muhammadamirullah14.wordpress.com |
"Hei, tetangga jauh!" Bahrun melambaikan tangan
pada Kamidi. Yang disapa hanya melempar senyum. Ini merupakan cara yang biasa
dipakai Bahrun dalam menyapa tetangga-tetangga di sekitarnya. Dengan menyebut
mereka tetangga jauh. Padahal rumah Kamidi sendiri berhimpitan dengan tembok
rumahnya.
"Sampean mau tarawih?" tanya Kamidi. "Iya
mas. Mau tarawih juga? Saya naik motor," jawab Bahrun sembari melirik
motor bebek tuanya. "Aduh, aku harus kerja," sahut Kamidi. Bahrun
mengangguk-angguk tanda paham. "Oh, begitu mas. Bulan puasa banyak rezeki
ya? Ya sudah mas, saya pamit dulu. Semoga bisa cepat beli baju lebaran buat
anak istri." Kamidi mengacungkan jempol tanpa melepas senyum lebar yang
menghiasi wajahnya.
Kamidi masuk ke dalam rumah. Dilihatnya istrinya yang
hamil tengah mengusap-usap perut. "Bu, lapar?" tanya Kamidi. Istrinya
tidak menjawab. Kamidi tahu, istrinya merasa tak enak hati mengeluhkan uang
belanja mereka yang kurang atau rasa lapar yang datang. Sudah tiga hari
terakhir Kamidi tidak berpenghasilan. Dengan sabar, selama tiga hari pula,
istrinya meminta singkong di kebun tetangga. "Sudah, pak. Jangan
dipikirkan. Ibu bukannya lapar, cuma butuh tidur."
Kamidi mengusap-usap kepala istrinya dengan sayang.
"Ibu tidur di dalam ya. Bapak mau keluar. Siapa tahu dapat rezeki dari
jalan." Istrinya terkekeh geli. "Rezeki di jalan? Berharap dapat
durian runtuh, pak? Bapak ini ada-ada saja." Kamidi lalu pamit. Dalam hati
ia berharap dapat membawa pulang sekedar beras atau gorengan. Asal istri dan
bayi yang dikandung istrinya tidak kelaparan.
***
Sembari terkantuk-kantuk, Bahrun mendengarkan ceramah
yang menjadi jeda antara shalat isya dengan shalat tarawih. Penceramah hari ini
adalah camat setempat yang bergelar haji. Pak camat ini dikenal ramah dan rajin
ibadah. Suaranya penuh wibawa dengan tatapan mata tajam. Bahrun berusaha
mengingat-ingat isi ceramah yang disampaikan pak camat agar bisa ia bagi dengan
istrinya di rumah. Istrinya tengah hamil dan tidak kuat berjalan ke masjid.
Kandungannya menginjak usia delapan bulan.
"Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam keadaan
kenyang namun tetangganya dalam keadaan lapar. Rasul menyuruh kita memuliakan
tetangga. Karena itu kita harus membuka mata dan telinga terhadap keadaan
tetangga kita. Jangan masa bodoh dan tidak mau peduli. Apalagi kalau tetangga
kita adalah saudara seiman kita. Allah itu Maha Lembut. Kita juga ahrus menjadi
pribadi yang lembut. Lembut tidak hanya kepada istri, anak, orang tua. Tapi
juga lembut pada tetangga. Saling mengasihi. Salah satu caranya lewat makanan. Kalau
sampai kita membiarkan tetangga kita mencium bau masakan tapi kita tidak……"
Bahrun mengangguk-angguk. Ia memang mengajarkan hal
serupa pada istrinya. Setiap memasak sayur, mereka memberi kuah yang banyak.
Agar sayut itu dapat dinikmati tetangga-tetangganya juga. Bahrun teringat
Kamidi. Istrinya bercerita, tiga hari belakangan Kamidi berbuka puasa dengan
singkong rebus dari kebun Pak Paulus, tetangga mereka. Rasanya Bahrun ingin
segera pulang dan mengantarkan makanan untuk keluarga Kamidi.
