Olivia [Bagian 7]


            "Mas Wahyu?" Olivia melongokkan kepala. Mas Wahyu terlihat bingung melihat Olivia di muka pintu perpustakaan. Setelah mencari-cari dengan kalut, akhirnya Olivia menemukan kekasihnya itu di antara rak-rak buku. "Bukannya tadi kamu pulang? Kamu kan sakit?" tanya Mas Wahyu heran. "Aku….aku…" Susah sekali mengucapkan kata yang tepat. "Aku sehat, mas," sahut Olivia dengan cepat. "Terus tadi, kata kamu…."
"Soal yang tadi, maaf mas. Sebetulnya aku sehat."
"Tapi…."
"Aku bohong."
Terjadi kekosongan kata-kata maupun loncatan pikiran di antara mereka. Bisu dan beku. Dua orang yang saling berhadapan tapi tak tahu apa yang harus dilakukan. Olivia yang terus diam dan Mas Wahyu yang tak mengalihkan pandang. Rasanya ganjil sekaligus nyeri.

            "Mas tidak pernah membohongi kamu.." Olivia mencoba mengangkat kepalanya, tapi terasa sangat berat. "Mas selalu bicara apa adanya…" Olivia menahan kedua kakinya untuk berbalik. Berat. Berat mendengar Mas Wahyu berkata seperti itu. Mengetahui ia melukai perasaan pacarnya ya.ng sudah berbaik hati memberi perhatian dan kasih sayang. "Kalau kamu keberatan bicara dengan mas, bilang saja. Kalau kamu memang tidak nyaman untuk jujur dengan mas, jangan ditutupi. Mas tidak mau kamu terbelenggu. Mas tidak suka kamu terpaksa. Apa selama ini kamu terbebani kalau mas tanya-tanya?"
"Mas.."
"Mas belum paham alasan kenapa kamu bohong. Padahal tadi pertanyaan mas sepele."
"Iya, itu salah aku.."
"Mas tak suka dibohongi. Kepercayaan itu mahal."
"Mas.."
"Mas kecewa."
"Iya, aku salah. Iya juga, pertanyaan mas sepele. Tapi kalau sepele, mas tidak terlalu marah, kan?"
"Mas tidak marah. Mana bisa marah sama kamu. Tapi kecewa boleh kan?"
"Apa bedanya…"
"Beda."
            Sekarang Olivia tahu. Sebaik-baiknya kekasih yang ia punya, pastilah ada kurangnya. Mungkin Mas Wahyu selalu ada untuknya. Menguatkan hatinya melewati hari-hari di sekolah. Menghiburnya dari kisah perceraian orang tuanya yang tidak ia mengerti. Membuatnya merasa punya teman sejati. Segala yang Mas Wahyu lakukan hampir tiada cacatnya. Namun Olivia mafhum. Satu yang sulit dibeli dari hati Mas Wahyu, nilai sebuah kejujuran. Bila tidak jujur, hal kecil pun menjadi besar. Kekecawaan Mas Wahyu yang berlipat-lipat seperti menamparnya dengan ikan basah. Sakit, bau, licin, dan menusuk hati.
            "Mas bisa terima maafku?" Olivia memelas dengan tatapan memohon. Ia pasrah. Kalau Mas Wahyu bergeming, ia siap-siap dengan status lajang. Berlebihan tidak sih kalau kupikir aku akan putus? "Asal jangan kamu ulangi, mas siap memaafkan. Tangan mas terbuka lebar." Olivia menatap tak percaya. Begitu saja? Pacarnya sudah luluh lagi? Baik sekali! Olivia menjerit senang. Mas Wahyu menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum terkembang. "Ini yang mas sukai dari kamu. Keceriaanmu menginspirasi mas untuk menjadi orang yang lebih baik. Supaya kamu tidak jauh-jauh dari mas. Jadi mas bisa lihat kamu tertawa."
            Olivia pulang dengan lega. Rasanya hari ini berakhir bahagia. Tadinya, sepanjang hari di sekolah, terasa berat. Dengan ia diusir dari kelas bahasa Jerman, beradu mulut dengan lelaki asing yang tak ia tahu namanya, dan berdebat dengan Nana membuatnya letih. Beruntung, masalahnya dengan Mas Wahyu telah tuntas. Coba kalau belum. Bisa tidak pulang ia karena tak tahan.
            Namun Olivia salah.
            "Mama? Mama sudah sampai?" Olivia terkejut melihat mama sudah berdiri di teras rumah eyang. Mata mama terlihat meneduhkan. Coklat bulat bening yang bersinar, memancarkan kerinduan pada putri semata wayangnya. Mengeluarkan aroma kehangatan dari sana, mengalir menuju sebuah pelukan erat. "Mama kangen kamu," tak henti-henti mama menciumi kepala Olivia. Sampai sesak rasanya Olivia. Namun ia juga senang bisa bertemu mama. Ia juga merindukan mama. Mencium tubuh mama yang harum bagai menghirup lilin aromaterapi yang menenangkan. Ketika Olivia meletakkan kepalanya di bahu mama, seakan bahu mamanya memang tercetak untuk tempatnya bersandar. Lekukannya tepat untuk membenamkan wajah.
            "Mama minta maaf baru sekarang bisa datang ke sini. Mama sudah lama ingin melihat kamu. Tapi banyak yang harus mama selesaikan di Jakarta. Mama tidak berani menelpon kamu karena takut kamu kecewa. Mama salah. Harusnya mama lebih kuat. Harusnya mama bisa cerita di telpon. Tapi mama juga tak mau membebani kamu. Kamu baru memulai awal yang baru, di tempat baru, mask sekolah baru, dengan teman-teman baru. Mama merasa egois kalau menceritakan kesedihan mama pada kamu."
            Olivia menyerap setiap kata yang mama ucapkan. Ia tidak mau melepaskan lekukan penuh kehangatan di bahu mama. Kepalanya tetap di sana. Tanpa perlu melihat mama pun Olivia tahu. Getaran suara mama terdengar berbeda. Mama menangis. Kalau melihat ke dalam bola mata mama yang coklat bulat bening itu, Olivia takut akan menangis juga. Tidak. Jangan angkat kepala. Aku harus kuat.
            "Bagaimana kabarnya kamu di sini? Kata eyang kamu jarnag cerita. Mama mau tahu. Mama tertinggal banyak informasi tentang kamu. Mama seperti kehilangan kamu berbulan-bulan. Seakan mama tidak punya putri." Olivia menggeleng kuat-kuat. "Mama tetap punya aku. Cuma mama belum lihat aku. Sekarang kan sudah. Mama tenang saja. Olivia bahagia di sini. Meskipun kebahagiaan Olivia akan lebih lengkap bersama mama." Dalam kepalanya, Olivia mengingat dengan jelas wajah Mas Wahyu. Ia dapat merasakan genggaman erat Mas Wahyu di tangannya. Seakan Mas Wahyu sedang berada di sampingnya dan memanggil-manggil namanya dengan sayang.
            "Papa apa kabar, ma? Kapan papa ke sini?" Mama bergerak tidak nyaman. "Masuk dulu, yuk. Sambil duduk, kita bicarakan pelan-pelan." Tanpa mengalihkan perhatian dari mama, Olivia mencari posisi senyaman mungkin di sofa. Ia siap mendengar apa pun kisah yang akan mama bagi. Lama sekali ia tak menghabiskan waktu berdua dengan mama. Olivia baru sadar, dari tadi ia tak melihat eyang.
            "Mama tidak tahu kabar papa. Setelah resmi bercerai, mama tidak pernah lagi berkomunikasi dengan papamu. Tapi papamu janji akan membantu mama membiayai kamu. Kalau papamu kangen, pasti papamu akan mencari. Tapi tidak melalui mama. Papa bisa mengajakmu bertemu langsung." Olivia tidak berkomentar. Ia tak dapat membayangkan kedua orang tuanya saling diam. Tiba-tiba perceraian itu terasa nyata. Perceraian yang memisahkan dua orang yang penting dalam hidupnya. Bayangan Mas Wahyu hadir di kepalanya, membuatnya tak tahan ingin mengadu pada pacarnya. Mungkin papa tidak akan pernah datang.
            "Tapi papa berpesan, jangan titipkan kamu pada eyang di Jawa. Itu terlalu jauh. Seakan mama ingin memutus kontak antara kamu dengan papamu. Rumah eyang terlalu jauh untuk dijangkau papa. Mama setuju. Kita akan tinggal bersama lagi. Kamu ikut mama." Alis Olivia terangkat. Itu kan artinya….
            "Setelah kamu UAS, mama akan datang ke sekolah dan mengurus kepindahanmu." Dengan cepat, Olivia menarik tangan mama. Kepanikan menjalari nadinya. Seperti setrum yang menyengat kesadarannya. "Jangan! Aku mau di sini!" Namun kata-kata itu terasa pahit di mulutnya. Pindah? Tapi kalau pindah, aku bisa tinggal dengan mama. Terus Mas Wahyu….
            Mama memberi Olivia kesempatan berpikir. "Keputusan di tangan kamu. Mama tidak mau memaksa. Mama sudah egois dengan membiarkan kamu tidak tahu apa-apa tentang perceraian mama dan papa."
            Sisa hari itu menjadi terasa buruk. Lebih buruk dibanding pertama kalia ia tahu orang tuanya akan bercerai. Apa ia harus marah dan kecewa karena mereka bercerai? Kenapa papa tidak ke sini? Kalau dia tinggal dengan mama, apa dia juga akan bergantian menginap di rumah papa? Bagaimana sih sikap yang tepat kalau orang tua sudah bercerai? Ia sering mendengar bahwa perceraian akan mengorbankan anak-anak. Namun selain kenyataan orang tuanya tidak saling berkomunikasi, ia tidak tahu apa yang akan lebih menyakitkan dan aneh lagi. Juga bahwa di rumah hanya akan ada mama. Juga..juga…juga..
            Tanpa sadar Olivia tertidur. Air mata ikut turun, malamnya tak tenang.
Sebelumnya :

2 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama