“Bu,
bapak pergi dulu ya.”
Bapak mengecup
kening ibu dengan sayang. Lalu ibu mengantar bapak ke pintu depan. Ibu terus
memandangi bapak hingga punggungnya hilang dari pandang.
Dengan setia
ibu menunggu bapak. Seminggu. Dua minggu. Tiga minggu. Itu hal biasa bagi ibu. Pekerjaan
bapak sebagai pemborong tidak memungkinkannya pulang kapan pun ia mau. Namun bapak
patut bersyukur dikaruniai istri seperti ibu yang tidak banyak pinta. Kadang bila
sedang tidak ada pemasukan, ibulah yang menggantikan peran bapak dengan menjadi
buruh cuci. Sebisa mungkin bapak tidak membiarkan ibu meninggalkan rumah karena
ada anak mereka dengan beberapa keponakan yang ikut tinggal dan butuh
pengawasan.
Tepat sebulan
bapak berpamitan. Inilah waktu terlama bapak meninggalkan rumah. Maka tepat
sebulan bapak belum pulang, ibu yakin ini hari kedatangan bapak. Ibu memasak
ayam dan telur dengan sedikit sisa uang yang ia punya.
“Ibu aku
mau makan ayam,” pinta Aim kecil yang tahun depan akan masuk sekolah.
Ibu menggeleng
sambil mengusap kepala Aim. “Nanti, kalau bapak sudah di rumah. Kita makan
sama-sama. Mana Kak Pipit dan Kak Suci?”
“Berangkat
mengaji, bu.”
“Kok Aim
tidak ikut?”
Aim melingkarkan
tangannya di pinggang ibu dan mulai merajuk. Si kecil ini tahu ibu tidak suka
memaksa. Padahal kalau bapak di rumah, bapak sendiri yang akan mengantar Aim
mengaji.
Mendekati
maghrib, bapak belum juga pulang. Padahal jalanan kampung akan gelap. Apalagi tanah
licin akibat hujan sejak siang. Ibu khawatir bapak tidak bisa melewati jembatan
di ujung jalan masuk kampung. Ibu pun menyusul dengan payung dan senter di
tangan.
Aim tidak
pernah tahu bahwa kepergian ibu akan membawa petaka. Ibu pulang tanpa membawa
kesadaran. Ibu ditemukan orang-orang dalam keadaan pingsan akibat terpeleset di
jembatan. Ketika bangun, ibu hanya bisa meracau dan menggumam tanpa dapat
dipahami kata-katanya. Mata Aim membelalak. Ia hanya berani memperhatikan ibu
di dekat pintu. Beberapa hari kemudian, bapak pulang.
***
“Bu, ayo
mandi.”
Aim
menarik tangan ibunya ke belakang rumah. Ibu mengeluh. Ocehan tidak jelas
keluar dari mulutnya. Ketika melihat ember di samping sumur, ibu meronta dari
genggaman Aim. Namun Aim tak kehabisan sabar. Ia membujuk ibu untuk duduk di
atas kursi kayu kecil.
“Ggagagagagaga.”
“Ibu
mandi dulu ya. Biar cantik, biar wangi. Aim sudah siapkan airnya buat ibu.”
“Ngin..
ngin.. ggagagaga! Ngin!”
“Ibu mau
mandi pakai air panas?”
“Huh huh
huh. Ngin!”
Aim memasak
air yang sudah ia timba dari sumur. Ia meniup-niup api dalam tungku. Setelah menunggu
beberapa lama, air bergolak. Perlahan Aim menuangkannya kembali ke dalam ember.
Lalu membawa embernya ke dekat ibu. Sambil menyanyi dengan suara kecil, Aim
mulai mengguyur tubuh ibu. Suara nyanyian Aim mulai menenangkan ibu, membuatnya
tidak menolak air yang membasahi tubuhnya.
Aim
tidak perlu punya alasan atas apa yang ia lakukan. Semua ia kerjakan dengan
senang. Meski kadang lelah menguasai tubuhnya atau kekusutan meracuni
pikirannya, tapi harapan itu tetap tumbuh. Suatu hari, ibu akan kembali
menguasai diri. Ibu akan pulih. Ibu yang menyambutnya waktu pulang sekolah,
memasakkannya makanan, dan menceritakan banyak hal menakjubkan pada Aim.
“Uh. Uuh.
Uuuuh!”
Ibu memukul-mukul
pintu. Aim berusaha menenangkan ibu dengan mengajaknya bicara, memeluknya,
menawarinya makan dan minum, hingga menyanyikannya lagu-lagu. Ibu masih
terlihat gusar dan semakin keras memukul pintu. Aim tak perlu takut hal itu
menganggu para tetangga. Mereka sudah tahu terbiasa dan justru prihatin dengan
keadaan ibu.
Dok. pribadi Nurul Noe |
Monday Flash Fiction lain bisa dilihat di sini
Ibunya jadi gitu gara-gara kepleset itu ya? :(
BalasHapusiya mbak, liat di tv ada yg kayak gitu ga sembuh2 padahal udah belasan tahun, mungkin ada bagian otak yg kebenturnya keras banget
Hapusini idenya keren bangetttt..
BalasHapusbisa juga dengan cara begini.
Langsung aja ke adegan Aim yang memandikan ibunya itu. IMO, suasana kasih sayangnya kerassssa banget! Trus masa kecil Aim, diceritakan dalam flashback2 kayak sedang berjalan di ingatan Aim.
:D *Carra bikin cerita sendiri*
hehehe gapapa mbak bikin cerita sendiri kayaknya itu juga seru :D
Hapuskasihan ibu ya...
BalasHapusiya mbak :(
HapusKerennnn :)
BalasHapusAnak harus gitu yah.. Sayang Ibunyaa
#anakharussayangibu :)
HapusWiiih, inget mamaku. Kasih sayang ibu-anak dan sebaliknya indah banget Mbak. Manis
BalasHapushuwahh...idenya bagus *jempol*
BalasHapusmakasih mbak orin :D
Hapuswoh, gegar otak parah ya... :(
BalasHapusgatau ya ini dibilang gegar otak apa gimana hehe
HapusMelas ibunya, tapi salit si Aim penuh cinta merawatnya :)
BalasHapusOya mba, kalo boleh fotonya minta diganti linknya ke blog saya. makasih..
oke mbak siap :D maaf ya mbak kalo kurang berkenan sama linknya
Hapus