shutterstock.com |
Aku menggelengkan kepala. "Tahu apa, Bu Yusti?"
Dengan cepat, Bu Yusti menarikku mendekat. Lalu ia berbisik, "Bapak punya
simpanan!"
"Waaah," itu responku. "Kok cuma wah? Kamu
ini bagaimana sih?" Bu Yusti berkacak pinggang. Kugaruk-garuk kepalaku
yang tak gatal. "Memangnya harus bagaimana tanggapan saya, bu? Namanya
juga tuan tanah, bapak pasti punya banyak simpanan. Katanya bapak terlalu
kolot, makanya tidak pernah menyimpan uang di bank…."
Pletak! Tangan Bu Yusti melayang. "Aduh! Bu, kok
saya dipukul?"
"Kamu ini jadi orang polosnya kebangetan! Masak
tidak paham? Itu lhoo…" Bu Yusti menggerakkan-gerakkan kedua alisnya naik
turun. Aku mulai mengerti. "Mm begitu…"
Kemudian Bu Yusti bercerita dengan penuh semangat.
Katanya, ia prihatin dan kasihan dengan istri bapak. Tapi aku meragukan
keprihatinan Bu Yusti. Suaranya terdengar menggebu dan pupil matanya yang
membesar menunjukkan antusiasme yang tinggi. Tak sesuai dengan orang yang
merasakan simpati.
Warung Bu Yusti kedatangan beberapa ibu lainnya. Dan
mulailah kelompok ibu-ibu itu menggosip. Cerita bergolak makin panas, drama
makin bergoyang. Suara Bu Yusti dan Bu Mila meninggi. Aku sungguh khawatir ada
orang lewat yang tak sengaja mencuri dengar.
Bapak yang dimaksud Bu Yusti maupun ibu-ibu tadi bukan
bapakku. Bapak adalah panggilan kesayangan orang-orang sekampung pada Pak
Tarib. Ia orang terkaya di kampung kami. Ia bukan penduduk asli. Dulu, waktu
kecil, orang tua Pak Tarib ikut bedol desa. Ketika beranjak remaja, Pak Tarib
memutuskan berkelana. Dengar-dengar, ia tidak tinggal di suatu kampung lebih
dari empat tahun. Hingga akhirnya Pak Tarib menikahi Bu Hayu dan memutuskan
menetap di kampung kami.
Kisah mengenai kekayaan Pak Tarib pun melegenda di
kampung kami. Bagaimana ia menginspirasi banyak pemuda pemudi agar tidak
berhenti bermimpi. Sering kali Pak Tarib mencekoki kami dengan etos kerjanya
yang ulet dan tekun. Aku masih ingat, suatu kali ia pernah menepuk-nepuk bahuku
sembari berkata, "Jangan takut mengubah nasib. Jangan mau menjadi orang
yang sama seperti orang tuamu. Jangan puas hanya menjadi petani."
Maksudnya, ia ingin aku memperbaiki kondisi ekonomi
keluarga. Bapak kandungku adalah petani. Sementara Pak Tarib tidak meraih
keberhasilannya dengan bertani. Ia memilih jalan hidup sebagai saudagar. Dan ia
membuktikan, pilihan profesi yang tersedia di kampung kami tak cuma jadi
petani.
"Bu, sudah dengar gosip terbaru?" Aku duduk di
sisi ibu di atas dipan. Ibuku yang sudah kepala empat dan mulai beruban masih
nampak cantik. Aku selalu terpesona tiap menatap ibu. Keanggunan yang terpancar
melalui sorot mata dan senyum tulusnya membuatku betul-betul mengidolakan ibu.
Apalagi bapakku sering memuji ibu. "Ibumu perempuan paling cantik dan
paling baik hati yang pernah bapak temukan selain eyang utimu."
"Gosip apa, nak?"
"Bapak punya simpanan?"
Ibu seperti orang jantungan. "Bapakmu selingkuh dari
ibu?"
"Eh, bukan bu! Bukan bapakku, bukan bapak kita. Pak
Tarib."
"Nak, kamu dengar dari.."
Lalu aku menceritakan bagaimana hebohnya gosip itu
beredar, dimulai dari warung Bu Yusti. Ibu cuma menghela nafas, mengelus dada,
dan menggelengkan kepala. Ibu terlihat syok. Tidak heran. Semua orang di
kampung kami sangat menghormati Pak Tarib. Bahkan banyak yang mendorong beliau
mencalonkan diri sebagai camat.
"Nak, jangan suka bergosip. Tidak baik. Itu
kebiasaan buruk orang kampung. Orang yang tidak punya kerjaan. Yang bisanya
cuma mengurusi urusan orang. Kamu tidak kasihan dengan istri Pak Tarib? Dia pasti
nelangsa kalau orang-orang mengetahui aib keluarganya. Jangan pedulikan Bu
Yusti." Kalau ibu sudah berkata demikian, aku tidak bisa tidak selain
menurut dan menutup mulut.
Esoknya, aku berusaha menhindari Bu Yusti. Tapi sayang,
dia melihatku di pasar. "Kamu tahu tidak? Adiknya Bu Hayu sudah melihat
Pak Tarib dengan istri simpanannya itu! Sekarang Bu Hayu punya saksi! Pak Tarib
bisa dicerai! Kampung bakal gempar!" Meski aku menggelengkan kepala, mau
tak mau aku menyimak juga. Duh, Gusti, telingaku dipakai mendengarkan gosip.
Susah menghindari orang-orang macam Bu Yusti.
Waktu malam, ibu pamit. "Ibu mau keluar
sebentar." Kutawari mengantar. Namun ibu menolak. Padahal aku khawatir.
Bukan apa-apa, sakit vertigo ibu sering kambuh. Aku takut ibu pingsan di jalan.
Apalagi bapak sedang tak ada di rumah dan aku yang ditugaskan merawat ibu. Bisa
mati aku dimarahi bapakku.
"Mbak? Mbak Siti?" Pintu rumahku diketuk
seseorang. Ternyata Aulia, anak bungsu Bu Yusti. Dia memang dekat denganku.
"Kenapa dik?" tanyaku. "Ibuku sakit kak. Aku mau beli obat. Tapi
motornya dipakai Mbak Galuh ke kampung sebelah. Mbak Siti bisa tidak
mengantarku?" Melihat wajahnya yang memelas, aku pun luluh. Walau
sebetulnya aku malas. Apotik terdekat dari kampung kami letaknya tujuh kilo.
Akhirnya kami berhasil mendapatkan obat yang dibutuhkan
Bu Yusti. Berulang kali Aulia mengucapkan terima kasih dan berulang kali pula
aku harus mengatakan, "Tidak apa-apa. Tetangga harus saling
membantu."
Kami melewati jajaran hotel kelas melati ketika Aulia
mengusikku. "Mbak, itu mirip ibunya mbak ya?" Aulia menunjuk seorang
perempuan. Mataku tertuju pada seorang perempuan yang turun dari mobil bersama
seorang lelaki. Dan laki-laki itu Pak Tarib.