Burning giraffes and telephone (Salvador Dali) |
Aku hanya punya waktu seminggu untuk
membuatmu kembali mencintaiku. Pada hari ketujuh, sebuah lonceng akan bergema,
memberitahuku ke mana arah cahaya. Pertama-tama yang akan diambil adalah
suaraku, lalu wajahku, kemudian seluruh tubuhku.
Kau di seberang jalan, bersama seorang
teman, di bawah rintik hujan. Kau tersenyum lebar seperti terakhir kali yang
kuingat ketika kita bernyanyi bersama. Aku hanya terlalu senang melihatmu di sisiku. Kemudian
kau mulai bernyanyi, mengikuti lagu di radio. Volumenya kubesarkan agar kau
puas mendengarnya. Aku ikut menyanyi, meski suaraku lebih mirip seperti lengkingan perempuan dibanding suara lelaki.
Karena musiknya terlalu keras, aku tidak
mendengar suara klakson bus patas.
“Aku mencintaimu. Kau juga begitu. Kita ditakdirkan
bersama. Aku bisa membuktikannya. Aku tahu segala hal tentangmu.”
Jean mengeryit.
“Aku tahu tanggal ulang tahunmu, nomor
ponselmu, alamat rumahmu, nama sahabat-sahabatmu, impianmu setelah menikah,
bahkan doa yang kau panjatkan tiap malam pergantian tahun.”
Jean menggeleng keras-keras. Poninya memantul-mantul.
Air mata meleleh di pipinya yang lembut. Aku ingin mengusapnya, tapi ia akan
makin takut. Ia mulai mundur.
“Kau mencoba meyakinkanku bahwa kau
adalah Jeremy? Padahal aku melihatnya mati? Aku yang menemaninya di saat-saat
terakhir! Aku yang melihat dokter menutupkan selimut hingga wajahnya!”
Lidahku tercekat. Persis seperti kata
malaikat yang mengunjungiku tujuh hari lalu. Waktuku hampir habis.
“Kau cuma bajingan tengik yang berusaha
mengacaukan pernikahanku! Dasar lelaki kesepian! Kau mengaku-aku sebagai Jeremy
untuk mendapat perhatian, kan? Kau bisa mendapat tanggal ulang tahunku dari
internet! Nomor ponsel dan alamat rumahku ada di kartu nama! Kau cukup membuka website pribadiku untuk mendapat seluruh
informasi tentangku. Menurutmu aku cukup bodoh, mengira Jeremy bernafas
kembali? Wajah kalian bahkan tak sama.”
Aku berlutut. Kalau perlu, aku akan bersujud. Demi cinta Jean.
“Kau pikir aku sebegitu menyedihkannya
hingga kau harus berpura-pura menjadi Jeremy demi memikatku? Kau kira dengan
mengaku sebagai dia, aku akan jatuh cinta? Aku bahkan tak pernah memberikan
hatiku secuil pun pada Jeremy. Justru dengan kepergiannya, aku terbebas dari
rasa bersalah. Karena aku akan menikah! Kenapa
kau pikir aku mencintai lelaki yang hanya bisa mengikutiku bernyanyi? Bukan
lelaki yang membangunkanku istana seperti Leroy?”
Jadi, nama lelaki yang merebutnya dariku itu Leroy.
“Aku hanya kasihan padanya karena terus
mengusikku dengan puisi-puisi basi. Tapi Leroy memberiku segalanya. Segala yang
kupikir, begitulah seharusnya seorang pria. Aku mencintainya dengan segenap
hatiku. Dialah yang akan menjadi suamiku. Lagi pula, kalaupun Jeremy membangungkanku istana, aku tetap tak bisa menerima cintanya. Dia hanya perempuan yang mengubah kelaminnya menjadi lelaki.”
Waktu sopir bis patas itu mulai kehilangan
kendali atas rasa kantuknya, aku telah terlambat. Lampunya menyilaukan mataku. Jean
berhenti menyanyi dan memandangiku. Mata beningnya adalah pemandangan terakhir
sebelum aku terbangun dengan tubuh seputih kapas lalu mendapat tawaran untuk
mengubah keadaan.
Ini hari ketujuh yang rasanya terbuang
percuma. Sejak hari pertama mendapat kesempatan kedua, aku telah berusaha
mati-matian meyakinkan Jean. Hanya cinta sejati yang dapat membuatku kembali.
Lonceng bergema. Tanda panggilan dari
surga.
***
Ini tulisan kedua saya untuk prompt quiz #5. Tugasnya membuat interpretasi bebas dari lukisan karya Salvador Dali. Karya lain dapat dilihat di sini.
bagus juga ya ceritanya
BalasHapusmakasih ;)
Hapussaya hanya menyimak saja ni bu, sukses selalu ya
BalasHapussama2 ya
Hapusbanyak juga yang ikut kuis yah, tapi harus jadi member dulu ya
BalasHapusbegitulah :D jadi member juga ga ada ruginya kok, ga ada kewajiban mengikat seperti harus selalu setor tulisan
Hapus.keren, Lin! mantaps! :)
BalasHapustengkyuuu hehe bagusan mana sama yg satunya?
HapusMudah-mudahan ketemu jodoh yg baik di surga. :)
BalasHapusaku bisa membayangkan seluruh peristiwa dalam cerita ini di satu bingkai yang utuh. dan tak pelak ide cerita ini mengingatkanku pada film Love is Cinta (kalo nggak salah) yang diperankan trio Acha Septriasa, Irwansyah, dan Raffi Ahmad. Irwansyah yang meninggal, merasuki Raffi Ahmad yang sekarat (tukar-nyawa) lalu berusaha menyatakan cinta yang tak sempat tersampaikan pada Acha Septriasa.
BalasHapusTagline filmnya : Declare Your Love Before It's Too Late. Hiks... romantis.. sekaligus tragis. *malah ngelantur, hehehe
idenya memang sama karena saya suka film itu (walau tak suka para pemain maupun aktingnya).
Hapussemoga ga keliatan kayak njiplak hehehehhe