Janji Mereka Terputus

shutterstock.com

Kata mereka. Ibu segera datang. Ibu segera tiba. Semburat putih memancar dari kaki langit, di ujung sana, ditopang Atlas. Langit tak akan runtuh. Bergelora, udara pagi meliuk-liuk, menghimpun bau memasuki indera penciuman.
Dingin. Embun. Bunga-bunga mekar. Menunggu mentari datang. Seperti Enita menunggu ibu. Berdiri. Di tepi jendela. Membuka tirai. Menatap jalan.
“Ibumu akan datang di akhir bulan November,” kata nenek.
“Ibumu tiba setelah kontrak kerjanya habis,” hibur bibi.
“Ibumu pasti merindukanmu. Jadi, tenang sajalah. Ibumu akan sampai di sini,” ujar beberapa orang lagi.
Tapi mereka salah. Ibu belum juga datang. Jadi, ibu tidak datang dengan cepat seakan rencana pulang bukan berada di skala prioritasnya.

Enita punya beragam pertanyaan untuk diajukan. Ingin mengajak ibu mengajarinya pelajaran Biologi. Minta turun ke kebun, melakukan percobaan intermediet. Menyerbuki bunga-bunga. Menyilangkan bunga-bunga. Mencatat data-data. Lalu menyerahkan pada ibu guru dan berkata bangga, “Aku mengerjakannya bersama ibuku.” Sembari tersenyum puas.
Ibu, kapan datang, bisiknya.
***
Rona. Langit merona, jingga, di antara perbatasan menentang siang menghadang malam. Tembok-tembok putih dihiasi garis keemasan.
Hari kepergian Aren.
Seperti tahun lalu. Ketika daun-daun gugur ditiup angin di sini, di negeri yang mengednal dua musim–hujan dan kemarau. Ketika angin bertiup kencang laksana gatal merobohkan pohon-pohon. Ketika air menjadi beku–membekukan sendi-sendi dan bergelombang.
Kata Aren ia akan datang setahun sekali. Cukup setahun sekali di tiap-tiap hari ia pergi. Maka Nina, sahabat Aren yang baik, akan menunggu.
Lamat-lamat terdengar deru kendaraan. Minibus tua yang diharapnya membawa Aren pulang. Mungkin Aren masih di terminal, bisiknya. Lama. Semakin lama. Semakin tak sabar. Berjalan hilir mudik. Berkacak pinggang. Mengetuk arloji. Tetap tak berubah.
Aren belum datang. Menunggu. Melamunkan musim. Menghitung-hitung. Menuliskan pekerjaan rumah di buku besar. Aren belum datang.
Kalau begitu capek juga. Bosan. Setelah memandang jalan untuk terakhir, bergegas pulang. Menanti Aren di beranda.
***
Sekelompok anak. Mereka menunggu. Menanti. Mengharap datang. Ibu guru Santi. Ibu Santi yang baik hati dan acap kali memberi permen.
Anak-anak itu gelisah. Beberapa mulai melempari air denga batu. Bermain-main dengan dedaunan. Duduk di tunggul pohon. Duduk di tanah. Berkejaran. Hingga lelah.
“Ibu Santi mana? Sudah datang belum?” tanya salah seorang. “Belum,” sahut temannya.
Ibu Santi ulang tahun hari ini. Mereka akan memberi kejutan! Sebuah pesta tak terduga di pinggir danau. Ada kue besar yang disembunyikan di balik semak. Ada botol-botol susu. Ada kotak kado berisi sepasang sepatu. Mereka senang dan tak sabar menunggu. Ingin cepat-cepat melihat ekspresi haru milik ibu guru.
***
“Sebuah bus terguling ke jurang akibat menghindari tabrakan beruntun. Kini, polisi dan tim SAR tengah mengevakuasi para korban. Warga berdatang mencoba membantu. Kami akan memberikan daftar penumpang bus.” Reporter itu bicara dekat jurang. Kamera diarahkan pada bus besar yang terletak jauh di bawah, dekat dasar jurang.
Ada daftar nama penumpang.
Mungkin yang kau tunggu dan kau kasihi di dalam sana, bersama yang lain, terputus janji mereka menemuimu.
***
Cerpen ini pernah diposting di K. Sudah unpublished dan dipindah ke blog ini.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama