shutterstock.com |
Terlintas hal konyol dalam pikiran
saya bahwa kejadian yang sudah jadi kebiasaan tadi harus diuji. Apakah ini
hanya kebetulan-kebetulan yang saya paksakan seperti cerita FTV atau mungkin
jalan Tuhan Yang Maha Baik Hati? Saya harus membuktikannya! Kalau diperhatikan,
saya selalu datang membeli kopi, roti, dan telur pukul enam lewat lima belas
menit. Saya akan memajukan jam kedatangan.
Sambil bersiul, saya berjalan riang
ke arah kedai teh dan kopi langganan. Waktu masuk, aroma robusta menendang
indera penciuman. Hal yang sama juga berlaku pada indera penglihatan. Bukan,
bukan wujud secangkir kopi yang membuat saya mengejang. Tapi sosoknya yang
berjarak tak lebih dari sepelemparan batu. Sedang duduk di kursi bar, mengaduk
gula dalam cangkir teh oolong-nya. Saya ingin sekali balik badan dan berlari
keluar secepat yang bisa dilakukan kaki-kaki tidak terlatih ini. Namun saya tak
mampu. Dia sudah terlanjur bersitatap dengan saya.
Dalam benak, saya merasakan kulit
wajah mengalami exfoliasi yang dramatis. Lebih parah dari sekedar merekah. Sekarang
wajah saya tak berkulit. Cuma tulang dan daging. Ini mungkin rasanya tak punya
muka kalau kamu terlihat absurd di mata yang kamu suka.
Tanpa saya sadari, dia telah pergi. Satu
kali lagi hilang kesempatan saya menyapanya. Begitu pula, semakin besar
keyakinan saya bahwa pertemuan kami diatur semesta. Namun saya masih merasa
harus membuktikan dengan percobaan berikutnya. Saya akan memundurkan jam
kedatangan.
Hari berikutnya, saya melangkah
masuk kedai bersama rasa penasaran yang hampir menembus jantung. Deretan toples
berisi beragam teh dan kopi berderet di rak yang menempel ke dinding. Beberapa pelayan
hilir mudik membawa nampan berisi sarapan. Apa yang terakhir saya sadari adalah
dia tidak ada di sini.
Sedikit kecewa terselip dalam hati
karena saya harus menerima kenyataan bahwa harapan tidak terbukti. Pertemuan kami
bukan ditakdirkan. Buktinya dia tidak datang. Anehnya, ada kelegaan yang tak
bisa dijelaskan menyelusup dalam bentuk segaris senyum. Saya merasa bebas! Saya
tidak merasakan lagi jantung yang berloncatan atau panas yang mengantang. Saya tidak
perlu merasa telah melakukan hal bodoh atau kehilangan kesempatan.
Saya baru memesan secangkir teh
(kenapa minum teh, saya juga tidak tahu) waktu seseorang datang ke dalam kedai
dan duduk di samping saya di kursi bar. Karena sedang senang dengan kebebasan
yang saya dapatkan tanpa perjuangan, saya bermaksud menyapa orang yang duduk di
sebelah dengan senyum mengembang. Dia mengangkat sebelah alis. Senyum saya
berubah menjadi seringai.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa.”
“Selamat pagi. Kamu minum teh apa?”
Saya melirik cangkir. Oolong. Persis
seperti yang dia minum tiap pagi. Matanya melirik isi cangkir saya lalu senyum
penuh rahasia. Gejala salah tingkah mulai menghantui saya. Hati saya merapal
mantra yang terdengar kejam. Jangan bertindak
bodoh, jangan bertindah bodoh. Tapi bibir saya berkhianat. Bibir saya terus
mengajaknya bicara padahal saya menyuruhnya diam dengan sekuat tenaga
Saya sudah mencoba mengelabui diri
sendiri dengan mengubah waktu tapi saya tetap dipertemukan dengan dia. Apakah saya
harus bersorak girang dan mengakui bahwa kami ditakdirkan?
Saya mengikutinya berjalan keluar kedai.
Dia melambai pada saya lalu masuk dan duduk di balik kemudi. “Kamu bisa ikut. Arah
kita sama,” katanya. Saya menggeleng dan tersenyum. Di sampingnya duduk seorang
perempuan yang ikut tersenyum pada saya. Tadi dia sudah bilang, di mobil ada
pacarnya.
#proyekcinta bintang berkisah
#proyekcinta bintang berkisah
suka diksinya ^^
BalasHapusmakasih kunjungannya :D
Hapus