***
Bukan cuma istrinya yang ia pikirkan. Kamidi pun
merasakan lapar yang sangat. Perutnya bergemuruh berulang kali. Seandainya ia
tidak melarat. Seandainya ia punya pekerjaan yang lebih baik. Kata seandainya
terus berputar dalam kepala Kamidi.
Matanya tertumbuk pada gerobak pedagang sate yang mangkal
di tikungan jalan. Bau harum sate mengoyak-ngoyak kesabaran Kamidi. Ia tak
dapat mencegah menelan air liurnya. Istrinya pasti suka. Istrinya yang hamil
itu membutuhkan makanan bergizi. Kamidi bisa membayangkan wajah bahagia
istrinya bila mendapat sepuluh tusuk sate untuk makan sahur mereka.
Seorang perempuan dengan seragam kerja tengah membeli
sate. Beberapa pembeli sate lain sudah pergi. Perempuan itu pembeli terakhir
yang dilayani si penjual sate. Kamidi penasaran, apakah dompetnya penuh dengan
uang….
"Jambret! Jambret!" Kamidi lari secepat kilat.
Ia tak berani menoleh ke belakang. Ia tak peduli dengan teriakan perempuan itu.
Suara-suara gaduh terdengar dari jauh dan semakin dekat. Kamidi tahu, ia
dikejar penduduk kampung. Tas tangan perempuan itu telah berpindah ke dalam
dekapannya. Kamidi merasakan kelegaan sekaligus takut luar biasa. Lega karena
ia berhasil mendapat uang. Takut karena bisa saja ia tertangkap. Sambil
berlari, Kamidi membuka tas itu. Mencari dompetnya. Ingin menghitung isinya.
Kosong.
Kamidi mendadak berhenti. Ia lari sejauh ini, diteriaki
jambret, demi dompet yang kosong? Kamidi ingat, perempuan tadi membawa uang dalam
genggaman tangannya untuk membeli sate. Jadi
uang perempuan tadi cuma cukup untuk sepuluh tusuk sate. Mendadak, sebuah
pukulan melayang. Kena kepalanya. Kamidi jatuh tersungkur. Lalu hidungnya,
mulutnya, pipinya. Tendangan di kaki dan tangannya. Lemparan batu. Kayu.
"Ampun! Ampun! Ampun! Dompetnya kosong! Saya tidak
dapat uang!" Kamidi terus berteriak minta ampun. Namun orang-orang itu,
yang sebagian membawa sajadah dan masih bersarung, tidak mau mendengar. Mungkin
mereka baru pulang dari masjid. Mungkin mereka baru mendengar ceramah agama.
Lalu mereka memukulinya tanpa kasihan.
"Kamidi?!" Bahrun berteriak. "Stop! Stop!
Jangan dipukul lagi! Saya kenal dia! Stop!" Bahrun merentangkan tangannya,
berusaha menghentikan aksi warga. Tadinya ia juga ikut memukul. Warga terlanjur
kalap. "Kamu kenal dia? Mau bela dia? Mau dipukul juga? Dia itu jambret!
Ini bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan. Bukannya ke masjid,
dia malah menjambret. Ini bulan untuk beribadah sepuasnya, dia malah berbuat
dosa. Ayo, kita arak keliling kampung. Telanjangi!" Warga bersorak.
Orang-orang mendorong Bahrun menjauhi kerumunan. Kamidi diseret menjauh.
"Kalian bilang ini bulan suci, bulan penuh berkah
dan ampunan. Tapi kalian menyiksa hambaNya tanpa ampun!" Teriakan Bahrun
ditelan teriakan warga yang asyik menghukum pendosa. Seluruh persendian Bahrun
terasa lemas.
gaya tulisannya mirip sama Arswendo Atmowiloto...
BalasHapusiya tah?haha
BalasHapus