Update Kasus Pelecehan oleh Dokter: Aku Menjalani Asesmen Psikiatri Forensik


Aku perlu membuat blog post khusus tentang asesmen psikiatri forensik. Karena menurutku ini informasi maha penting. Tes ratusan nomor sampai biaya lengkapnya kutulis di sini.

Sebagai background, aku adalah Linda, seorang copywriter sekaligus ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Aku mendapatkan pelecehan seksual oleh dokter yang menanganiku sejak 2023.

Apa Itu Asesmen Psikiatri Forensik?

Menurut Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku dari Universitas Stanford, psikiatri forensik adalah subspesialis dari psikiatri yang menjadi persinggungan antara hukum dan psikiatri. Seorang psikiater forensik dapat memberikan evaluasi untuk berbagai tujuan hukum, termasuk penilaian

  • Kompetensi seseorang dalam kemampuannya menjalani persidangan
  • Opini mengenai kondisi mental seseorang,
  • Dan lain-lain.

Asesmen sendiri adalah sebuah proses untuk mengumpulkan informasi mengenai diriku dan mengevaluasi kondisi psikologisku. Sederhananya, asesmen psikiatri forensik ini ingin menjawab beberapa pertanyaan

1.) Apakah aku mampu memberikan kesaksian?

2.) Bagaimana dengan kondisi mentalku?

3.) Apakah benar aku mengalami pelecehan seksual?

4.) Jika iya, apakah dampaknya membuat aku trauma?

5.) Jika trauma, apakah aku bisa mendapatkan rekomendasi untuk memperjuangkan kasus ini lewat a) jalur hukum/litigasi b) jalur nonligitasi

6.) Jika aku menempuh salah satu jalur tersebut, apakah aku mampu menghadapi prosesnya?

Asesmen psikiatri forensik berbeda dengan konsultasi ke psikiater biasa. Harganya berbeda, pelayanannya pun berbeda. 

Jika kamu ingin berobat ke psikiater, mungkin kamu hanya butuh satu klik saja. Cukup booking lewat aplikasi rumah sakit, kamu bisa bertemu psikiatermu.

Pada kasusku, aku datang tanggal 2 Juli 2025 untuk menyatakan diri ingin menjalani asesmen psikiatri forensik. Pertemuan pertama belum dihitung sebagai bagian dari proses asesmen.

Tidak semua permintaan psikiatri forensik akan langsung diterima dan dijadwalkan. Saat itu, aku bertemu dengan dr. Natalia Widiasih Raharjanti, SpKJ(K). MPdKed selaku kepala tim psikiatri forensik RSCM.

Dokter Natalia bertanya apakah aku siap menjalani prosesnya? Karena

  • Akan melelahkan untukku secara mental,
  • Akan menghabiskan uang jutaan rupiah, dan
  • Akan menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Aku sudah mengatakan pada diriku sendiri. Nothing to lose. Aku tidak kalah dan tidak salah. Aku punya waktu, selama aku masih hidup. Aku tidak peduli hasilnya, yang aku pedulikan adalah perjuangannya. Ini caraku membela harga diri.

Hal yang sama juga sudah aku tegaskan pada tim LBH Apik (akan aku jelaskan di blog post terpisah).

Kenapa Aku Datang ke Tim Psikiatri Forensik RSCM?

Karena aku mau berdaya. Seorang dokter yang seharusnya mengobatiku justru merusak kepercayaan tersebut dan menginjak-injak harga diriku. 

Seorang dokter yang sangat terkenal sebagai psikiater dan dikenal oleh jutaan orang tidak seharusnya merusak kepercayaan pasien.

Seorang dokter tidak seharusnya mengambil risiko dengan mengikuti hawa nafsunya dan merusak reputasinya sendiri.

Aku juga ingin menunjukkan kepada korban-korban kekerasan seksual lain bahwa mereka bisa membela diri. Selalu ada jalan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Karena, selain Tuhan, kita hanya punya diri kita sendiri. Walau aku juga tidak tutup mata atas pertolongan orang-orang di sekitarku.

