http://www.shutterstock.com/pic-98019845/ |
"Kamu maunya apa? Begini salah, begitu salah. Jangan
ngambek terus dong!" keluh Flo. "Masak kamu ga ngerti juga dari tadi
aku mau apa?" tanyaku sewot. Flo bersidekap, "Memangnya apa? Mana aku
tahu apa maumu kalau kamu saja ga mau bilang! Memangnya aku peramal bisa tahu
apa mau kamu sekarang atau nanti? Kamu kok kayak anak kecil!" Kini aku
yang bersidekap dengan mata melotot, "Siapa yang anak keciiil???"
Mungkin pemandangan yang kalian lihat, ya, pertengkaranku dengan Flo, sangat
tidak enak ditonton. Baik aku maupun Flo sama-sama keras kepala. Kami saling
meninggikan volume dan seakan tertarik berlomba mengeluarkan bola mata. Kepala
kami tengah sama-sama panas. Ini bermula dari hal yang sangat sepele. Saking
sepelenya, sampai aku malu jika kalian tahu.
Flo sedang demam. Sejak dua hari yang lalu ibunya terus
menelpon, minta aku turut menjaga Flo. Sayangnya, Floku yang manis tengah
merampungkan tugas akhirnya semester ini. Meski kami berkuliah di universitas,
jurusan, bahkan kelas yang sama, tentu bukan hal mudah bagiku mengikuti
langkah-langkah lincah Flo. Selain menjadi ketua dalam tugas kelompok besar
akhir semester, Flo juga menangani beberapa hal lain. Seperti BEM, organisasi
pecinta lingkungan, dan mengajar anak jalanan di rumah singgah yang ia kelola
bersama teman-teman. Sebelum mengenalku pun Flo sudah cukup sibuk. Bersamaku,
dia justru semakin sibuk. Padahal bukan aku yang mendorongnya menjadi terlampau
aktif. Ibunya sering menegur Flo dan repotnya teguran itu dititipkan padaku.
"Kamu sakit, malah rapat sampai jam 1 malam, jarang
makan. Tugas kamu banyak, bukan cuma organisasi atau seminar atau apalah
kegiatan luar kampusmu. Kasihan sama diri kamu sendiri! Ibu kamu telpon aku
sudah lima kali hari ini, Flo! Bayangkan, gara-gara kamu demam aku harus
mendengar lengkingan ibumu di telpon hingga lima kali!" Kebetulan ibu Flo
adalah perempuan yang tak kalah enerjiknya dengan Flo. Ia punya ciri khas suara
yang melengking apalagi bila menghadapi kepanikan. Aku terpaksa bercerita
secara jujur bagaimana kegiatan Flo setiap hari. Ia tidak bosan menelponku
karena ia tahu Flo tidak mau menceritakan semua itu padanya. "Apa? Rapat
sampai jam 1 malam? Kalian kan mau UAS? Danuuuu tolong bantuin ibu jaga
Floo!" Kadang aku berpikir, kubuang saja ponselku.
"Ya sudah, kamu ga usah angkat telpon ibu. Kamu kan
tahu dari dulu ibu memang begitu! Mau kamu harapkan seperti apapun juga ibuku
tetap tidak berubah. Kalau ibu berubah, itu bukan ibuku."
"Kok jadi bahas ibu
kamu? Jangan mengalihkan pembicaraan! Kita bicara tentang kesehatan kamu,
kesibukan kamu. Apa kamu ga kangen sama aku? Aku tebak, kamu pasti lupa kapan
terakhir ngobrol denganku di telpon."
"Tiap hari juga ketemu
kan? Sekelas lagi. Kenapa harus telpon-telponan? Kamu yang cowok tapi kamu yang
manja."
"Lalu, yang boleh manja
cuma kamu? Tapi kenapa kamu ga manja sama aku?"
"Kamu ini aneh ya?
Biasanya kalau orang pacaran terus ceweknya terlalu manja, cowoknya protes
karena merepotkan. Kamu malah minta aku manja. Kamu ga ada kerjaan lain?"
"Memang ga ada! Kamu
yang sibuk, kamu yang jungkir balik ngerjain ini itu. Bukan aku. Kerjaku di
kost nungguin kamu. Sms ga ada, telpon ga ada. Ketemu di kelas, yang dibahas
tugas. Gunaku apa buat kamu?"
"Jadi pacar aku
lah!"
"Manja dong sama aku.
Manja! Aku pengen jadi hero buat kamu!"
Flo tertawa sangat keras. Ia tertawa sampai air matanya
keluar. Ia tertawa begitu puas tanpa mengindahkan tatapan bingungku. Sungguh
egois, tertawa pun ia tidak mengajakku. Setelah mengeluarkan uneg-uneg, aku
menghela nafas dan duduk menunggunya menyelesaikan tawanya. Flo menepuk-nepuk
punggungku sambil mengusap matanya yang basah. "Kamu lucu, Danu sayang.
Kamu lucu! Bisa-bisanya kamu mau jadi superhero. Terus, mana jubahmu? Biar bisa
bawa aku terbang!" Flo mengikik lagi. Aku nyengir. Dalam hati aku merutuk,
malu aku padamu Flo! Teganya bikin aku terlalu jujur begini.
"Kenapa mau jadi heroku?"
"Karena aku pacar
kamu."
"Jadi hero itu kayak
apa?"
"Ya nolong kamu. Selalu
ada saat kamu butuh, jadi orang yang kamu cari waktu kamu jatuh."
"Stop! Kalau aku jatuh,
aku bisa bangun sendiri kok. Aku bukan bocah."
"Aku mau rawat kamu
kalau kamu sakit. Tapi kamu malah melenggang sendiri, merawat diri sendiri,
bangun sendiri, mandiri. Aku suka kamu mandiri. Tapi aku juga mau bisa
kelihatan keren di mata kamu, jadi orang yang bisa kamu andalkan selalu.
Makanya, manja sedikit dong."
Flo merajuk. Ia bersandar di pundakku. "Begini kan,
Danu sayang?" Aku mengangguk mantap.
*Cerpen ini muncul setelah seorang teman bercerita ia merindukan pacarnya menajdi manja. Dia bilang, dia senang merawat pacarnya ketika sakit karena ia merasa pacarnya membutuhkannya.