shutterstock.com |
Beberapa minggu lagi, Olivia akan menghadapi UAS―sering
dipelesetkan menjadi ulangan agak serius.
Tugas-tugas bertumpuk. Seperti membuat karangan pendek dalam bahasa Jerman
sejumlah seratus kata, merangkum 7 bab untuk pelajaran Agama, mengerjakan
kumpulan soal Matematika, makalah bahasa Indonesia. Tugas-tugas itu memaksanya
memperbaiku hubungan dengan Nana.
"Nan, aku minta maaf," Olivia mengulurkan
sekotak coklat. "Kamu tidak perlu…" Nana membuka kotak coklat itu.
"Ini bukan valentine!" Nana terpingkal. Ya, coklat dalam kotak itu
berwarna coklat-pink dan berbentuk hati. "Aku mau cari coklat bentuk sapi
tapi cuma itu yang ada potongan harga," goda Olivia. "Nah, pasti beli
di toko Beauty. Ya kan? Kemarin aku ke sana, beli susu kedelai titipan kakakku.
Aku lihat coklat ini di rak."
"Yaaah ketahuan. Bukan
kejutan dong!"
"Hahaha. Salahmu
sendiri. Kenapa beli di toko dekat sekolah?"
"Soalnya aku malas
pergi jauh-jauh."
"Jadi terpaksa nih,
beli coklat sogokannya?"
Keduanya tertawa bersama. Bukan karena coklat, tentu,
tapi hati mereka yang terbuka untuk memberi dan menerima maaf. "Aku bikin pe-er lho!" Olivia
menunjukkan sebuah karton yang berisi tabel Kimia dengan hiasan pensil warna
dan stiker. "Waah, tabel Kimiaku saja belum jadi. Punyanya Rini salah,
tadi tabel Kimianya dikembalikan Bu Ambar. Katanya kurang teliti. Padahal kita
ini sudah mendekati UAS. Harusnya kita dikasih kesempatan lebih banyak untuk
latihan soal, bukan tugas individu dan tugas kelompok yang menumpuk begini.
Kapan mau belajar buat ulangannya?" Nana terus mengoceh panjang lebar.
Kadang tanpa sadar ia selingi dengan bahasa Jawa yang diucapkan cepat dan hanya
dapat ditangkap telinga oleh Olivia sepotong-sepotong.
"Peh, tugase ngentai tenan!" seru Nana keras.
Beberapa anak di kelas menoleh. "Na, bahasamu!" tegur Eka yang
dikenal paling halus tutur katanya di antara teman-teman sekelasnya. Olivia
mengeryit. "Apa artinya?" Eka memutar bola matanya. "Jangan
ditanya. Itu tidak baik buat dipelajari. Kamu belajar kromo inggil saja. Dari
tadi bahasanya Nana itu ngoko." Nana berbisik, "Ah, yang tadi itu
kurang kasar. Masih ada yang lebih kasar lagi. Tapi kalau ketahuan guru, kita
bisa dimarahi. Nanti kita disebut misuh-misuh. Kita ini wajib pakai kromo
inggil atau bahasa Indonesia saja sekalian kalau di lingkungan sekolah, ingat
kan?"
Olivia meringis, "Kadang kamu ngoko saja aku belum
tahu artinya apalagi kalau kromo. Logatnya itu lho yang susah ditiru. Kalian
suka menertawakan kalau aku mencoba." Nana memasukkan sebutir coklat ke
dalam mulut Olivia. "Sudah, makan saja. Baik kan aku, mau kasih coklat ke
kamu?" Olivia menahan tawa sembari mengulum coklat yang luruh di mulutnya.
"Tahu tidak," sambil mengunyah, Olivia berbicara, "mamaku di
sini lho."
"Oh ya? Terus? Papa
kamu juga?"
"Aku belum tahu kabar
Papa. Papaku belum telpon. Cuma sms, katanya kangen aku dan tanya liburan akhir
semester mau ke mana. Aku jawab, di mana saja sama. Terus belum ada balasan
lagi. Kata mama, papaku sedang banyak pekerjaan."
"Jadi, kamu mau liburan
sama papamu?"
"Belum tahu juga.
Mungkin bergantian. Seminggu dengan mama, seminggu lagi dengan papa."
"Kamu kangen
papamu?"
"Pastilah!"
"Terus, mamamu bilang
apa lagi?"
"Apa ya? Cerita tentang
perceraian. Tapi ceritanya belum lengkap. Aku masih belum tahu harus bersikap
seperti apa. Aku kan tidak tahu apa-apa. Harapanku sih, mama dan papa menjaga
komunikasi. Jangan seperti ini, saling diam. Aku jadi canggung."
"Sudah cerita ke Mas
Wahyu?"
"Mas Wahyu tidak boleh
kuganggu. Kamu tahu sendiri, dia sudah kelas tiga."
Olivia mengambil sebutir
coklat lagi. "Coklatnya enak juga. Coklat bisa menghapus stres dari
kepala kan?" Nana mengamini sambil ikut mengambil sebutir coklat.
"Sayang coklatnya bukan bentuk sapi dan tidak diisi selai blueberry. Bakal
makin enak."
"Ada satu lagi."
"Apa?"
"Mama ajak aku
ikut."
"Ikut ke?"
"Pulang. Bukan tinggal
di Jawa. Tapi rumah kami sendiri. Ya, walaupun di rumah itu nantinya sudah
tidak tinggal papa."
"Jadi?"
"Aku ditawari pindah
sekolah."
"Terus?"
"Aku belum tahu
keputusanku apa."
"Mas Wahyu
bagaimana?"
"Justru itu."
Dalam sedetik, coklat di mulut Olivia berubah pahit.
Entah ia harus senang atau apa menghadapi permintaan mama untuk tinggal bersama
mama lagi. Di satu sisi, ia kurang suka tinggal di kota kecil. Eyang memang
baik, apalagi Mas Wahyu. Ia baru saja benar-benar menerima kehadirannya di
sini. Ia mulai terbiasa dengan teman-temannya, guru-gurunya, sekolahnya.
Sekarang ia justru mendapat pilihan apakah ingin tinggal atau pergi. Mana bisa
ia memutuskan? Menolak permintaan mama tentu mengecewakan orang tuanya. Kalau
ia tinggal dengan mama, akan lebih mudah untuk papa berkunjung. Papa tidak
punya waktu mendatangi Olivia di Jawa.
Tapi, kalau ia pergi, Mas Wahyu mau apa? Mau ia suruh
pindah juga? Ia tidak terlalu berat meninggalkan teman-temannya. Toh tidak
semua teman sekelasnya benar-benar bisa menerimanya dengan baik. Ia masih
merasakan ada jurang yang menganga dalam interaksi mereka. Hanya karena banyak
tugas kelompok, mereka saling menahan diri dan berusaha bekerja sama. Coba
kalau tidak. Ia yakin, sampai semester berikutnya pun ia masih berjuang merebut
hati teman-temannya yang terlanjur mengecapnya si anak kota yang sombong, yang
kaku, yang sulit diajak berteman.
Dan, lagi-lagi pertanyaan itu muncul berulang di kepala.
Mas Wahyu bagaimana? Apa mereka harus putus? Ini kali pertama Olivia tahu
rasanya jatuh cinta, punya pacar, dan dijaga. Dijaga dari rasa kesepian. Dijaga
dari kesadaran menjadi orang asing. Terakhir, dijaga supaya tetap senang. Mas
Wahyu paling jago menghiburnya dan mengalihkan pikirannya dari kesedihan. Kalau
Mas Wahyu yang membantunya bertahan, kenapa ia mau meninggalkan?
"Aku pusing," keluh Olivia akhirnya setelah
jeda cukup lama. Nana masih di depannya, menatap dengan ekspresi yang
entah-apa-artinya. "Aku juga tidak tahu," sahut Nana sembari
mengedikkan bahu. "Ternyata coklat ini tidak membantu. Aku tetap kepikiran.
Aku baru belajar menerima keadaan di sini, menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan teman-teman. Aku mulai merasa diterima." Nana menutup kotak coklatnya
dan memasukkan dalam tas. "Mungkin kandungan coklatnya lebih sedikit
dibanding takaran susu dan gulanya. Rasanya terlalu manis kan? Mirip permen.
Kamu perlu beli coklat hitam yang agak pahit. Itu bagus buat jantung."
"Kalau buat hati?"
"Hatimu kan bukan di
sini."
"Maksud kamu?"
"Hatimu dicuri Mas
Wahyu."
"Ah, Nanaaaaaaa!"
"Makin bingung?"
"Sepertinya."
"Sana, cari Mas Wahyu.
Kalian bicarakan berdua. Dia berhak tahu kalau kamu berencana memutuskan
dia."
"Aku tidak mau putus.
Aku masih suka dia."
"LDR?"
"Apa?"
"Long distance relationship."
Olivia menggendong ranselnya. Parkiran, parkiran. Ia menyurusi selasar dengan tidak sabar. Lautan
anak-anak sekolah yang ingin pulang mengepunya. Mereka berdesakan, saling
beradu cepat menuju parkiran. Gerbang parkiran yang terletak di samping
belakang sekolah itu berada di lorong sempit dekat kantin dan toilet. Jelas,
jumlah manusia yang begini banyak tidak sebanding dengan lebarnya ruang gerak.
"Mas!" Olivia memekik sambil melambaikan
tangan. Mas Wahyu tidak mendengarnya. Ia terlihat bercakap dengan beberapa
teman, sudah mengeluarkan sepeda. Olivia terdorong barisan orang-orang yang
memasuki parkiran. Sementara jaraknya dengan Mas Wahyu semakin jauh karena
pacarnya itu mulai mendorong sepeda ke arah gerbang yang lain, gerbang parkiran
yang juga merangkap gerbang sekolah.
Dorong sana, dorong sini. Olivia harus secepatnya
mencegah Mas Wahyu pulang. Gerbang parkiran yang di belakang maupun gerbang parkiran
depan sama-sama sulit dijangkau. Ia terjebak di antara deretan sepeda, motor,
dan pemiliknya. Handphone mana
handphone?! Olivia merogoh saku. One
missed call. "Mas, kenapa tidak diangkat sih?" ujar Olivia pada
dirinya sendiri. Beberapa orang meliriknya heran karena ia bicara sendiri
sambil melihat layar handphone.
Ia tak ingat berapa lama terdorong ke sana ke mari selama
di parkiran. Mungkin setengah jam. Ketika mencapai gerbang, dilihatnya Mas
Wahyu telah pulang. Sosoknya tidak ada. Ia tahu, Mas Wahyu tidak sempat
menunggunya. Sekarang, anak kelas tiga tidak punya jadwal les lagi setelah
pulang sekolah. Pihak sekolah membuat kelompok-kelompok belajar kecil untuk
mengerjakan soal-soal latihan menghadapi UAN. Kegiatan belajar dibuat
semenyenangkan mungkin dan menghindarkan anak-anak dari rasa bosan. Mereka juga
tidak boleh patah semangat atau terbebani.
Mas Wahyu sudah pergi.
Kedua kaki Olivia terasa lemas. Ia duduk di trotoar.
Malas untuk beranjak. Matanya menatap anak-anak yang meninggalkan sekolah. Ada
yang dengan sepeda, motor, mobil, jalan kaki, menunggu angkutan umum, becak.
Dari kejauhan, Olivia bisa melihat Nana juga pulang dengan teman-teman mereka.
"Sendirian? Mana pacarmu?" Seseorang yang tidak
Olivia harapkan muncul. Lelaki yang sudah dua kali memancing emosinya. Tanpa
segan, ia duduk di samping Olivia. "Belajar kelompok. Dia kan kelas
tiga," ujar Olivia sekenanya, tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ada yang sudah
berhasil beradaptasi ya?"
"Kamu itu
mata-mata?"
"Aku cuma mendengar apa
kata orang dengan baik. Aku memperhatikan lingkungan dengan teliti."
"Terlalu merpehatikan,
sepertinya."
"Pengamat yang
baik."
"Apa yang kamu amati?
Urusan orang? Sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan hidupmu?" cela
Olivia dengan sadis. Lelaki itu tertawa. Hei, dia tertawa? Olivia baru kali ini
mendengarnya. Ini percakapan ketiga mereka tapi ini percakapan pertama tanpa
pertengkaran. Olivia mencoba menurunkan emosinya. Semua orang bisa berubah.
Mungkin lelaki ini memberinya kesempatan untuk tidak marah.
"Tidak mau pulang?"
Olivia menjawab dengan bercanda, "Mau
mengantar?" Lelaki itu bangkit. "Boleh. Tuh, ada angkutan. Ayo
menyebrang." Ia menggenggam tangan Olivia dan menariknya ke seberang
jalan. Olivia terkejut tapi tidak berkata apa pun. Ia menurut.
Di dalam angkutan, Olivia tidak banyak bicara. Ia hanya
mengiyakan atau sebaliknya, berkata tidak, pada lelaki itu. Namanya Bima. Dia
kelas tiga. Tapi kelompok belajarnya tidak berkumpul hari ini. Dia pernah satu
kelas dengan Mas Wahyu waktu kelas dua. Menurutnya, Mas Wahyu orang yang baik
dan setia. "Pantas kamu langsung meleleh sama Wahyu. Dia memang banyak
yang suka. Dia punya kharisma."
"Mantan pacarnya banyak
ya?"
"Hahaha. Kalau tentang
itu, kamu tanya sendiri. Yang jelas, selama sekolah di sini, cuma kamu yang aku
lihat selalu menempel dengan Wahyu. Seakan kalian kembar siam. Cuma gara-gara
kelompok belajar ini saja dan latihan soal yang makin banyak, pacarmu jadi
tambah sibuk. Tapi sepertinya kamu juga setia ya."
"Mas, itu gang rumahku. Aku turun di sini." Mas
Bima mengangguk. "Tidak usah bayar. Aku yang bayar." Olivia
mengucapkan terima kasih melalui tatapannya. "Hati-hati ya cantik. Kalau
tidak ada Wahyu yang jaga, aku bisa jaga kamu." Giliran Olivia yang
mendelik. Menjagaku? Kenapa Mas Bima…
Ia turun dari angkutan dengan perasaan tak menentu. Sampai di rumah pun Olivia
masih tak tenang. Semakin banyak pertanyaan bermain-main di kepalanya.
Sebelumnya :
belum selesai ya? kirain ini endingnya... xixixi... malah + hot... ada 1 lagi yang naksir tuh
BalasHapusbelom.masih mikir ending yang "wow" hahahahaha
BalasHapus