patel.
Kebanyakan orang India kesulitan
mengeja nama Piscine. Orang India melafalkannya sebagai pissing. Piscine kecil
sering menjadi bahan ejekan akibat namanya itu. Ia pun bertekad mengubah nasib.
Ketika menginjak bangku SMP, ia memperkenalkan diri sebagai Pi Patel. Orang tidak
lagi memanggilnya sebagai pissing tapi memanggilanya pi atau tiga koma satu
empat.
Namun bukan itu inti dari cerita
dalam buku ini. Life of Pi
menggambarkan perjuangan hidup seorang Pi Patel yang kehilangan keluarganya
dalam musibah tenggelamnya kapal Tsimtsum. Bagaimana ia bertahan hidup di
tengah Samudera Pasifik bersama sebuah sekoci dan seekor harimau Bengal selama
227 hari. Bagaimana ia tidak mau menyerah pada kematian dan tetap percaya pada
Tuhan. Di sini kisah ini mulai menarik.
Pi Patel digambarkan tumbuh dengan
latar belakang keluarga yang sekuler dan modern. Uniknya, ia tidak sekuler
seperti orang tua atau saudara
laki-lakinya. Pi menjadi anak yang religius. Sisi religiusnya dianggap
menyimpang oleh para pemuka agama di Pondicherry. Sebab ia secara terang-terangan
menganut tiga agama sekaligus yaitu Hindu, Islam, dan Kristen. Ketika hal ini
dipertanyakan oleh kedua orang tuanya, Pi menjawab, “Kata Bapu Gandhi, ‘semua
agama baiknya adanya.’ Aku cuma ingin mengasihi Tuhan.” (hal 112). Bapu Gandhi
yang dimaksud adalah Indira Gandhi, mantan perdana menteri India. Sepanjang kisah
ini, Indira Gandhi cukup berpengaruh terhadap pola pikir seorang Pi Patel.
Kecintaan Pi Patel terhadap hewan
telah tumbuh dalam hatinya sejak masa kanak-kanak. Pada bab-bab awal Life of Pi, Pi Patel banyak mengisahkan
kehidupannya yang menyenangkan di Pondicherry bersama hewan-hewan dalam kebun
binatang keluarganya. Ia memaparkan banyak fakta menarik tentang hewan yang
nantinya justru sangat menolongnya ketika terdampar di Samudera Pasifik.
Indira Gandhi yang nampaknya dipuja
oleh Pi Patel justru dikecam oleh ayahnya. Hingga sang ayah memutuskan membawa
keluarganya-beserta sebagian besar hewan dari kebun binatang mereka-untuk
pindah ke Kanada. Kemudian musibah tersebut terjadi. Pi sendirian waktu ia
berjuang menyelamatkan nyawanya di atas sekoci yang awalnya ia kira kosong. Di dalam
sekoci itu justru ada seekor hyena, zebra, orang utan, dan harimau bengal muda
bernama Richard Parker.
Kisah Pi Patel mungkin sulit
dipercaya oleh akal sehat manusia. Seorang anak usia enam belas tahun, di
tengah belantara Samudera Pasifik, sanggup bertahan hidup? Apalagi dengan
pengakuannya mengenai hewan-hewan yang menemaninya dalam sekoci (pada akhirnya
hanya ia dan Richard Parker yang selamat). Ketidakpercayaan ini menimpa dua
orang petugas dari Departemen Maritim Kementrian Transportasi Jepang yang
mencoba mencari tahu penyebab tenggelamnya kapal Tsimtsum. Pi menjawab, “Kehidupan
ini juga sulit dipercaya, tanyakan pada ilmuwan mana pun.Tuhan juga sulit
dipercaya, tanyakan pada siapa pun yang mempercayainya. Kenapa anda tidak bisa
menerima hal-hal yang sulit dipercaya?” (hal 417).
Untuk seorang anak laki-laki berusia
enam belas tahun, Pi Patel memiliki kecerdasan dan ketabahan yang luar biasa. Caranya
menyikapi hidup dan menjalaninya membuat siapa saja dapat terhenyak kagum. Ia tidak
ragu dalam dalam memutuskan sesuatu dan ia dapat mengilustrasikan dengan baik
alasan logisnya dalam mengambil keputusan.
Hal menarik lain dalam Life of Pi adalah cara Yann Martel dalam
menuliskan kisah Pi. Enam bab pertama membuat saya menebak-nebak, point of view macam apa yang digunakan
Yann Martel dalam menuliskan novelnya. Saya sedikit kebingungan. Kemudian saya
menyadari, Yann Martel tidak hanya menuliskan novel ini berdasarkan sudut
pandang orang pertama alias si pelaku, Pi Patel. Yann Martel juga bertindak
sebagai dirinya sendiri. Ia menceritakan kesan-kesannya ketika bertemu Pi
Patel, juga sedikit interaksi mereka. Ia juga tak alpha menggambarkan kehidupan
sang tokoh saat ini bersama keluarganya di Kanada.
Kekurangan? Mungkin bagi sebagian
orang cara bertutur Yann Martel kadang terasa menjemukan atau panjang lebar. Bagi
saya, justru di situlah sisi menariknya. Yann Martel betul-betul sukses dalam
menunjukkan secara utuh sisi-sisi pemikiran dan perasaan seorang Pi Patel.
Sebuah novel yang tidak hanya keren dan menghibur, tapi juga menginspirasi dan
mengajarkan banyak nilai kehidupan.
lin kamu baca bukunya? aku cuma nonton filmnya aja hhaha twotumbs
BalasHapusbaca cut, baru beli pas uas kemarin hahahahahha, filmnya gimana filmnya? cerita doooongs :D
Hapus