Olivia [Bagian 2]


            Kemarin, sepulang sekolah, Mas Wahyu mengajak Olivia ke pasar malam. Ini pertanda apa? Rasanya sungguh cepat. Baru saling mengenal tpai Mas Wahyu sudah mengajaknya jalan-jalan. Malam minggu pula. Mungkin Olivia terlalu percaya diri dengan mengira Mas Wahyu menaruh rasa yang sama. Tapi boleh kan? Tidak ada salahnya kan? Toh Mas Wahyu memang bersikap amat manis. Ya, sedikit terlalu manis. Tak masalah. Olivia menyukainya. Segala hal kecil yang dilakukan Mas Wahyu. Mulai dari memboncengnya setiap berangkat dan pulang sekolah. Sampai menemaninya mengerjakan tugas di perpustakaan. Semua dilakukan Mas Wahyu dengan inisiatif dan senyuman. Ah, siapa perempuan yang tak senang?
            "Eyang, Olivia nanti malam pergi ke pasar malam, boleh ya?" Eyang mendongak. Melalui kaca mata bacanya, eyang mencoba membaca raut muka Olivia. "Sama siapa?" Eh, duh, Olivia harus bilang apa? Jujur saja? Takut sekali dia kalau eyang melarangnya. Maklum, sejak awal sekolah di sini, di Jawa, eyang melarang Olivia pacaran. "Kamu masih kecil. Belum saatnya memikirkan anak lelaki. Anak lelaki itu tak perlu dicari, nanti datang sendiri. Kamu cuma perlu konsentrasi sekolah. Kalau memikirkan yang lain, bisa-bisa sekolahmu terlupakan." Olivia hanya meremas-remas ujung bajunya, tak berani menjawab.

