shutterstock.com |
“Ibu, kenalkan, ini
Andika, yang sering aku ceritakan pada ibu.”
Ia mengangguk sopan. Aku
tersenyum sedikit. Kuperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Biasa saja. Tidak bagus, tidak pula buruk. Tidak spesial. Kenapa putriku menggilainya?
Memang sehebat apa ia sampai putriku berani membawanya ke rumah kami?
“Ibu kok diam saja, sih,”
Ika merajuk.
“Silakan masuk, Andika. Tante senang Ika mau
mengenalkan pacarnya pada tante. Jadi tante bisa melihat seperti apa pilihan
anak tante.”
Dia tertawa renyah, “Iya
tante, saya sudah lama minta Ika mengenalkan saya pada tante. Namun Ika
menunggu waktu yang tepat.”
Tepat? Pernahkah waktu
membuat apa yang kita lakukan menjadi tepat? Kalau tidak dimulai, tak akan ada
yang tepat!
“Sekarang Andika bekerja
dimana? Ika, kamu ambilkan minum dulu buat Andika, ya,” ujarku. Setelah
Ika pergi, Andika mulai buka suara. “Saya kerja di bidang advertising, tante. Saya dan Ika saling kenal sejak kuliah dulu.
Kami baru dekat di acara ulang tahun Suci, sahabat Ika. Suci jadi mak
comblangnya.”
“Oh,” hanya itu jawabanku.
Mungkin dia tak enak dengan kebisuan di antara kami, dia mulai bercerita lagi.
“Kemarin orangtua saya baru pulang dari rumah kakak di Medan dan ingin mengenal
Ika. Jadi Ika saya bawa ke rumah. Mama sangat senang dengan Ika.”
“Senang kenapa?”
“Soalnya Ika jago masak,
tante. Kata Ika dia diajari masak dari kecil sama tante.”
“Memangnya di keluarga
kamu, perempuan wajib pintar masak?”
“Tidak sih, tante. Cuma
mama senang ada teman tukar resep karena istri kakak tidak suka masak. Mama mau
punya menantu yang bisa diajak masak-masak atau ke pasar berdua.”
***
“Ma, kenalkan, ini pacar
Andika.”
“Saya Ika, tante.”
“Ya, masuk-masuk. Duduk
dulu ya. Kebetulan tante bikin es kopyor hari ini. Tante ambil dulu di dapur.”
Aku mengamit lengan
Andika. “Siapa dia? Tinggal dimana? Apa pekerjaan ayahnya?”
Andika melepas tangaku.
“Ma, sudahlah. Jangan berlebihan begitu. Andika baru membawa dia ke sini tapi
mama pertanyaannya banyak sekali.”
“Kalau dia kamu bawa ke
rumah, pasti kalian berniat serius!”
“Di mana-mana kalau
pacaran itu buat serius ma, pacaran bukan untuk permainan kan?”
“Apa kamu sudah
mempertimbangkan baik-baik apa dia tepat di bawa ke dalam keluarga kita?”
“Lalu harusnya perempuan
seperti apa yang mama inginkan jadi menantu mama?”
“Yang bisa mengimbangi kamu
dong! Pokoknya dia sekarang ke dapur, kamu panggil dia. Ujian pertama, mama
perlu membuktikan dia sebagai calon istri yang baik atau tidak buat kamu.”
“Mama minta dia masak?”
“Memasak adalah kewajiban
seorang istri.”
***
“Bagaimana pendapat ibu
tentang Andika?”
“Lumayan. Kamu yakin akan
serius dengan dia?”
“Kok ibu tanya seperti
itu?”
“Dia sudah mapan belum?”
“Andika itu hidupnya
berkecukupan bu, tapi dia memang sederhana dan tidak suka bermewah-mewah.”
“Orangtuanya kerja apa?”
“Papanya punya perkebunan
kelapa sawit.”
“Kamu siap menjadi istri
dia?”
“Itu alasannya aku bawa
Andika kemari supaya ibu melihat kesiapan dan keseriusan kami.”
“Keluarganya sombong
tidak? Kamu ingat kan, ayah sudah pensiun tapi kita masih mengontrak rumah. Ibu
cuma buka toko kelontong dan kamu juga baru mulai kerja.”
“Ibu kenapa berpikir
sejauh itu? Keluarga Andika baik sama aku, bu. Ibu tenang saja.”
