devianart |
“Dasar busuk! Anak haram! Tidak pantas
hidup!”
Kedua tanganku diikat ke atas. Mulutku disumpal
koran. Tubuhku telanjang. Lelaki itu terus mencambuk tanpa henti sembari
mencaci maki. Makin lama, makin bernafsu ia memisahkan daging di tubuhku dari
kulitnya. Seluruh rasa sakit berkumpul di punggung. Malu yang kuhadapi akibat
tak berpakaian di depan lelaki telah lenyap. Kepalaku hanya terfokus pada rasa
sakit yang makin luar biasa. Tangisku sampai kering. Pandanganku mulai kabur.
“Belum pingsan juga ya? Masih tahan,
hah? Akan kucambuk kau sampai mati, tahu? Biar kau mendapat pelajaran. Anak haram,
jangan berani macam-macam!”
Tepat setelah ia mengakhiri makian,
ujung cambuk itu mengenai betisku. Tubuhku mengejang. Sebuah luka baru. Sekarang
ia menyasar tubuh bagian bawah. Aku hanya berharap segera mati. Biarlah, aku
pergi. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Terlalu sakit. Kalaupun aku selamat,
pengobatannya tidak akan cepat.
Ia membenciku karena istrinya memungutku
dari seorang pembantu. Perempuan yang mengabdi pada keluarga mereka sekian
tahun itu ternyata keluar setelah hamil entah oleh siapa. Ibu kandungku tak
sanggup mengurus bayi karena campuran rasa malu dan sakit hati. Lantas istri
sang majikan mengurusku karena dulu ia belum memiliki buah hati. Tak lama, ibu
kandungku meninggal, bunuh diri karena depresi.
Ia sering memarahiku bila anak-anaknya
yang berbuat salah. Ia suka mengurungku di gudang hanya karena anak-anaknya
mengadukanku hal yang tidak-tidak. Kini, aku diperlakukan begitu hina, hanya
karena anak perempuannya kupergoki bercumbu di pinggir danau belakang rumah dua
malam yang lalu. Anak perempuannya marah lantas berkata padanya bahwa aku
mengganggu kekasihnya. Padahal anak perempuan itu hanya takut bila keburukannya
terbongkar.
Walau aku memohon, menangis, hingga
menyembahnya pun tak mengurungkan niatnya untuk menyakitiku. Bahkan istrinya
yang dulu berusaha membelaku sekarang tak mampu melunakkannya. Istrinya memelukku
untuk terakhir kali, membisikkan kata-kata sembari terisak. “Kau sudah terlalu
lama menderita. Maafkan ibu karena membiarkanmu terluka. Sekali ini lagi saja,
nak. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang.”
Pandanganku makin lama makin gelap. Namun
aku belum jua merasakan terang. Padahal rasa sakitnya sudah tak tertahan. Hangatnya
aliran darah dan goresan cambuh yang merobek kulit seakan dapat kudengar dengan
telinga. Namun ada satu kenangan yang membuatku hatiku damai. Ketika istrinya
menyebut diri sebagai ibuku. Beginilah rasanya punya ibu. Damai. Tenang. Ringan.
Ketika benar-benar gelap, secercah
cahaya terang muncul di depanku. Terang sekali hingga menyilaukan penglihatan. Mendadak,
cambukannya berhenti. Kurasakan perlahan tubuhku menjadi kebal. Mungkin karena
terlalu banyak menerima rasa sakit, aku menjadi mati rasa.
Kuangkat wajah. Ibu kandungku tersenyum.
“Akhirnya kita bertemu, nak.”
***
Karya lain bisa dilihat di sini. Prompt ini sudah lewat, padahal ide saya sendiri :D Pemilik idenya malah terlambat setor.
Ini bisa dijadikan *cerpen tp karena dijadikan FF berasa nanggung, maksudnya si tokoh lagi flashback ya sebelum meninggal ;)
BalasHapusbegitulah :D
HapusMenyimak....dan menebak endingnya....*???????*....
BalasHapuskenapa? :)
HapusGak papaaaa telaaaattt :)))
BalasHapushehe iya mbaaak
Hapusbagus :)
BalasHapusLelaki yg kejam :'(
BalasHapus:(
Hapusmengharukan sekali,,ceritanya sungguh tragis
BalasHapussemoga cuma cerita ya
Hapus