Tentu saja awalnya aku tidak tahu ke mana harus mencari bantuan dan pertolongan untuk menyelamatkan harga diri. Aku sempat berkonsultasi dengan beberapa dokter

  • dr. Chandra Irawan, M.Biomed, Sp.KJ (psikiater di RS Mulia, Bogor)
  • dr. Sandra Suryadana (Managing Director Komunitas Dokter Tanpa Stigma)
  • dr. Mariati Sp.KJ (melalui Halodoc)
  • dr. Santi Yuliani, M.Sc.,Sp.KJ (telekonsultasi melalui Zoom)

Dokter Santilah yang menyarankan aku untuk bertemu Dokter Natalia di RSCM. Usahaku ke RSCM ini juga diketahui oleh Dokter Sandra. Ia sangat suportif dan menguatkanku dalam mencari bantuan.

Seperti yang aku tulis sebelumnya. Aku membutuhkan asesmen psikiatri forensik agar mendapatkan rekomendasi. Sehingga jika aku memutuskan membawa masalah ini ke jalur litigasi atau nonlitigasi, posisiku lebih kukuh. 

Long story short, dengan tim kuasa hukum dari LBH Apik, aku akan mengupayakan jalur nonlitigasi. Aku tidak menunggu keputusan final dari Tim Psikiatri Forensik RSCM. Aku menempuh segala jalur yang aku bisa, semua dilakukan bersamaan.

Siapa Saja yang Terlibat?

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum Pasal 6 berbunyi sebagai berikut (aku kutip lengkap)

1.) Ayat 1, “Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum dilakukan oleh tim pemeriksa yang diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa.”

2.) Ayat 3, “Tim pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berjumlah 3 (tiga) orang terdiri atas satu orang dokter spesialis kedokteran jiwa dan tenaga kesehatan lain, atau beberapa orang dokter spesialis kedokteran jiwa.”

Di RSCM, dengan Dokter Natalia sebagai ketua, aku juga diperiksa oleh tiga orang psikiater dan satu orang psikolog. Proses pemeriksaan telah berlangsung pada tanggal 7 dan 8 Juli 2025.

Namun, prosesnya belum selesai dan aku masih menunggu kabar dari Tim Psikiatri Forensik RSCM. 

Berapa Biaya yang Aku Keluarkan untuk Asesmen Psikiatri Forensik?

Prosesnya, seperti yang aku bilang di atas, belum selesai. Sehingga biaya yang aku keluarkan belum final. Sejauh ini aku sudah mengeluarkan sebanyak Rp4.187.000 dengan bukti kwitansi di bawah ini.

Kwitansi 1

Kwitansi 2

Kwitansi 3

Tim Psikiatri Forensik RSCM menyatakan bahwa biaya total mungkin mencapai enam setengah juta rupiah.

Untuk proses ini, aku mendapat bantuan keuangan dari bosku (baca: kasbon). FYI, semua orang di kantorku tahu kasus ini. Pada bulan kejadian yaitu Mei 2025 aku mendapatkan banyak privileged. Aku cuti cukup lama karena stres berat. 

Jangankan orang kantor. Teman TK sampai kuliah S2 pun tahu kasus ini. Sudah tiga orang pasien pelaku yang tahu hal ini. Bahkan orang yang hampir berobat ke pelaku pun tahu kasus. 

Bagaimana Asesmen Psikiatri Forensik Dilakukan?

Hari Pertama

Aku datang pada tanggal 7 Juli 2025 sejak pagi hari. Aku dijadwalkan wawancara dengan tim psikiatri forensik yang berjumlah tiga orang (tanpa ketua tim). Wawancara berlangsung hampir dua jam lamanya. 

Pertanyaan yang diajukan sangat lengkap dan ingin mengetahui riwayat hidupku secara lengkap. Ada beberapa pertanyaan yang aku ingat

  • Hubungan dengan ayah dan ibu
  • Jumlah mantan kekasih
  • Hubungan dengan mantan kekasih
  • Pertemanan selama TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah
  • Bullying yang pernah diterima 
  • Hubungan di tempat kerja
  • Kekerasan seksual yang pernah dialami
  • Riwayat pengobatan psikiatri

Ketika wawancara selesai, aku bertanya. Kenapa pertanyaannya banyak sekali dan tidak semuanya berkaitan dengan kasusku?

Ternyata karena memang tujuannya demikian. Rasanya, seluruh rasa sakit yang pernah aku alami seumur hidupku dikorek keluar. Untung aku bawa boneka. Aku nangis sambil memeluk bonekaku.

Oh ya, aku juga diminta menggambar pohon keluarga. Anehnya ketika menggambar aku jadi lupa sebagian dari anggota keluargaku. Lupa nama, maksudnya.

