"San,
aku akan menikah." Ciara berbisik di sampingku. "Dengan siapa?"
suaraku terdengar sangat kecil. Bagai bicara di ujung lorong yang panjangnya
berkilo-kilometer jauhnya dari tempat Ciara duduk. "Dengan Farid. Papa
yang menerima lamaran dari keluarga Farid. Dua bulan lalu. Sebelum aku pulang
ke sini." Seperti orang bodoh, aku bertanya, "Aku bagaimana, Ciara?
Siapa yang akan menjadi istriku?" Ciara bergumam tak jelas. Mungkin aku
yang tak bisa mendengar. Sama saja.
Aku
selalu tahu itu. Aku tak akan pernah bisa menikahinya. Bahkan tidak dalam
mimpi. Seakan takdir dan pertanda memusuhiku. Jodoh melarikan diri dariku.
Ketika pertama dan kukira terakhir kalinya aku benar-benar jatuh hati, Ciara
diambilnya juga. Diambil oleh keberuntungan yang enggan kuhampiri.
"Kita
mulai dari awal. Membuka lembaran baru. Menjadi pribadi yang baru. Kau bukan
kau yang dulu lagi. Kau sudah banyak berubah. Sekarang kau jauh lebih baik. Dan
kau membuat dirimu pantas bagiku," begitu kata Ciara dulu. Aku mengangguk.
Ah, sekedar anggukan saja berhasil menentramkan gelisah di wajah Ciara.
Kami
saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Tak terhitung berapa kali Ciara
menyelamatkan hidupku. Ketika aku koma dua hari akibat over dosis dan menjalani
masa penyembuhan yang tak mudah. Ciara di sisiku. Ia tak melawan amarah atau
kekecewaanku terhadap hidup. Ia menyokongku bagai kursi roda bagi orang yang
tak punya kaki. Aku punya kaki, tapi hampir kehilangan hati.
Dengan
kelembutannya, Ciara menyadarkanku. Bahwa jiwaku bisa berfungsi. Bahwa aku
masih punya cukup rasa dan belas kasih pada sesama manusia. Terutama pada
malaikat penolongku, Ciara.
Dan
sebentar lagi malaikatku akan terbang bersama suaminya akibat kesalahan
papanya.
"Turuti
keinginan papamu. Orang tua adalah tempat terbaik mencari restu. Kau tidak bisa
mendapatkannya bila denganku." Ciara menggeleng keras-keras. Rambutnya
yang keriting bergoyang memantul-mantul. "Sandy bodoh!" Ia mulai
memukulku. "Berhenti, Sandy! Berhenti putus asa! Ayo kita cari jalan
keluarnya! Jangan diam saja. Jangan membiarkanku dinikahi orang.
Jangan-jangan-jangan. Dengarkan aku, Sandy. Aku tidak bisa menolak papa. Kalau
kau mengusahakan aku untuk kita pada papaku, aku yakin kita berhasil. Ayo,
Sandy. Rebut aku. Kawin lari juga boleh. Katakan, aku harus apa?"
Farid
adalah teman kecil Ciara. Ciara pernah mengenalkannya padaku. Mereka saling
kenal lebih lama, jauh sebelum aku memasuki kehidupan Ciara. Sebelum aku
memaksa Ciara ikut menangis melihatku menderita. Ciara yang sering menungguiku
ketika mabuk hingga aku terbangun. Ciara yang merawatku saat aku babak belur
dipukuli orang karena menolak bayar hutang. Mungkin Ciara hidup dengan cara
mengasihaniku. Jadi, dia tak bisa tanpaku. Sebab dia merasa kehilangan sosok
orang yang harus dia jaga dan rawat bagai bayi. Seseorang yang memujanya bagai
tokoh superhero dalam komik.
"Baik.
Sekali saja dalam hidupku, aku akan membahagiakanmu. Cuma sekali, setidaknya
ini benar bagi kita berdua. Kita akan lari." Ciara memelukku dengan tangis
yang pecah. Tangis yang tak seimbang dengan tubuhnya yang kelewat mungil.
Bagaimana bisa perempuan sependek Ciara mampu menangis kelewat kencang? Tumpah
dan membasahi kausku bagai air bah. Namun aku menyayanginya. Bukan, salah,
maksudku mencandunya.
***
Aku
berdiri di bawah balkon. Itu jendela kamar Ciara. Ia tengah dirias di sana.
Tiba-tiba aku membayangkan Rapunzel. Ah, rambut Ciara tidak sepanjang Rapunzel.
Atau Julia Roberts yang meninggalkan Richard Gere di altar. Aku lupa judul
filmnya. Tapi aku bersumpah, Ciara tidak boleh kembali ke altar untuk menikahi
Farid. Tidak juga dengan melamar balik Farid. Julia Roberts mungkin cantik dan
memutuskan hal yang tepat untuk kembali pada Richard Gere. Kalau Ciara
melakukan hal yang sama, bagusnya aku mati saja.
"Ciara!"
panggilku setelah mendengar bunyi pintu di tutup. Hening beberapa detik sebelum
Ciara muncul di balkon. "Sandy!" Ia meneteskan air mata lagi,
melambai separuh harapannya padaku. Ia telah selesai dirias. Orang-orang
meninggalkannya seorang diri di kamar. Menunggu acara pernikahan dimulai.
Kuperingatkan
pada kalian, jangan sekali-sekali membiarkan pengantin perempuan tanpa
pengawasan.
"Mana
talinya?" Ciara menyuruhku menunggu. Ia masuk lalu kembali dengan tali
yang katanya disembunyikan di atas lemari. Aku menunggunya turun. "Tidak
apa-apa, Ciara. Tenang. Tarik nafas. Jangan melihat ke bawah. Aku akan
menangkapmu kalau kau jatuh." Ciara memang takut ketinggian. Aku harus
mengakui ia betul-betul pintar berakting dengan bersikap menuruni tali tanpa
takut.
"Kita
lari dengan apa? Katamu kau menyiapkan kendaraan?" tanyaku setelah Ciara
turun. Ciara mengedipkan mata. Ia menarik tanganku ke garasi yang letaknya tak
jauh dari balkon. Garasi tersebut, bagusnya lagi, tidak terletak di bagian
depan rumah. Nah, nampaknya setelah ini papa Ciara akan berpikir ulang mengenai
denah rumahnya. Mungkin dia akan melakukan bedah rumah.
"Ambil
kuncinya," pinta Ciara. Aku duduk di balik kemudi. Wajah Ciara penuh
keringat. Ia terlihat bersemangat sekaligus gugup. "Cepat, kita harus
segera pergi." Dan ini saat yang ditunggu-tunggu. Garasi mobil keluarga
Ciara terletak di belakang rumah tapi gerbangnya cuma satu. Gerbang itu di
depan. Melalui halaman yang dipenuhi para tamu undangan. Dengan Farid yang
berniat duduk di pelaminan. Betapa ironisnya. Aku sudah tanya dan Ciara
mengatakan ayahnya tak punya riwayat penyakit jantung.
"Berdoalah,
Ciara." Ia menutup matanya dengan khidmat. Aku mengucap mantra. Semoga
Sang Pencipta tahu betapa berat perjuanganku terhadap cinta. Mobil melaju.
"Ciara?" Papanya melihat. Ciara membuka jendela, melambaikan tangan
pada orang-orang. Semua tamu undangan berdiri, menatap ke arah mobil pengantin
yang hanya diisi mempelai wanita. Mempelai prianya―anggap saja aku―tertawa
penuh kemenangan. "Kita! Ini tentang kita!" pekik Ciara.
Aku
sempat menoleh ke belakang, melihat orang-orang yang mencoba mengejar mobil
kami yang semakin kencang. Keluar dari jalan kecil, menuju perempatan. Aku
berbalik. Di depan kami, sebuah truk berjalan ke arah yang sama. Mobil kami
terlalu cepat. Pekik senang Ciara berubah menjadi kepanikan. Aku lupa di mana
letak rem harus diinjak.
Aku
merasakan cahaya yang hilang dari mata. Gelap. Semuanya gelap. Suara terakhir
yang kudengar hanya suara Ciara. Entah dia menangis atau tertawa.
mampir ke sini sekalian ngajak kenalan dengan blog saia yang masih ecek-ecek..
BalasHapusceritanya bagus, perpaduan kisah Romeo dan Juliet ditambah runaway bride..hehe..
salam, Linda
hehehehhe iya mas makasih2. eh udah lama ga tegur sapa :)
Hapus