            "Heh, ditanya kok diam?" tanya eyang lagi. Olivia menggigit bibir. Kalau jujur, eyang bisa marah. Akan sangat disayangkan kalau nanti malam Olivia gagal pergi dengan Mas Wahyu. Ya sudahlah, bohong saja! "Sama teman-teman eyang. Perempuan semua. Anita, Rahayu, dan Ajeng. Aku dijemput Anita di gang depan. Dia bawa sepeda." Eyang hanya mengangguk kemudian melanjutkan membaca koran. Olivia menghela nafas lega. Hampir! Ia buru-buru ke kamar. Berpikir pakaian apa yang akan dikenakan. Ia harus tampil cantik dan spesial!
            Olivia tersenyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya tadi. Setelah lama bergonta-ganti baju, ia memutuskan tampil sederhana. Tampil mencolok tidak akan disenangi Mas Wahyu. Dia diajak ke pasar malam, bukan mall. Baju-baju bagusnya tak cocok. Di atas boncengan sepeda, Olivia meringkuk dalam jaket yang dipinjamkan Mas Wahyu. Kebetulan yang lucu, ia dan Mas Wahyu sama-sama memakai kaus biru dan celana jins hitam.
            "Ayo turun," ajak Mas Wahyu. Olivia mengikuti. Suasana pasar malam sangat ramai. Ada bianglala, penjual permen kapas, penjual bakso, penjual bubur kacang ijo, sampai penjual baju batik. Bunyi musik dangdut dan musik barat saling menimpali. Terlihat pula syal-syal klab sepak bola lokal. Pandangan mata Olivia dimanjakan oleh pemandangan yang tergolong baru baginya. Biasanya Olivia dan mama papa menghabiskan malam minggu di rumah, menonton film dvd sewaan atau makan malam di restoran. Tiba-tiba Olivia teringat kedua orangtuanya. Rasa rindu menjalar cepat. Namun ia tak boleh terlihat sedih. Ada Mas Wahyu di sampingnya. Tak mungkin ia merusak malam minggunya.
            "Di sini, kamu tinggal dengan siapa?" Mas Wahyu membuka percakapan. "Eyangku. Eyang itu ibunya mama. Mama ingin aku merawat eyang karena beliau sudah tua. Mama kasihan dengan eyang yang tinggal sendirian. Dulu mama dan saudara-saudaranya sudah membujuk eyangh supaya pindah. Jangan tinggal sendiri. Lebih baik ikut salah satu anaknya. Tapi eyang selalu menolak. Katanya tidak mau merepotkan siapa-siapa. Eyang lebih suka di sini, di kota kelahirannya. Meski kita kecil, yang penting ia tidak jauh dari pusara eyang kakung. Sampai ahri ini, eyang masih menyempatkan diri ke makan eyang kakung."
            "Kamu suka tinggal di sini?" Mendadak, Olivia diam. Entah apa yang harus ia katakan. Sebetulnya, sejak awal kemari, Olivia dilanda gundah. Ia tak pernah minta dipindahkan ke sini. Tempat ini terlalu jauh dari kedua orang tuanya. Meski alasan mama cukup masuk akal, agar ia menemani eyang di masa tuanya. Tapi, apa enaknya? Mengurus orang tua. Kalau sudah lelah membaca koran, eyang bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Menceritakan kisah hidupnya yang itu-itu saja. Mengulangi setiap hari. Seakan telah menjadi rutinitasnya. Padahal Olivia bosan. Olivia tahu, begitulah kelemahan kaum lansia. Suka mengulang kisah. Sekedar membunuh waktu dan mengusir rasa sepi. Hanya, Olivia tidak cukup sabar meladeni eyang.
            "Suka tidak suka sih…" Giliran Mas Wahyu yang diam. Olivia tak dapat memahami ekspresi itu. Ekpresi kosong. Mungkin Mas wahyu tidak suka ucapannya. Mungkin Mas Wahyu kecewa. "Maksudku," potong Olivia. Walau wajah Mas Wahyu tak berubah, ia yakin ia didengar. "Aku suka. Aku bisa lebih dekat dengan eyang. Tapi yang aku tidak suka karena aku merasa terasing. Aku orang baru. Orang dari jauh. Jangankan beradaptasi dan mencari teman akrab, bahasanya juga masih sulit kutangkap. Aku tidak bisa bahawa Jawa, mas. Aku tidak biasa makan masakan Jawa. Aku takut dengan keramahan orang-orang. Takut mereka sadar aku tidak tahu apa-apa lantas aku dibodohi."
            "Kenapa tidak cerita? Ada aku, dik." Ucapan Mas Wahyu menerbitkan rasa diterima bagi Olivia. Ternyata kejujurannya tidak membuahkan maaslah. Justru simpati. Dan mungkin, jatuh hati. Ia berharap Mas Wahyu menyadari betapa ia menyukainya. "Kalau ada kesulitan atau kebutuan, kamu bilang aku. Jangan ditutupi. Sebisanya, aku bantu. Aku senang bisa menolong orang. Termasuk kamu." Olivia menutupi wajahnya dengan jaket. Begini ya rasanya menyukai seseorang? Begini ya senangnya diperhatikan seseorang? Coba setiap hari.
            "Supaya kamu suka makanan Jawa, kamu harus coba." Mas Wahyu menggandeng tangan Olivia ke sebuah warung yang letaknya tak jauh dari pasar malam. "Makan yuk. Mas lapar. Kamu lapar?" Olivia meringis. Biasanya ia makan pecel ayam atau pecel lele. Bukan pecel sayur mayur. "Ini namanya bunga turi. Mas yakin kalau pecel di kota jarang, malah tidak ada yang pakai bunga turi. Nah kalo ini…" Mas Wahyu menjelaskan satu per satu pengisi piring Olivia. Olivia tak keberatan. Selama Mas Wahyu yang mengajak makan, pasti ia mau! Melihat Mas Wahyu makan dengan lahap, Olivia ikut menyuap. Ternyata….. rasanya tidak buruk.
            "Mas masih lapar. Kita makan yang lain ya?" Tanpa meminta persetujuan Olivia, Mas Wahyu menggandengnya. "Kita makan apa lagi mas?"
"Jenang grendul, dik. Sekalian mas mau bawakan buat ibu sama bapak. Keluarga mas suka sekali sama jenang grendul."
"Enak ya?"
"Kamu sendiri yang menilai." Mas Wahyu menyodorkan sesendok. Olivia membuka mulutnya. Sesuatu yang manis dan lembut meluncur masuk kerongkongan. "Enak mas! Aku juga mau belikan buat eyang!"
            Pulang dari pasar malam, Olivia terlihat sumringah. "Eyang, sudah makan belum? Olivia bawa jenang grendul lho!"
"Oh jenang grendul. Nah kebanyakan orang tahunya bubur candil atau bubur kampiun. Mamamu juga jago bikin ini."
"Kok mama tidak pernah membuatkan aku jenang grendul, eyang?"
"Mamamu sibuk begitu. Kalau kamu tinggal sama eyang, kamu boleh minta dimasakkan apa saja. Asal bumbu dan bahannya mudah didapat, pasti eyang buatkan. Eyang kan pengangguran." Eyang terkekeh sendiri mendengar kata-katanya.
            Telpon berbunyi. Eyang mengangkatnya. Olivia menunggu. Ia ingin tahu, siapa yang menelpon malam-malam begini. Sudah hampir seminggu mama dan papa belum menghubunginya. Meski Olivia kesal tapi ia urungkan. Mungkin mama dan papa sibuk. Ayo, berpikir positif, Olivia. Eyang berbicara singkat dengan seseorang di seberang telpon lalu mengakhiri percakapan. "Siapa eyang?"
"Mamamu."
"Wah. Kapan mama dan papa ke sini?"
"Mereka tidak kemari, Olivia."
"Kenapa eyang tidak memberikan telponnya padaku? Padahal aku kangen. Aku mau ngobrol sama mama."
"Jangan ganggu mamamu. Dia sedang ada masalah. Suasana hatinya buruk."
"Ada apa?"
"Mama dan papamu akan bercerai."
Olivia mengerjap-ngerjapkan matanya. Tiba-tiba, persendiannya menjadi lemas. Kecerian yang tadi ia tampilan di depan Mas Wahyu mendadak lenyap.

Sebelumnya :

2 Komentar

  1. Orang mana sih? penasaran nyari" di teks... kikiki...

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya ga nyantumin tapi ada ciri2nya daerah itu dalam cerbung ini hahahaha

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama