http://www.shutterstock.com/pic-70098184 |
"Maaf.
Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Aku menelan ludah. Beberapa detik
terasa lambat sebelum aku memalingkan wajah.
"Apa
maksudmu?" Pertanyaan bodoh. Mungkin aku salah memahami kata-kata yang
baru saja meluncur dari bibirnya.
"Aku
tidak mencintaimu. Aku tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu. Maaf. Tapi aku
tidak mau membohongi diriku sendiri. Aku juga kasihan padamu bila kita
menjalani hubungan palsu. Hubungan yang dilandasi rasa kasihan. Karena aku tak
mau mengasihanimu. Aku yakin kau kuat tanpaku."
Butuh
beberapa detik lagi sebelum aku mengucap, "Oh," pelan dan mengerti.
"Lihat
kan? Kau begitu kuat. Aku tahu, sedalam apapun cinta yang pernah kita miliki,
akan ada masanya ketika cinta itu habis. Aku bisa melihatnya, jauh di kedalaman
matamu. Aku sudah tahu sejak awal, bahkan sebelum mengatakannya padamu. Kau
akan baik-baik saja tanpaku. Kau tidak terkejut apalagi sakit hati. Kau
terlampau berani menghadapi segala kemungkinan. Pasti kau juga telah
mempersiapkan kemungkinan yang satu ini. Rasa bosanku dan rasa lelahku."
Aku
terus mendengarkan kalimatnya tanpa mengubah ekspresi wajah. Kurasakan rahangku
mengeras dan mataku sulit berkedip.
"Kau……tidak…..pernah..mencintaiku?"
Aku terkejut mendengar suaraku sendiri. Aku terkejut masih mampu merespon
pengakuanmu. Respon yang terbata dan kusut. Sedikit aneh mendengar suaraku
sendiri bicara sangat lambat seperti hampir kehilangan kesadaran.
"Tidak,
bukan itu maksudku. Dulu aku mencintaimu. Sekarang tidak lagi. Aku baru
mengerti mengapa banyak pasangan yang mengakhiri hubungan mereka setelah
mempertahankannya bertahun-tahun. Ternyata kini aku merasakan yang mereka
rasakan. Kehampaan. Mungkin terlalu menjemukan bagiku bertemu dan bicara
denganmu setiap hari. Aku butuh sesuatu yang baru. Dan kau juga butuh. Apa kau
menyadari akhir-akhir ini kita kehabisan topik? Sering aku menelponmu sementara
kita saling membisu. Apa gunanya melanjutkan hubungan ini?"
Aku
mengangguk. Kesadaranku telah meninggalkan tubuhku berkilo-kilo meter jauhnya.
Suara dalam hati kecilku tumpang tindih. Aku ingin memberontak dan
menyanggahmu. Tapi bibirku terkatup rapat. Aku kembali mencoba mencerna ulang
setiap kata dan kalimat yang kudengar. Namun aku kehabisan akal. Semua yang
kudengar terasa berputar-putar dalam kepalaku dan menyakiti telingaku. Wajahku
terasa berat. Bukan mengantuk. Aku baru sadar lama setelahnya, wajahku berat
menahan tangis. Tangis yang tertahan membuatku kesulitan bernafas.
"Kau
perempuan yang baik. Tapi aku tidak cukup baik bagimu. Aku lelaki yang baik.
Tapi aku jauh kalah baik dibanding lelaki-lelaki lain yang mengejarmu di luar
sana. Dengan melepaskanmu, aku memberi mereka kesempatan sekaligus peluang
mendekatimu. Kau akan mendapatkan banyak pilihan yang sesuai dengan kriteriamu.
Kau bisa memulai hidup baru dan petualangan yang lebih baru. Kau dapat
memperbaiki apa-apa yang masih kurang dalam hubungan kita dulu. Sekarang aku
memberimu kebebasan. Kau tidak perlu takut aku marah karena tidak menyetujui
keputusanmu. Sebab, mulai detik ini, semua di tanganmu. Kau boleh mencat
rambutmu atau mengganti kacamatamu dengan lensa kontak. Aku bukan siapa-siapa.
Aku tidak berhak melarangmu."
Mati
aku. Mati. Tidak. Aku tidak bisa. Jangan. Jangan tinggalkan aku. Sama saja
dengan kau menguburku hidup-hidup. Jangan-lakukan-ini-padaku.
"Aku
kagum dengan ketegaran dan ketabahanmu. Sepuluh bulan aku mencintaimu dan
membuatmu terkungkung. Baru kusadari aku terlampau banyak mengubahmu menjadi
perempuan yang sesuai mauku. Sejak menjadi kekasihmu, hampir tidak ada dirimu yang
dulu yang bertahan. Seluruhnya kau ubah demi aku. Mengapa aku begitu bodoh
membiarkanmu berlama-lama mengalah? Kau perempuan dan kau punya kebebasan.
