shutterstock.com |
Lenggang
Rumah lelaki berpeci dan
perempuan bersarung itu lenggang. Debu terkumpul di sudut-sudut ruang. Tiga
hari ditinggal pergi. Orang-orang sibuk mengurus ini itu demi pernikahan si
bungsu. Lelaki berpeci dan perempuan bersarung harus menginap sejenak di hotel.
“Bu, acara akad nikah dan
resepsinya di hotel saja. Biar bisa menampung lebih banyak tamu. Kalau di rumah
sempit. Lagi pula keluarga Ranti sudah memesan tempat.”
Calon besan mereka, orang
terpandang. Dan anak gadisnya, Ranti, akan bersanding dengan Rio. Lelaki
berpeci kurang suka. “Dia perokok. Bapak saja berhenti merokok, bagaimana
mungkin perempuan itu tak segan merokok di depan bapak?” Tapi Rio tak peduli.
“Dia perempuan modern, bapak jangan heran.” Bapak kalah debat.
Resepsi
Keluarga besan mengundang
banyak orang. Benar-benar kenduri yang “wah”. Begitu terpesona keluarga lelaki
berpeci dan perempuan bersarung. Seumur hidup kehidupan sederhana mereka belum
pernah menapakkan kaki di tempat sebagus ini. Mata mereka berkeliaran menatap
lalu lalang orang menikmati penganan.
Keluarga mereka nampak
paling sederhana, berkebaya dan bersarung serta berkemeja dan berpeci.
“Udaranya dingin ya,” bisik saudari perempuan bersarung. “Makanannya
aneh-aneh,” bisik saudara lelaki berpeci. Namun Rio gagah di pelaminan,
mengumbar senyum sembari menggenggam tangan mempelai wanita. Berdiri angkuh ia
dengan gaun putihnya, wajah cantiknya seperti malas kehabisan waktu menyalami
orang-orang. “Hah, kapan selesai?” gumamnya.
Lenggang
Lelaki berpeci dan
perempuan bersarung balik ke rumah. Tak ada keriuhan yang sama seperti dulu.
Jika waktunya shalat, mereka menggelar sajadah–berjamaah, lalu memanjatkan doa.
Kini hanya berdua. Sepi. Sanak saudara dan kerabat telah pulang ke kampung.
Meja makan senyap. Hilang
sudah bunyi-bunyi sendok piring beradu. Cuma empat pasang tangan yang menyuap
lauk ikan asin, nasi dan sambal terasi. Mengunyah perlahan selagi gigi masih
mampu. Lampu tergantung rendah lima watt itu terlihat mau padam. Mungkin bohlam
harus diganti.
Tiga kamar kosong. Sekedar
kamar utama yang berisi sepasang suami istri yang renta. Putra-putri mereka
mengepak sayap keluar, pergi meninggalkan bilik-bilik dalam sarang, mengarungi
dunia bersama pasangan. Membentuk keluarga baru, membentuk sarang-sarang lebih
baru lebih nyaman lebih tentram.
Setiap hari jadi beda
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Teringat anak. Ada sedikit hampa, menganga,
berlubang bagai kasa nyamuk yang digigiti tikus. Angin keluar masuk kasa itu.
Ada kekosongan yang
singgah dan tak hilang-hilang.
Lelaki bersarung sibuk
menekuri koran. Sesekali ekor matanya menatap jalan. Kapan salah satu sayap
putra-putrinya terlihat di ujung jalan.
***
Cerpen ini pernah diposting di K. Sudah
unpublished dan dipindah ke blog ini.