***
Ini pertama kalinya
keluarga kami bersua. Aku menemani putraku, Andika. Ika bersama keluarganya.
Sejak pertama bertemu calon besanku, aku sungguh tidak menaruh rasa tertarik
atau nyaman. Pakaiannya sangat norak, merah gemerlap dan memakai celana
bermotif harimau. Tidak seperti aku, penampilanku cukup anggun dengan long
dress warna perak dan
rambut digelung. Tidak, sepertinya kami tidak cocok.
***
Aku merasa terintimidasi
dengan tatapan calon besanku. Apa dia tidak suka dengan penampilanku? Oh, ini
baju kesukaanku. Menurutku, ia terlihat terlalu berlebihan. Penampilannya
sangat formal. Apa dia pikir kami tengah berpesta? Tidak bisakah ia bersikap
sedikit santai? Lalu kenapa memilih pertemuan keluarga di sini? Ini kan
restoran mahal? Aku tidak bisa membaca menunya karena menggunakan bahasa yang
tak aku paham. Andika dan Ika terlihat senang-senang saja. Ketika mulai makan,
calon besaku mulia menanyakan hal-hal yang setelah dijawab, mereka menunjukkan
ekspresi tak suka.
***
Suamiku menanyakan
pekerjaan orangtua Ika. Hanya PNS? Rumah masih mengontrak? Sekarang buka toko
kelontong? Ika seorang SPG di di toko baju? Yang benar saja! Suamiku terlihat
jengah di tempat duduknya. Makannya tak lahap. Kulihat Andika dan Ika
berpegangan tangan di bawah meja. Aku memalingkan muka saat bertemu pandang
dengan calon besan. Apa-apaan ini?
***
“Ika, ibu minta kamu
mendengar pendapat ibu. Mereka menghina keluarga kita! Mereka tidak suka karena
kedudukan dan keuangan kita tidak menyamai mereka.”
“Ibu kolot sekali,
kedudukan semua orang itu sama, bu. Kenapa ibu ini? Bilang saja ibu tidak
setuju kalau aku dengan Andika. Apa kurangnya dia, bu? Dia baik, pintar,
bertanggung jawab, mapan, menghargaiku, mendukungku.”
“Kamu tak lihat bagaimana
sikap orangtua Andika pada ayah ibumu?”
“Mereka begitu karena
belum mengenal ayah dan ibu dengan baik. Ibu tenanglah sedikit.”
“Ibu tak mau direndahkan.
Kalau ibu sudah tidak kuat bekerja, siapa yang mengurus ibu dan ayah? Kamu anak
ibu satu-satunya, Ika.”
“Jelas aku yang merawat
ayah dan ibu! Aku yang akan bertanggung jawab. Kenapa ibu masih
mempertanyakannya? Jika nanti memang Andika dan aku berjodoh, aku aka membawa
ayah dan ibu tinggal bersamaku.”
“Kamu yakin? Ibu tanya
sekali lagi, seyakin apa kamu? Coba pikir, betapa malunya ibu dan ayah
menumpang sementara orangtua Andika akan semakin meremehkan kita.”
“Ibulah yang menganggap
diri ibu patut dianggap remeh sehingga ibu merasa diremehkan. Ibu kurang
percaya diri hanya karena orangtua Andika kaya.”
***
“Dari segi pendidikan
saja, kalian jauh berbeda. Kamu lulusan universitas ternama, summa cum laude, bekerja di bidang yang
kamu sukai, punya fasilitas dari kami. Lantas Ika? Dia hanya lulusan SMA yang
kami tidak tahu kualitasnya. Dia SPG, Andika! Setelah kalian menikah, apa dia
tetap pada pekerjaannya? Kemudian, ayah ibunya kamu pula yang tanggung biaya
hidupnya? Kami kasihan jika kerja kerasmu dipakai untuk membiayai hidup mertua.
Kamu sudah sepantasnya menikmati uangmu untuk kebutuhanmu sendiri.”
Andika diam saja,
menatapku dan papanya. Dia mungkin sedikit goyah.
***
Cerpen ini pernah diposting di K. Sudah
diunpublished dan dipindah ke blog ini.
Paling tidak suka seperti sifat orang tua andika...
BalasHapusterlalu merendahkan orang lain. Padahal manusia sederajat dimata Tuhan...!!
iya, betul, manusia sederajat di mata Tuhan :)
Hapus