Genggamlah kebebasanmu, aku janji. Dengar, aku janji. Aku pergi. Aku tidak
mengusikmu lagi. Tidak dengan tuntutan-tuntutan atau aturan-aturan yang kubuat
sepihak. Aku mencintaimu sebagai teman. Bisa kan kita mulai dari awal?"
Mengapa
kau begitu mudah mengatakannya. Seakan kau berkata tanpa berpikir. Padahal aku
sudah kepayahan menahan tubuhku yang hampir terjatuh. Punggungku tidak sanggup
menahan beban yang entah dari mana datangnya. Kepalaku pening. Mataku seperti
terbakar. Aku masih susah berkedip. Seakan aku tidak mau melepaskan sosokmu
dari hadapanku. Dan dalam otakku yang beku, aku masih mencerna ulang setiap
kata yang kau lontarkan.
Mungkin
kau tidak sadar jari jemariku gemetar. Pasti kau tidak menangkap bahasa tubuhku
secara keseluruhan. Kau cuma menyadari wajahku yang datar tanpa ekspresi. Sebab
kau tidak sadar, aku tengah meraih kepingan-kepingan yang berserakan. Aku
memunguti jiwaku yang berantakan. Mencoba menata ulang. Tanpa aba-aba. Detik
ini juga.
"Aku
pamit dulu ya. Jaga dirimu baik-baik." Tepukan terakhir dari tanganmu ke
pundakku. Setelah kau melepaskan tanganmu, aku menahan diri untuk tidak meremas
pundak yang baru kau sentuh. Aku memandangimu yang menjauh hingga tubuhmu
benar-benar hilang di ujung jalan.
Aku
berjongkok dan tersedu.
Sepuluh
bulan adalah waktu terindah sekaligus terlama yang pernah kurasakan dalam
menjalin hubungan. Sepuluh bulan yang tidak akan berlanjut lagi untuk
kurasakan. Sepuluh bulan yang katamu membuat bosan. Sepuluh bulan yang kau
anggap pengecualian untuk tidak menyakitiku karena katamu aku kuat.
Entah
apa definisi kuat dalam otakmu. Entah apa arti kuat bagimu. Dan lagi, entah
bagaimana kau cukup yakin aku pun biasa-biasa saja, baik-baik saja, kau tinggal
begini. Tanpa tanda-tanda, kau datang, berkata-kata, lalu berlalu. Membiarkanku
merayapi sisa hari dengan menjadi cengeng. Walau tidak kuperlihatkan
kecengengan di depanmu.
Hebat.
Aku mengagumi diri dengan tidak meneteskan air mata di hadapanmu. Dalam waktu
singkat aku mampu mengenakan topeng yang membuatmu mengira aku terlampau berani
menerka. Bahwa kau akan tiba kemudian pergi. Pergi yang tidak untuk kembali.
Pergi dan melepaskan keutuhanku menjadi kekacaubalauan.
"Hei!"
aku memanggilmu dalam mimpi. "Lelakiku, mau kemana? Kenapa cepat-cepat?
Jangan bersegera. Aku masih tahap lambat. Aku masih berduka. Pelankan langkahmu
sedikit saja. Aku baru belajar memulai dan menutup hari tanpa senyumanmu."
Kemudian
aku tersentak bangun. Terduduk di ranjang, dalam kondisi berpeluh, lalu
menangis sesenggukan. Aku bodoh. Bodoh. Bodoh. Selanjutnya, aku tertidur.
Malam-malam berikutnya kulalui dengan terbangun dan tertidur tak menentu. Dalam
seminggu, kantung mata hitam menghiasi wajahku di cermin. Jadi, aku menolak
berkaca.
Dua
minggu.
Sebulan.
Tiga
bulan.
Delapan
bulan.
Aku
kembali di titik kau meninggalkanku. Aku menandai titik di ujung jalan melalui
mata dan memoriku ketika kau tidak terlihat lagi.
***
"Kenapa
cinta kita begitu sulit?" tanyaku.
"Agar
kita lebih menghargai cinta." Kau melirikku sesaat.
"Oh
ya? Semakin berat perjuangan kita, semakin kuat kita bertahan?" kupinta
penegasan. Melalui keteduhan sinar matanya dan ketenangan wajahnya aku dapat
menebak.
"Tentu.
Lihat, aku masih di sampingmu, kan?" Kau menatap lurus ke depan.
"Jangan pikirkan masa depan. Namun percayalah pada kekuatan harapan. Kita
akan baik-baik saja selama saling mencoba dan menjaga."
Aku
heran, kau sungguh dewasa. Kau membuatku ikut dewasa melalui hubungan ini.
Kau
tidak memanjakanku dengan pujian atau barang. Kau juga tidak selalu menyediakan
dirimu hanya untukku. Kau justru menempaku menjadi perempuan yang tangguh dan
sanggup melalui badai. Ketika aku menangis, kau tidak mengusap air mataku.
Namun kau membiarkanku menyelami perasaan dan mengendalikan emosi. Ketika aku
marah, kau mendiamkan hingga aku tenang.
Suatu
kali kau bilang, "Kendali ada dalam dirimu, bukan aku atau orang
lain." Perkataanmu mencambuki kesadaranku sehingga aku menjadi seperti aku
yang sekarang.
"Aku
iri melihat orang lain. Hubungan mereka terlihat terlalu mudah dijalani.
Sementara aku menjalani hari-hari dengan rasa khawatir kita tidak berhasil
menyelesaikan perjalanan ini." Mendengar pengakuanku, kukira kau akan
kecewa. Tapi kau luar biasa. Ujarmu, "dengan rasa iri yang
menggigit-gigit, kau dapat membangun keyakinan dan kepercayaan diri. Hubungan
sesulit ini, kau mampu lalui. Ternyata kau lebih beruntung. Kau mereguk madu
yang berlimpah ruah. Setajam apapun penghalang yang mencoba menghalau arahmu,
kau tetap bangkit. Jadi, kau punya alasan berbangga."
Heran.
Ada lelaki sepertimu yang selalu bisa melihat segala hal dari sisi positif. Heran.
Terbuat dari apa bilik hatimu sehingga menampungku sangat dalam?
Aku
hampir menyerah. Namun kau meletakkan siku untuk kuamit. Sehingga aku kembali
tegak.
"Aku
tidak akan meninggalkanmu." Kalimat itu adalah kalimat yang selalu kuputar
ulang rekamannya setiap aku akan menjalani hari demi hari berikutnya. Sejak
itu, kalimatmu yang satu itu menjadi pelengkap dan penguat kebahagiaanku. Sial,
aku bersumpah tidak mau melepaskanmu, apapun yang terjadi. Aku sanggup patah
hati, jatuh, berdarah, berkalang tanah, berselimut abu, bergumul debu bila
dengan itu kita tetap satu. Sumpah. Pegang kata-kataku, lelaki. Aku, kau,
cinta.
Kemudian
kami dihukum ritme kehidupan. Kau mengejar ambisi, aku mendulang kekaguman.
Kagum padamu yang masih menyisihkan waktu bersamaku. Kagum padamu yang
menyediakan lahan seluas-luasnya agar aku dapat menyemai cinta dan rindu.
Hingga aku tidak ingat sesaknya merasai rindu. Sebab kau paham benar apa yang
dibutuhkanku. Ini gila, ini cinta. Kau memabukkanku dalam gelora yang membuat
duniaku berwarna.
"Kenapa
diam?" Lama tidak berjumpa, kau menghubungiku. Terlalu lama memendam
cerita, aku mulai lupa. Dulu segala hal kukatakan padamu. Setiap detik, menit,
jam yang kulalui dalam dua puluh empat jam siap kubagi. Tapi sejak kau
menjalani kesibukan, aku menahan diri makin banyak. Hanya yang penting-penting
saja yang kuberikan. Selain menyesuaikan dengan waktu yang kaupunya, aku tahu
diri untuk memberikan telingaku dan siap mendengar kisahmu. Tentu kau butuh
aku. Pendengar setiamu yang mencintai setiap ceritamu.
"Jangan
diam," bentakmu. Tidak, aku ingin memberimu kesempatan lebih banyak
berceloteh. Aku rindu celotehmu. Meski kutahan-tahan tiap rindu itu menetes
perlahan. Sampai-sampai aku sesak oleh tetesan. Berdenyut aku setiap menyebut
namamu dalam hati dan doa.
Ini
yang membuatmu pergi.
Membosankan.
Menjemukan. Kapan aku paham? Kau tidak suka dengan aku yang sekarang, aku yang
kehausan. Aku haus akan kisahmu, ceritamu, celotehmu. Hingga kau memilih diam
karena aku makin diam. Kemudian kami semakin saling diam. Hingga kau memecah
kesunyian.
***
Kudengar
lelaki itu, lelaki yang dulu katanya pernah mencintaiku, lelaki yang memintaku
menanam harapan dalam doa. Lelaki yang itu, kata orang, dia sering
mencari-cariku. Katanya dia alpa. Dia menyesal salah mengartikan rasa
bosan-jenuh-jemu yang dulu ia akui di depanku. Setelah melepasku dan menitipkan
kebebasan dalam genggamanku, ia seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia sering
meremas dan menggenggam kekosongan dalam kepalan tangannya. Ia tidak dapat
meraih kembali yang telah ia tinggalkan. Sementara aku, menatapnya, terus
menatapnya, dan masih mencerna ulang.