"Persetan
dengan perempuan laknat itu. Harusnya dia tahu cara membuka mulut yang benar
dan kapan waktu yang tepat. Asu! Dasar perempuan kampung, tak tahu diuntung,
tak pernah menginjak bangku sekolah!" Kutekan ujung rokok yang masih
menyala ke asbak untuk mematikan apinya. Bosan menyumpah-nyumpah, aku berdiri.
Berkacak pinggang. Kuelus cambangku yang mulai ditumbuhi uban. Sial, emosiku
tak kunjung reda. Masih panas telingaku mendengar pengakuan mantan istriku
bahwa aku telah meninggalkan kewajibanku menafkahi putri kami selama enam bulan
terakhir. Sudah kubilang, meski kami sudah bercerai, dia tak boleh membuka aib
dapur kami. Biarlah ia tahu kini aku jatuh miskin, terlilit hutang, dan
dikejar-kejar debt collector. Namun
mulut setannya tidak mau kompromi. Perempuan itu mengeluhkan keadaan kami pada
seorang kerabatnya di kampung sebelah. Ia mencoreng martabatku, kepala desa
Raiwangi!
Berita
jelek itu pasti gampang menyebar. Tanpa perlu ba bi bu, belum setengah hari
perempuan bodoh dan hina itu curhat pada kerabatnya. Semua orang di desaku
sekarang telah mengetahui bahwa aku bangkrut. Bahkan membayar uang sekolah
putri kami, putriku dengan perempuan sial itu, aku tak mampu. Ah, perempuan
macam apa dia? Dia mempermalukan aku, mantan suaminya sekaligus ayah dari
anaknya! Tolol! Anakku pasti dirundung malu akibat ulah ibunya. Silakan,
silakan ia bicarakan keburukanku. Sampai mati nanti, dia akan nelangsa! Lihat
saja!
Kusarungkan
golok yang sedari tadi tersimpan di atas lemari. Kuselipkan pada sabuk di
pinggang yang tertutup sarung. Tak sabar aku mendatangi perempuan itu.
Sepanjang jalan, orang-orang menatapku dengan pandangan menghina. Beberapa ibu
seperti berbisik dan menuding atau melirik sinis setiap langkah majuku. Dasar
mantan istri bajingan! Mau apa dia dengan semua kebusukan dari mulutnya?
"Mau kemana pak kepala desa?" seorang lelaki dengan kumpulan bebek
angon yang berkumpul di belakangnya menahanku. Aku mendengus. Mau kujawab apa
dia?
"Jalan-jalan,
cari udara segar," jawabku sembari memaksakan seulas senyum. Ah, lelaki
beda dengan perempuan. Lelaki tidak terlalu heboh dengan gosip. Bisa jadi
lelaki di hadapanku ini belum dengar tentang aibku yang dibocorkan mantan
istriku itu. "Bapak sedang kesulitan keuangan? Kebetulan sedang ada dana
segar di koperasi pak. Nanti bapak bisa dapat pinjaman modal untuk…."
Sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, aku telah berlalu, mempercepat
langkahku menuju rumah mantan istriku.
Aku
berdiri dengan jarak lima meter dari gubuk kecil tempat mantan istri dan
putriku berdiam. Gubuk ini dibangun tak lama setelah Lastri resmi bercerai
denganku. Sebagai seorang ibu, hak asuh putri semata wayangku jatuh ke
tangannya. Belum apa-apa semakin sebal aku dibuatnya. Lastri membangun gubuk di
tengah kebun, jauh dari rumah tetangga. Seakan ia ingin mengisolasi putriku
dari pergaulan dengan para tetangga. "Lastri!" teriakku. Tidak ada
sahutan. Jangan bilang perempuan itu
takut lalu sembunyi ketika mengetahui kedatanganku. Dia tidak boleh begitu! Dia
harus mempertanggungjawabkan mulut tercelanya. Berjingkat-jingkat, kudekati
bagian samping gubuk kecilnya. Jendelanya tersingkap sedikit. Seorang perempuan
dengan jarik dan kaus lusuh tengah berdua dengan………….….laki-laki? Lastri
benar-benar keterlaluan! Selain mencoreng mukaku, nampaknya dia mau mencoreng
mukanya pula yang berarti semakin mencoreng muka putri kami! Mau apa dia
berduaan dengan lelaki di dalam kamar? Kalau dia butuh lelaki, nikah saja!
Jangan dengan cara begini! Kuangkat
golok. Aku memutar, mencari jalan dari belakang rumah. Pintu belakang tidak
dikunci.
Aku
menyergap masuk kamar. Ketika pintu kudobrak, terdengar teriakan perempuan yang
terkejut. Tanpa memandang siapa yang ada di dalam dan tanpa menunggu, langsung
kuayunkan golok. Kalap, hingga pandanganku kabur. Aku tak tahu apa yang telah
dihantam golokku. Semua kutebas, kupotong, kuhancurkan. Kamar itu segera porak
poranda. Terdengar suara mengaduh dan menangis. Aku tak mempedulikannya.
Biarlah Lastri mati bersama lelaki yang ia bawa ke kamar. Biar! Supaya putri
kami hidup tenang tanpa aib yang dibuat ibunya!
Sebuah
tangan lemah mencengkeram kakiku. Kuhentikan golok. Aku tak kenal lelaki itu,
lelaki yang berusaha mencegah perbuatanku menjadi lebih brutal. Tapi aku kenal
perempuan yang telah mati lemas kehabisan darah di dekatnya. Perempuan yang
salah satu tangannya terpotong itu ternyata bukan Lastri. Itu anak perempuanku.