Setelah wawancara selesai, aku menjalani MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory). Tes ini berisi ratusan nomor yang digunakan oleh tim ahli untuk mengetahui kondisi mental seseorang.

Misalnya apakah aku punya kecenderungan

  • Bakar-bakar (iya, aku tidak bercanda, ada banyak pertanyaan tentang api)
  • Berbohong
  • Mengonsumsi konten porno

Bisa saja kamu berbohong agar terlihat suci. Namun, akan sulit menjaga konsistensi dari kebohonganmu karena soalnya banyak sekali. Kamu akan terlalu lelah. 

Hari Kedua

Aku datang pada tanggal 8 Juli 2025. Aku menjalani beberapa tes, semuanya di bawah pendampingan seorang psikolog.

Aku lupa nama semua psikiater dan psikolog yang menanganiku selama dua hari. Aku hanya ingat nama ketua timnya saja.

Tesnya banyak sekali, akan aku ceritakan satu per satu.

Tes Wartegg

Ada 8 kotak yang masing-masing diisi coretan sederhana. Misalnya berupa garis melengkung, titik, atau garis lurus. Aku diminta menggunakan imajinasiku dan melanjutkan semua coretan itu menjadi gambar utuh. 

Lalu aku juga diminta menuliskan nomor urut sesuai mulai dari gambar yang kubuat pertama hingga terakhir. Aku juga perlu memberi rating, mana gambar yang paling kusukai? Mana yang paling mudah? Apa alasannya?

Tes Menggambar Pohon

Aku diminta menggambar pohon lalu menjelaskan itu pohon apa. Aku tidak pandai menggambar. Jadi… ya… aku asal jawab saja bahwa itu pohon beringin. Sebenarnya karena aku tidak tahu harus menggambar pohon apa.

Tes Menggambar Manusia

Aku diminta menggambar seseorang di kertas. Lalu aku beri nama, usia, hal yang ia sukai, hingga hambatan yang ia jalani. Psikolog lalu memberikan pertanyaan tentang figur orang tersebut. Tanpa sadar yang kugambar adalah diriku sendiri. 

Tes EPPS (Edwards Personal Preference Schedule)

Pada tes ini, aku diminta menunjukkan preferensiku. Misalnya ada pertanyaan “Saya suka memimpin kelompok” vs “Saya suka membantu orang lain”. Dari tes ini pun aku menyadari, ini sangat menggambarkan aku.

Misalnya poin suka memimpin kelompok. Aku memang sering jadi pemimpin kelompok saat sekolah atau kuliah. Terlepas dari regressive behavior-ku, aku punya jiwa pemimpin.

Tes SACKS (Sentence Completion Test)

Pada tes ini, aku diminta melanjutkan kalimat. Anehnya, aku banyak menuliskan kata yang aku sendiri tidak tahu maksudnya. Karena psikolog akan mewawancaraiku dan bertanya apa maksud jawabanku. 

Potongan kalimat yang harus aku lengkapi contohnya adalah “Saya merasa paling takut ketika…”, “Ayah saya adalah…”.

Raven’s Progressive Matrices (RPM)

Aku yakin, kamu pernah menjalani tes ini minimal sekali seumur hidup ketika sekolah. Tes ini mengukur kecerdasan nonverbal seseorang. Aku diminta memilih gambar yang sesuai dengan pola berdasarkan beberapa opsi. 

Kalau kamu googling, kamu pasti ingat tes ini. Soalnya berupa pola-pola geometris. Menurutku ini cukup sulit karena mataku harus sangat jeli. 

Ketika mengerjakan soal-soal ini, sebenarnya yang terpikir padaku hanya satu. Apakah hasil tesnya akan keluar dan menyatakan bahwa aku bodoh. Aku takut jika ternyata aku bodoh HAHAHA. I know it sounds odd but… nevermind.

Hasil Akhir

Belum ada (atau tidak akan ada?). Aku sudah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan terburuk jadi hatiku biasa saja. 

Ini seperti dighosting pacar. No closure, but it’s okay. A silent mouth is always an answer. As long as I try, I have nothing to worry about.

Aku lupa menulis di atas bahwa mereka juga memeriksa saksiku. Aku punya dua orang saksi. Keduanya sudah melalui pemeriksaan oleh tim.

Untuk blog post selanjutnya, aku akan menjelaskan ke mana saja sudah mencari bantuan. Mulai dari lembaga bantuan hukum probono, layanan pemerintah, sampai jalur berbayar. 


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama