Kau tahu apa hakikat dari kesabaran? Adalah ketika kau
berhasil membiarkan dirimu bertahan hingga sampai tujuan. Bukan berarti kau
harus mendapatkan yang kau inginkan. Tapi bagaimana caranya kau tetap bersabar
atas apapun yang digariskan Tuhan. Hal terpenting dari pelajaran kesabaran ini
adalah kemampuanmu menerima kenyataan. Ya, sesederhana itu. Belajar kehidupan
memang tak perlu muluk-muluk. Tak ada rumus pastinya. Namun kau dijamin
merasakan manfaatnya bila berhasil melaluinya.
Saat ini pun kau tengah berada dalam masalah. Sebuah cobaan
menghadang tekad bajamu. Masalah ini menekanmu sampai ke akar, merangsek dengan
kasar ke dalam celah sanubarimu, dan merusak konsentrasimu. Ia memiliki daya
serupa seluruh dunia beserta bencananya ditumpahkan ke dalam kepalamu. Begitulah
kira-kira yang kau rasakan. Padahal kau alpa, ada tujuh milyar manusia, dan
bukan cuma kau yang dicintai olehNya. Bukan cuma kau yang menerima cobaan
dariNya.
Waktu itu lututmu bergetar hebat. Kau tak sanggup
berjalan walau dengan kecepatan lebih lambat. Seluruh tubuhmu melemah, begitu
pula keinginanmu untuk berjuang. Pandangan matamu mengibakan. Kau paksakan
dirimu berjalan ke dalam kamar. Mengunci diri, mencari ketenangan. Sayangnya,
kemanapun kau menuju, kesedihan tetap membayangimu.
Kau memeluk diri dengan erat. Dadamu terasa sakit secara
fisik. Detak jantungmu menjadi tak menentu. Perasaanmu apalagi, macam tali yang
dipuntir-puntir. Kau merasakan lubang digali dalam dadamu, menganga perih oleh
sembilu. Kau ingin lari tapi tak punya tujuan. Kau ingin mencari penyelesaian
tapi tak tahu ke mana kau harus memulai perjalanan.
“Kalau abang tidak buru-buru melamarku, aku keburu
dinikahi orang.”
“Tapi abangmu ini bukan anak gedongan. Sama sekali tak
masuk kriteria ibumu.”
“Pernikahan itu bukan cuma bicara makan dan uang. Kriterianya
banyak, bang. Ibuku juga pasti melihat kalau abang pantas jadi suami. Abang orang
yang bertanggung jawab, rajin beribadah, dan sayang padaku. Keluarga abang juga
sudah menerimaku dengan tangan terbuka. Apalagi yang dicari ibu? Dia tak kan
rela anak gadisnya jadi perawan tua.”
“Hus! Hati-hati adik bicara. Abang khawatir dengan
pandangan keluarga. Adik bukan dari keluarga sembarangan. Orang tua adik orang
terpandang. Kalau dipikir-pikir, tentu mereka sayang menikahkan adik dengan
orang biasa seperti abang. Semua yang abang punya sebar pas. Pendidikan pas-pasan,
keuangan pas-pasan, ilmu agama pas-pasan. Walau abang belajar dari sekarang,
sulit menyamai bahkan menandingi kriteria yang dibuat orang tua adik. Apa adik
tak malu punya suami seperti abang?”
“Bicara apa abang ini? Kriteria itu ketetapan manusia. Di
atas langit saja masih ada langit, bang! Apalagi kita? Setiap kita mencapai
suatu tingkat, masih akan ada orang yang tingkatannya di atas kita. Tak peduli
gelar macam apa atau sebanyak apa yang berderet di belakang nama abang, yang
paling hebat itu Tuhan. Tak ada manusia yang sempurna dalam memahami agama
kecuali RasulNya. Manusia tidak diciptakan menjadi sempurna. Kewajiban kita
adalah belajar dan belajar. Tak ada jaminan pendidikan membawa kita pada
kesuksesan. Itu cuma salah satu alat yang kita gunakan. Bukannya abang sendiri
yang mengajariku kalau pencapaian kita tak bisa dinilai dari bunga bank?”
“Abang khawatir adik berubah pikiran.”
“Tapi kalau menyangkut abang, aku yakin tak perlu ada
perubahan.”
Waktu itu, senyum calon suamimu bagai aurora yang menuju
surga. Kau melihat kelegaan dari bola matanya. Kau tahu percikan harapan dapat
berbuah kenyataan baginya. Maka kau menguatkan hatimu akan cobaan yang akan
menghadang, entah sebentar lagi atau masih nanti. Pertama-tama, yang harus kau
luluhkan adalah hati ibumu.
Ibumu berulang kali bilang, dasar pernikahan tak cuma
bicara perasaan. Beliau berkata, perasaan manusia bisa berubah sesuai keadaan. Karena
serupa kehidupan, tak ada keabadian dalam sebuah ikatan. Bisa saja kau cinta
mati sekarang. Namun siapa yang akan tahu apa kata hatimu esok hari? Kalau kau
tak tahu apa yang bisa kau makan atau kau gunakan sebagai penutup badan.
Rezeki bisa dicari, katamu meyakinkan diri.
Bagi lelaki, harga diri itu harga mati, tegas ibumu.
Ucapmu, abang tak mungkin membuang sia-sia yang telah ia
perjuangkan segenap jiwa raga.
Sayangnya kau lupa. Ibumu mungkin tak selalu benar tapi
ia hidup lebih lama darimu. Berarti ia telah lebih banyak melakukan kesalahan
dan merasakan akibatnya dibandingkan kau. Maka pengalaman-pengalaman itu
membuatnya belajar sehingga ia bisa menasehatimu. Kadang, egoisme yang kau
biarkan merambah membuatmu berpikir bahwa pandangan ibumu sekedar benar salah.
Bahwa kau merasa harus merasakan pengalaman hidupmu
sendiri, belajar dari situasi yang kau alami, jelas bukan hal yang salah untuk
dijalani. Sekali lagi kau lupa. Kehidupan bukan ajang coba-coba. Kau tak bisa
menikah berkali-kali hanya karena kau pikir dapat belajar dari kepahitan yang
baru dilewati. Kau tak bisa melahirkan berkali-kali hanya karena kau akhirnya
tahu bagaimana cara terbaik membesarkan anakmu sendiri. Itulah sebabnya kau
butuh seorang panutan, seseorang yang menjadi acuan. Sehingga minimal
kesalahanmu bisa diminimalisir dari yang sudah lebih dulu belajar.
Lantas kau menjalani enam bulan pertama dengan tenang. Bersama
suami yang kau cintai, kau tatap masa depan dengan keyakinan. Bahwa bersama-sama,
gelombang apapun di dunia bisa kalian lawan. Bahwa bersama-sama, kegelapan dan
kepahitan yang menerjang kalian rasa terang. Lantas kalian melalui setahun ke
depan. Dua tahun. Tiga tahun.
Hal-hal yang nyata mulai datang. Suamimu mulai lambat
menyamai laju kehidupan. Kau yang dimintanya fokus pada keluarga, menjadi ibu
rumah tangga, hanya dapat berharap ia mampu membuatmu sejahtera. Namun apa yang
ia cintai dan tekuni belum menunjukkan hasil positif bagi kalian. Kau yang
terbiasa berlebih dari segi sandang pangan kini belajar memperbaiki standarmu
atas nama kecukupan.
“Mana suamimu?”
“Dia sedang ada pekerjaan di luar kota, bu.”
“Jadi dia sudah dapat pekerjaan baru?”
“Begitulah.”
“Akhir-akhir ini dia jarang menjenguk ibu.”
“Maklum saja, bu. Setiap aku kemari dia selalu terhalang
sesuatu. Kali ini pekerjaan barunya. Mohon ibu tidak tersinggung.”
“Ibu bukannya manja agar kalian rajin menengok. Ibu cuma
ingin mendekatkan diri dengan menantu. Dia juga anak ibu.”
Kau tahu kadang kau meragukan alasan-alasannya. Kau lebih
tahu apa makna yang terkandung dalam kata-katanya. Suamimu tak nyaman bersama
keluargamu, itu fakta. Sementara kakak-kakakmu telah memikirkan hari tua dan
saatnya berleha-leha, suamimu berpikir apa yang belum kalian punya. Matamu melihat
matanya menatap rumah yang belum lunas cicilannya atau kendaraan roda dua yang
dibeli bekas dari tetangga. Sedikit sesal menyembul dari hatimu mengapa kau
biarkan masa depan lenyap dengan berkutat di dapur.
Suamimu menjadi mudah tersinggung bila kau ajak ke acara
keluarga. Kau tahu baju-bajumu yang lama mengalahi kusamnya dinding rumah
tetangga. Sementara ibu dan kakak-kakakmu tampil mentereng dengan baju-baju
yang sedang tren. Bila membahas keseharian, isi kepalamu hanya terbayang dapur
dan kasur. Namun kakak-kakakmu membahas rencana liburan ke luar negeri atau
anak-anak mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi.
Kadang kau berpikir inikah artinya bersabar. Ataukah kau
terlalu bebal sehingga nyaman dengan tiadanya perubahan. Setiap detik dalam
hidupmu terasa berat dan menyiksa. Orang bilang, begitulah rasanya berumah
tangga. Manis indah hanya di awal cerita. Pahit asam adalah penyegar pada
tahun-tahun berikutnya.
Lantas kau berpikir ini risiko dari sebuah pilihan atau
hukuman atas kekeraskepalan. Maka kau melihatnya dengan gamang. Kau takut tak
benar-benar menginginkannya tetap mendampingimu. Sebab kau takut tak ada hari
esok yang ia bawakan untukmu. Akhirnya kau berpikir. Kesabaran memang tak
berbatas. Namun kau mungkin bisa mempertimbangkan bersabar untuk melepas
sesuatu yang kau inginkan untukmu agar kau bisa meraih yang lebih baik bagimu.
Tulisan ini diikutsertakan dalam #IWriteToInspire
subhanallah,.. tulisan ini bagus banget..
BalasHapus"dengan judul" sabar...
ya, harus sabar dalam segala hal.
alhamdulillah kalo bagus hehe
HapusSalam Mba Linda,
BalasHapusSekali lagi terima kasih sudah berkenan meramaikan GA pertamaku ya...
Pemenangnya sudah diumumkan :)
terima kaish pengumumannya mbak :)
HapusLindaaa,,bagi ilmunyaa dooong,,kok bisa sih sebulan bisa posting lebih dari 10 postingan,,idenya darimana siih >_<...
BalasHapusupps maaf OOT dari postingannya,hehe...
salam EPICENTRUM
heheheh kebiasaan aja, atau ya kayak gini karena ikut2 lomba
HapusBlogwalking dong mba :)
BalasHapus