shutterstock.com |
Kugenggam tangan
Cal erat-erat. Kalau ia bukan manusia biasa, tulang-tulangnya pasti sudah
berkeretak. Tangannya yang hangat terasa lembut dalam genggamanku yang dingin
dan kaku serupa batu. Ya, kalau pacarku manusia biasa, darahnya akan membeku
akibat sentuhanku. Namun Cal baik-baik saja, tetap normal suhu tubuhnya, meski
angin dingin melingkupi kami akibat aku. Bila ada aku, sekitarku akan terasa
lebih dingin dan sunyi.
“Kita bisa. Aku yakin.”
Suara Cal terdengar tidak yakin. Aku tidak berani menatap kedua bola matanya
yang kureka mulai basah. Aku menebak itu dari suaranya yang sengau. Sepertinya ia
sedang menguatkan diri untuk tidak mulai histeris dalam pelukanku. Ah, ia
selalu menampilkan diri sebagai sosok tabah. Padahal tak ada salahnya mengakui
dirimu lemah.
“Apa yang akan
terjadi bila mereka menemukanmu di sini, denganku, sambil berpegangan tangan,
di bawah sinar bulan?”
“Di bawah
matahari atau bulan kau tetap sama sesuai takdirmu, bukan? Jadi, aku bisa apa? Kau
bukan manusia, aku juga.”
“Kuralat, Cal. Aku
bukan manusia. Kau manusia pengabdi dewa. Kau bukan manusia biasa yang tak
punya tanggung jawab apa-apa atas keberadaanku. Tugasmu membunuhku.”
“Maka aku
memilih tidak membunuh pacarku.”
“Jika mereka
menghukummu karena melakukan tindakan indispliner, kau mau apa?”
“Memotong
sayapku dan menyembunyikanmu dari sinar matahari agar tulang-tulangmu
tersembunyi. Kita bisa tinggal di bawah tanah.”
“Tapi aku tidak
mau bersembunyi seumur hidupku. Aku harus menghadapi takdirku. Menjadi bukan
manusia tidaklah buruk meski tempatku memang bukan di sini. Kesalahanku menyelinap
ke atas untuk menginjak bumi, tapi aku bisa kembali ke tempat lain yang seharusnya
tak kau datangi. Dunia kita berbeda. Tanpa matahari, kau akan rapuh dan menua
lebih cepat. Kulitmu akan pucat.”
Cal menatapku
dengan padangan kau-tahu-kan-aku-betul-betul-mencintaimu. Namun aku berkelit
dengan menengadah menatap langit. Caranya memandang justru menyiksaku. Membuatku
semakin berat melepaskan pegangan tanganku. Angin sudah semakin dingin dan
gejala alam makin tak karuan. Beberapa abdi dewa akan mencium bau kejanggalan
ini dari radius beberapa kilometer lalu mereka mengetahui keberadaan kami. Mereka
akan membantai kami berdua hingga tinggal serpihan bulu dan tulang.
Tempatku memang
bukan di atas bumi. Makin lama aku di sini, makin cepat tulang-tulangku
dirontokkan matahari. Makin tidak ada gunanya aku mendampingi Cal.
Cal tidak akan
membiarkanku pergi, ya?
Benar saja
firasatku. Dalam waktu cepat, para abdi dewa telah berdiri di sekeliling kami. Mata
mereka menatap nanar padaku. Mereka datang tepat setelah aku menyentak tubuh
Cal ke atas sehingga sayapnya mengembang lebar. Ia terkejut sekali. Sebelah tangannya
yang terbiasa waspada menarik keluar pedang peraknya. Beberapa abdi dewa
membidikkan anak panah mereka padaku. Belum lepas keterkejutan Cal akibat
sentakan pertamaku, kusentak ia kedua kalinya dengan cara menarik pedangnya. Ia
terlempar, pedang terlepas dari tangannya. Sayapnya mengepak, bingung.
Aku berkelit
dari hujan anak panah dengan sebilah pedang di tangan kanan. Auman keras keluar
dari mulutku. Lalu salah seorang abdi dewa menendang pangkal pedang di
tanganku. Mata pedangnya telah kuarahkan, tepat ke dadaku. Sebelum kusadari Cal
mendorongku ke belakang dan menjadikan tubuhnya tujuan pedang.
***
FF ini tidak ditulis bersambung. FF ini masih
ditulis dalam rangka tantangan prompt #34 Monday Flash Fiction dengan sudut
pandang berbeda. Namun latar yang digunakan masih sama dengan FF sebelumnya.
Aaakkk *histeris....
BalasHapus*ikutan histeris*
Hapus