http://www.shutterstock.com/pic-23811838/ |
"Lho, memangnya kenapa ibunya kerja?" selidik
Bu Sarni. "Cicilan rumah ini belum lunas, harga-harga semakin naik.
Menantu saya banting tulang sampai hampir tiap hari sengaja lembur supaya dapat
tambahan untuk dibawa pulang. Harga susunya Fahri kan juga tidak murah, bu.
Namanya saja anak kecil, harus dipenuhi gizinya. Ya makan, vitamin,
macam-macam. Kalau popok kain repot mencucinya, sejak sebulan ini Fahri
dipakaikan popok sekali pakai. Apalagi menantu saya tidak suka pakai jasa
pembantu, semua pekerjaan rumah saya dan ibunya Fahri yang urus. Saya tidak
tega lihat anak sibuk sendiri." Bu Menur menghela nafas berat. Matanya
menekuri jalan.
"Saya juga lho, bu. Menantu saya sibuk kerja padahal
anaknya masih kecil-kecil. Dia tidak menyusui si bungsu dan tidak sempat
memperhatikan si sulung. Dulu waktu si sulung masih kelas 1 SD, saya yang antar
ke sekolah. Sekarang si sulung sudah kelas 4 SD, bisa berangkat sendiri. Tapi
dia kurang dekat dengan ibunya. Dia lebih dekat dengan saya," wajah Bu
Sarni menunjukkan keprihatinan. "Susah ya bu, kalau ibunya anak-anak
terpaksa ikut kerja membantu suami. Tapi kenapa menantu ibu kerja? Bukannya
rumah ibu dibangun, tidak beli jadi? Kalau anak saya kan ikut kerja seperti
suaminya karena cicilan rumah tinggi," tanya Bu Menur heran.
"Keperluan anak-anak tinggi bu. Biarpun katanya SPP
gratis, masih banyak tarikan yang dipungut. Acara jalan-jalan saja katanya
wajib, biar semua ikut dan kompak. Padahal uang buat darma wisata bisa dipakai
untuk hal lain. Si sulung sakit-sakitan, susah makan, sering dibawa ke dokter.
Orangtuanya banyak membelikan vitamin ini itu. Masakan di rumah harus
bervariasi biar nafsu makannya naik. Ditambah susu dan buah-buahan. Repot saya
kalau diminta ibunya atur menu. Si bungsu, dia anaknya aktif. Sebelumnya nakal,
orangtuanya sering dipanggil karena dia berantem di sekolah. Akhirnya anak saya
punya inisiatif memasukkan dia ke klab bela diri dan sekolah sepak bola.
Kenakalannya jauh berkurang, tapi ya itu, bianyanya malah membengkak."
"Tapi saya salut lho bu, si bungsu banyak kegiatan,
tidak cuma main sama teman atau malas-malasan di rumah. Dengan masuk klab dia
bisa mengasah bakat. Cucu saya yang bayi juga rajin dibawa orangtuanya ke
sekolah bayi. Zaman sekarang, bayi saja punya kegiatannya sendiri dengan
teman-temannya. Dilatih berenang lah, olahraga lah, macam-macam. Tapi biayanya
juga macam-macam, hehehe," Bu Menur menyahut. Bu Sarni mengamini.
"Kita ini nenek hebat ya bu, masih muda mengurus
anak. Masa tua habis untuk mengurus cucu. Kita punya banyak kesempatan
bercengkerama dengan cucu sendiri. Tinggal diurus anak dan menantu. Tidak perlu
ditelantarkan di panti jompo. Saya betul-betul bersyukur, bu, punya menantu
seperti Marni. Bicaranya halus, perhatian sama mertua. Apa-apa kebutuhan saya
dilengkapi. Dia sering bilang terima kasih karena saya mau membantu dia
mengurus si sulung dan si bungsu. Saya justru yang terima kasih, dia tidak
segan turun tangan mencari nafkah membantu suaminya. Anak saya pintar cari
istri," Bu Sarni berkata dengan mata berbinar bangga. Ada rasa yang meluap-lupa
di dadanya ketika menceritakan kehebatan menantunya.
"Iya ya, bu, saya jadi ikut senang. Adik saya yang
masih hidup satu-satunya terpaksa tinggal di panti jompo karena anak-anaknya
tinggal di luar pulau. Dia juga sakit-sakitan. Kalau saya sakit bisa lapor ke
anak dan menantu. Fahri jadi hiburan di hari-hari tua saya. Kadang saya tidak
sabar ingin cepat melihat Fahri tumbuh dewasa. Dia pasti tampan! Saya yang
rawat, mandikan, pakaikan baju, suapi bubur. Duh, ayahnya juga hormat. Menantu
saya tidak keberatan saya diurus dan tinggal di sini."
Setelah saling bertukar cerita, kedua nenek itu berpisah
kembali ke rumahnya masing-masing. Ketika baru masuk rumah, Bu Sarni melihat
menantunya yang sakit tengah berbaring di depan televisi. "Ibu! Ibu kemana
saja? Dari tadi saya cari. Tuh, Rio dari tadi menangis mencari ibu! Saya lagi
pusing, tidak kuat bangun. Tolong urus Rio ya bu," Marni bicara tanpa
mengalihkan pandangan dari program infotainment.
"Iya nak, ibu tadi cuma jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah."
"Ibu kan sudah tua, buat apa jalan-jalan? Nanti
vertigonya kambuh, pulang ke rumah mengeluh. Katanya kepala pusing, rasanya mau
muntah. Kalau sudah tahu tidak kuat, tidak usah memaksakan diri. Ibu bukan
remaja lagi. Usia ibu 71, bukan 17 tahun. Nanti ibu pingsan di jalan,
bagaimana? Siapa yang mau nolong? Malu bu, malu! Saya bukannya tidak sanggup bawa
ibu ke dokter, tapi ini pertengahan bulan, gaji saya hampir habis. Ibu kok
senang sekali memicu penyakit!" Bu Sarni mengelus dada. "Iya nak,
maafkan ibu ya nak. Besok-besok ibu tidak akan jalan terlalu jauh."
Bu Menur tengah menikmati teh manisnya ketika menantunya
muncul tergopoh-gopoh dari kamar, "Bu, saya dan Susi terlambat bekerja.
Ibu urus Fahri ya. Dia lapar, dari tadi rewel." Putrinya menyahut,
"Iya, ibu bantu Susi urus si Fahri. Oh iya, Susi tadi tidak sempat
mencuci, ibu yang cuci ya!"