shutterstock.com |
Pucuk cemara
sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan
pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih
mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau
ada yang mendekat.
Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan
bercampur debu, memperberat kecemasanku.
”Mas Koyo,” orang yang
sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri,
tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada
hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku
merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik
kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak
keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,”
sambungnya.
“Kasihan Uci kalau nanti sampai
di sini. Dia bakal mencari aku.”
“Ini sudah malam, mas. Mbak Uci tak
mungkin keluar malam-malam begini. Baiknya mas tidur dulu satu malam. Besok saya
antar ke tempat Mbak Uci.”
“Kenapa tidak malam ini saja? Kalau
kemalaman buat dia, biar aku yang mendatangi. Rumahnya dekat kan dari sini? Atau
rumah orang tua Uci sudah pindah?”
“Tidak mas, Mbak Uci sudah tidak
tinggal dengan orang tuanya.”
“Lho, sama siapa?”
“Makanya, besok saja. Saya tidak
mau bikin mas pusing sekarang.”
“Lho, itu istriku. Aku penasaran.
Aku berhak tahu.”
Kiswoyo terlihat gelisah. Dia seperti
kehabisan akal mengajakku ikut pulang. Tiba-tiba aku mencium aroma wangi. Aroma
melati. Lama aku tak mencium bau harum. Bau penjara tak pernah menarik hati. Baunya
seperti mimpi-mimpi yang mati.
“Mas, saya cerita tapi di rumah
saja, ya? Mas bisa makan sama mandi dulu. Ini sudah malam. Nanti istri dan anak
saya kepikiran kenapa saya tidak pulang-pulang.”
Uci tiba-tiba muncul. Senyumnya sangat
cantik. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai ke belakang. Ia nampak tak
pernah bertambah usia, seakan waktu berhenti ketika menerpa kulitnya. Padahal lama
aku tak melihatnya. Entah berapa purnama.
“Kamu bilang istriku tidak
mungkin keluar malam. Ini, dia sudah datang. Liat, Kis, Uci cantik sekali.”
Aku berjalan mendekat.
“Mas kangen adik,” ujarku sambil
mengulurkan tangan mencoba mengelus puncak kepalanya.
Kiswoyo cuma menjerit-jerit. Katanya,
aku bicara sendiri. Katanya, ia mencium bau yang kelewat wangi.
huwaa.... Ucinya udah mati ya mak?
BalasHapusbegitulah hehe
Hapuswah... jadi arwah penasaran
BalasHapusga penasaran cuma datang haha
HapusUwaaahhh! seremnya... *ngumpet di bawah meja
BalasHapusnanti ucinya juga tau kok ada di bawah meja :p
Hapus