"Mas Wahyu?" Olivia melongokkan kepala. Mas
Wahyu terlihat bingung melihat Olivia di muka pintu perpustakaan. Setelah
mencari-cari dengan kalut, akhirnya Olivia menemukan kekasihnya itu di antara
rak-rak buku. "Bukannya tadi kamu pulang? Kamu kan sakit?" tanya Mas
Wahyu heran. "Aku….aku…" Susah
sekali mengucapkan kata yang tepat. "Aku sehat, mas," sahut
Olivia dengan cepat. "Terus tadi, kata kamu…."
"Soal yang tadi, maaf
mas. Sebetulnya aku sehat."
"Tapi…."
"Aku bohong."
Terjadi kekosongan kata-kata
maupun loncatan pikiran di antara mereka. Bisu dan beku. Dua orang yang saling
berhadapan tapi tak tahu apa yang harus dilakukan. Olivia yang terus diam dan
Mas Wahyu yang tak mengalihkan pandang. Rasanya ganjil sekaligus nyeri.
"Mas tidak pernah membohongi kamu.." Olivia
mencoba mengangkat kepalanya, tapi terasa sangat berat. "Mas selalu bicara
apa adanya…" Olivia menahan kedua kakinya untuk berbalik. Berat. Berat
mendengar Mas Wahyu berkata seperti itu. Mengetahui ia melukai perasaan
pacarnya ya.ng sudah berbaik hati memberi perhatian dan kasih sayang.
"Kalau kamu keberatan bicara dengan mas, bilang saja. Kalau kamu memang
tidak nyaman untuk jujur dengan mas, jangan ditutupi. Mas tidak mau kamu
terbelenggu. Mas tidak suka kamu terpaksa. Apa selama ini kamu terbebani kalau
mas tanya-tanya?"
"Mas.."
"Mas belum paham alasan
kenapa kamu bohong. Padahal tadi pertanyaan mas sepele."
"Iya, itu salah
aku.."
"Mas tak suka
dibohongi. Kepercayaan itu mahal."
"Mas.."
"Mas kecewa."
"Iya, aku salah. Iya
juga, pertanyaan mas sepele. Tapi kalau sepele, mas tidak terlalu marah,
kan?"
"Mas tidak marah. Mana
bisa marah sama kamu. Tapi kecewa boleh kan?"
"Apa bedanya…"
"Beda."
Sekarang Olivia tahu. Sebaik-baiknya kekasih yang ia
punya, pastilah ada kurangnya. Mungkin Mas Wahyu selalu ada untuknya.
Menguatkan hatinya melewati hari-hari di sekolah. Menghiburnya dari kisah
perceraian orang tuanya yang tidak ia mengerti. Membuatnya merasa punya teman
sejati. Segala yang Mas Wahyu lakukan hampir tiada cacatnya. Namun Olivia
mafhum. Satu yang sulit dibeli dari hati Mas Wahyu, nilai sebuah kejujuran.
Bila tidak jujur, hal kecil pun menjadi besar. Kekecawaan Mas Wahyu yang
berlipat-lipat seperti menamparnya dengan ikan basah. Sakit, bau, licin, dan
menusuk hati.
"Mas bisa terima maafku?" Olivia memelas dengan
tatapan memohon. Ia pasrah. Kalau Mas Wahyu bergeming, ia siap-siap dengan
status lajang. Berlebihan tidak sih kalau
kupikir aku akan putus? "Asal jangan kamu ulangi, mas siap memaafkan.
Tangan mas terbuka lebar." Olivia menatap tak percaya. Begitu saja?
Pacarnya sudah luluh lagi? Baik sekali! Olivia menjerit senang. Mas Wahyu
menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum terkembang. "Ini yang mas sukai
dari kamu. Keceriaanmu menginspirasi mas untuk menjadi orang yang lebih baik.
Supaya kamu tidak jauh-jauh dari mas. Jadi mas bisa lihat kamu tertawa."
Olivia pulang dengan lega. Rasanya hari ini berakhir
bahagia. Tadinya, sepanjang hari di sekolah, terasa berat. Dengan ia diusir
dari kelas bahasa Jerman, beradu mulut dengan lelaki asing yang tak ia tahu
namanya, dan berdebat dengan Nana membuatnya letih. Beruntung, masalahnya
dengan Mas Wahyu telah tuntas. Coba kalau belum. Bisa tidak pulang ia karena
tak tahan.
Namun Olivia salah.
"Mama? Mama sudah sampai?" Olivia terkejut
melihat mama sudah berdiri di teras rumah eyang. Mata mama terlihat meneduhkan.
Coklat bulat bening yang bersinar, memancarkan kerinduan pada putri semata
wayangnya. Mengeluarkan aroma kehangatan dari sana, mengalir menuju sebuah
pelukan erat. "Mama kangen kamu," tak henti-henti mama menciumi
kepala Olivia. Sampai sesak rasanya Olivia. Namun ia juga senang bisa bertemu
mama. Ia juga merindukan mama. Mencium tubuh mama yang harum bagai menghirup
lilin aromaterapi yang menenangkan. Ketika Olivia meletakkan kepalanya di bahu
mama, seakan bahu mamanya memang tercetak untuk tempatnya bersandar. Lekukannya
tepat untuk membenamkan wajah.
"Mama minta maaf baru sekarang bisa datang ke sini.
Mama sudah lama ingin melihat kamu. Tapi banyak yang harus mama selesaikan di
Jakarta. Mama tidak berani menelpon kamu karena takut kamu kecewa. Mama salah.
Harusnya mama lebih kuat. Harusnya mama bisa cerita di telpon. Tapi mama juga
tak mau membebani kamu. Kamu baru memulai awal yang baru, di tempat baru, mask
sekolah baru, dengan teman-teman baru. Mama merasa egois kalau menceritakan
kesedihan mama pada kamu."
Olivia menyerap setiap kata yang mama ucapkan. Ia tidak
mau melepaskan lekukan penuh kehangatan di bahu mama. Kepalanya tetap di sana.
Tanpa perlu melihat mama pun Olivia tahu. Getaran suara mama terdengar berbeda.
Mama menangis. Kalau melihat ke dalam bola mata mama yang coklat bulat bening
itu, Olivia takut akan menangis juga. Tidak. Jangan angkat kepala. Aku harus kuat.
"Bagaimana kabarnya kamu di sini? Kata eyang kamu
jarnag cerita. Mama mau tahu. Mama tertinggal banyak informasi tentang kamu.
Mama seperti kehilangan kamu berbulan-bulan. Seakan mama tidak punya
putri." Olivia menggeleng kuat-kuat. "Mama tetap punya aku. Cuma mama
belum lihat aku. Sekarang kan sudah. Mama tenang saja. Olivia bahagia di sini.
Meskipun kebahagiaan Olivia akan lebih lengkap bersama mama." Dalam
kepalanya, Olivia mengingat dengan jelas wajah Mas Wahyu. Ia dapat merasakan
genggaman erat Mas Wahyu di tangannya. Seakan Mas Wahyu sedang berada di
sampingnya dan memanggil-manggil namanya dengan sayang.
"Papa apa kabar, ma?
Kapan papa ke sini?" Mama bergerak tidak nyaman. "Masuk dulu, yuk.
Sambil duduk, kita bicarakan pelan-pelan." Tanpa mengalihkan perhatian
dari mama, Olivia mencari posisi senyaman mungkin di sofa. Ia siap mendengar
apa pun kisah yang akan mama bagi. Lama sekali ia tak menghabiskan waktu berdua
dengan mama. Olivia baru sadar, dari tadi ia tak melihat eyang.
"Mama tidak tahu kabar papa. Setelah resmi bercerai,
mama tidak pernah lagi berkomunikasi dengan papamu. Tapi papamu janji akan
membantu mama membiayai kamu. Kalau papamu kangen, pasti papamu akan mencari.
Tapi tidak melalui mama. Papa bisa mengajakmu bertemu langsung." Olivia
tidak berkomentar. Ia tak dapat membayangkan kedua orang tuanya saling diam.
Tiba-tiba perceraian itu terasa nyata. Perceraian yang memisahkan dua orang
yang penting dalam hidupnya. Bayangan Mas Wahyu hadir di kepalanya, membuatnya
tak tahan ingin mengadu pada pacarnya. Mungkin
papa tidak akan pernah datang.
"Tapi papa berpesan, jangan titipkan kamu pada eyang
di Jawa. Itu terlalu jauh. Seakan mama ingin memutus kontak antara kamu dengan
papamu. Rumah eyang terlalu jauh untuk dijangkau papa. Mama setuju. Kita akan
tinggal bersama lagi. Kamu ikut mama." Alis Olivia terangkat. Itu kan
artinya….
"Setelah kamu UAS, mama akan datang ke sekolah dan
mengurus kepindahanmu." Dengan cepat, Olivia menarik tangan mama.
Kepanikan menjalari nadinya. Seperti setrum yang menyengat kesadarannya.
"Jangan! Aku mau di sini!" Namun kata-kata itu terasa pahit di
mulutnya. Pindah? Tapi kalau pindah, aku
bisa tinggal dengan mama. Terus Mas Wahyu….
Mama memberi Olivia kesempatan berpikir. "Keputusan
di tangan kamu. Mama tidak mau memaksa. Mama sudah egois dengan membiarkan kamu
tidak tahu apa-apa tentang perceraian mama dan papa."
Sisa hari itu menjadi terasa buruk. Lebih buruk dibanding
pertama kalia ia tahu orang tuanya akan bercerai. Apa ia harus marah dan kecewa
karena mereka bercerai? Kenapa papa tidak ke sini? Kalau dia tinggal dengan
mama, apa dia juga akan bergantian menginap di rumah papa? Bagaimana sih sikap
yang tepat kalau orang tua sudah bercerai? Ia sering mendengar bahwa perceraian
akan mengorbankan anak-anak. Namun selain kenyataan orang tuanya tidak saling
berkomunikasi, ia tidak tahu apa yang akan lebih menyakitkan dan aneh lagi.
Juga bahwa di rumah hanya akan ada mama. Juga..juga…juga..
Tanpa sadar Olivia tertidur. Air mata ikut turun,
malamnya tak tenang.
Sebelumnya :
terus si eyang? ditinggal sendiri dong...
BalasHapusnantikan kelanjutannya hahahahha
Hapus