Tadi
saya hang out dengan salah satu teman dekat di kampus. Ketika kami akan pergi
ke tempat lain, teman mengajukan pertanyaan soal film.
“Lin,
film lo kata anak-anak dieditin orang?”
Sejujurnya
ini bukan pertanyaan mengejutkan. Pertama karena dia teman dekat saya dan kami
terbiasa blak-blakan. Kedua, saya tahu kok banyak yang kasak-kusuk di belakang
membahas film yang saya produseri. Kisah lengkapnya bisa dibaca di sini. Iya,
itu film pendek yang dibuat sebagai tugas kampus. Isu soal editing ini agak
sensitif karena sebagian orang berpikir bahwa tugas film itu tidak boleh
dibantu pihak luar kecuali dalam hal talent. Banyak kok kelompok lain yang
pakai talent (pemain) di luar kelompok mereka.
Saya
bilang bahwa kami mengedit sendiri. Ya mau jawab apa lagi? Saya sih santai
saja. Toh mereka yang mengatakan bahwa kami memakai jasa editing pihak luar
tidak dapat membuktikan hal itu. Saya juga tidak bisa membuktikan bahwa kami
mengedit sendiri. Memangnya mereka melihat proses praproduksi sampai
paskaproduksi kami? Kan tidak.
Sebetulnya
gampang saja kalo mereka ingin bukti. Kami tidak pernah memotong logo pemilik
jasa editing di bagian akhir film. Karena memang tidak pernah ada logo jasa
editing. Saya masih simpan kok sebagian bukti tahap editingnya. Saya masih
simpan hasil sortiran video. Bahkan potongan-potongan video yang belum masuk
tahap colouring pun ada. Tapi, apa gunanya juga saya pusingkan apa kata mereka?
Toh tidak dipercaya orang juga tidak dosa.
Saya
jadi ingat ketika semester tiga, desain cover majalah saya masuk sepuluh besar
dalam hal penilaian. Saya lupa-lupa ingat, kisah lengkapnya di sini. Intinya sepuluh
besar majalah yang terpilih di kelas itu akan diwujudkan dan saya kepala
redaksinya. Nilai saya bukan yang tertinggi lho. Tapi saya maklum kalo ada yang
meragukan kemampuan saya mendesain.
“Majalah
lo dibikinin orang kan?”
Awalnya
saya sempat emosi. Gila aja, udah
capek-capek bikin dituduh minta bikinin sama orang. Akhirnya saya sadar,
bagaimana orang tidak curiga? Saya saja waktu pertama kali pengambilan nilai di
mata kuliah Desain Grafis cuma mendapat angka 65. Nama tools di Corel dan
Photoshop saja saya buta. Bahkan saya baru mempelajari kedua software itu di
semester tiga.
Jelas
orang tidak percaya. Jelas orang ragu setengah mati. Mau bagaimana lagi? Masak saya
harus bilang betapa frustasinya saya terus menerus dapat nilai jelek lantas
keajaiban datang sehingga nilai saya mendadak memuaskan? Masak saya harus
menceritakan bagaimana lambatnya saya belajar kedua software itu sampai membuat
desain sederhana saja membutuhkan waktu berjam-jam bahkan seharian? Mereka tidak
tahu dan tidak mungkin mereka mau tahu. Bahwa saya hanya berusaha. Saya belajar
dari orang-orang dan hanya pasrah dengan kemampuan pas-pasan. Kalo ternyata
saya dapat rezeki bisa membuat desain yang lumayan, tidak ada yang bisa saya
katakan selain alhamdulillah.
Sampai-sampai
ketika saya cerita betapa lelahnya mengerjakan tugas desain, seorang teman
bilang, “Mungkin itu bukan bidang lo. Lo ga ditakdirkan mampu mendesain.” Saya
agak sedih mendengarnya karena jujur, walau agak sulit, saya tertarik. Desain itu
menarik. Capek iya, tapi setimpal hasilnya. Contoh lain bisa lihat di sini.
Mundur
lebih jauh, saya jadi ingat pernah dituduh melakukan sesuatu sehingga menyulut
pertengkaran dua kubu. Itu zaman SMA. Ujungnya, mayoritas orang yang mengenal
saya jadi tidak percaya. Mereka tidak mau bicara. Mereka pikir saya orang
jahat. Masalah itu bermula dari status di social media. Entah bagaimana ceritanya
sehingga saya dianggap biang keroknya.
Lucunya,
saat itu saya tidak punya social media.
Saya
memang beberapa kali membuat akun dan menonaktifkannya. Sekarang Twitter dan
Facebook yang saya gunakan mungkin milik saya yang ketiga atau keempat. Dan masih
saya pertahankan. Akun-akun yang lama tidak lagi saya gunakan. Berbagai platform
blog pun pernah saya jajal dan hanya Blogspot ini yang bertahan.
Waktu
itu saya tidak punya pilihan selain diam. Saya tidak bisa membuktikan saya
tidak bersalah. Karena memang tidak ada bukti pula yang menunjukkan bahwa saya
bersalah. Saya diam karena cuma itu pilihan terbaik. Kalo saya membela diri
habis-habisan, seberapa besar kesempatan mereka percaya kalo yang saya katakan
itu benar?
Masalah
ini berakhir dua tahun kemudian tepatnya semester empat kuliah di tahun 2013. Saya
bertemu dengan salah seorang yang sempat berpikir saya seburuk yang diduga
semua orang dulu. Dia baru sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa karena saya
menulisnya di blog. Saya hanya bercerita apa adanya karena saya heran kok ya
bisa-bisanya orang percaya saya jahat sementara mereka tidak melihat bahkan
merasakan kejahatan itu langsung dari saya. Bahkan salah satunya ada yang
terang-terangan berkata, dia tahu siapa yang salah. Kebenciannya pada saya
membuat saya syok.
Masalah
itu akhirnya selesai dengan sendirinya. Kemudian saya menarik kesimpulan. Saya tak
perlu bicara atau berusaha pun masalah bisa terselesaikan. Saya tidak perlu
khawatir. Kepercayaan itu tidak bisa dipaksa. Saya tidak bisa membuktikan saya benar,
seperti mereka tidak mampu membuktikan saya salah. Saya tidak merugikan mereka
secara materi atau hukum, begitu pula saya tidak menjadi berdosa hanya karena
mereka tidak percaya.
Orang
tidak percaya, itu terserah mereka. Orang percaya, itu juga bukan masalah buat
mereka. Kadang orang hanya melihat luarnya saja. Mereka pikir mereka yang
paling tahu kemampuan atau keadaan seseorang. Mereka pikir mereka yang paling
mengerti bagaimana isi hati seseorang atau seberapa besar kemungkinan mereka
berbuat kejahatan. Maupun kebaikan.
Mau
percaya tidak percaya, silakan. Asal itu bukan masalah krusial atau yang
merugikan banyak orang. Selamat malam J