Cermin Masa Lalu


Miskin! Penyakitan! Menjijikkan!
Aku hanya bersidekap dan melihat-lihat. Wajah-wajah menyedihkan dan kelaparan di depanku tidak mampu melembutkan hatiku untuk sedikit berbelas kasihan. Jelas bukan salahku mereka jatuh sengsara. Salah mereka sendiri. Lihat saja, seorang tukang sapu dengan gaji tidak seberapa malah punya anak lima. Uang darimana ia beri makan kelima anaknya?
Mataku tertumbuk pada seorang anak yang terdiam di sudut. Dari jarak dua meter aku bisa mencium bau busuk dari telinganya yang meneteskan cairan. Aku hampir memuntahkan sarapanku yang sudah merangkak naik ke tenggorokan. Tentu ini bukan hal yang pantas dilakukan. Namun perutku benar-benar mual.

“Bukan tempat yang biasa kau datangi, bukan?” Chris tertawa. Bisa kulihat ekspresi menghina dari sudut matanya. “Berhenti berdiam diri, kau bukan ke sini untuk menonton penderitaan orang lain. Aku memintamu membantu.” Chris mengangsurkan sebuah celemek padaku. Tanpa berkomentar, aku menggunakannya. Kulakukan seperti yang Chris lakukan. Membagikan makan siang, menghibur orang-orang, dan menyapa setiap yang baru datang dengan senyuman.
Aku masih menahan diri untuk tidak muntah atau lari.
Udara di sini pengap. Bukan cuma karena tempatnya sempit dan betapa banyaknya jumlah manusia yang Chris coba tampung. Rumah singgah untuk tuna wisma, lansia, dan anak jalanan  ini tak punya pendingin ruangan yang bisa membantuku bernafas lega. Masalahnya, selain bau keringat, bau penderitaan juga tak kalah menyengat.
“Ini sisi lain kehidupan yang harus kau lihat, Belle. Tidak semua orang punya kesempatan merasakan hidup seperti kehidupanmu yang sempurna itu. Menurutku, sebaiknya, jika lain kali kau mau ikut denganku, pakailah baju yang sederhana. Bajumu terlalu mencolok. Kau seperti akan pergi ke pesta.”
“Memang mau ke pesta! Kukira kau akan mengajakku ke klab atau tempat-tempat nongkrong keren yang bisa kau datangi dengan teman-temanmu.”
“Tapi hidupku tidak 100% kugunakan untuk bersenang-senang. Kau juga, kan? Kadang aku harus membantu orang lain yang membutuhkanku. Makanya aku mendirikan rumah singgah ini.”
“Oh, sejak kapan hatimu semulia ini? Aku tidak pernah tahu kau suka melakukan pekerjaan sosial. Aku terbiasa menemukanmu pulang mabuk-mabukkan sepanjang malam.”
“Itu aku yang dulu. Sekarang aku berubah. Aku ingin membaktikan diriku untuk orang banyak. Dan aku ingin menularimu virus kebaikan ini.”
“Harusnya aku memberimu mimbar .”
“Kau tidak suka di sini, Belle? Maksudku, kau orang-orang sepertimu suka beramal. Kalian menyisihkan sebagian pendapatan untuk membantu orang. Bukankah kau juga anggota sebuah yayasan?”
“Tapi aku tidak pernah turun ke lapangan. Aku hanya memberi uang atau cek.”
“Jadi, bukankah ini pengalaman pertama yang menarik?”
Chris, kau harus belajar, bagaimana caraku menyesuaikan diri di tempat ini sementara aku memakai gaun seharga ribuan dolar? Apa yang menarik selain menjaga gaunku tidak kuberi muntahanku sendiri?
Chris menyuruhku menyapa anak-anak. Mata mereka memicing penasaran. Sebagian terlihat tidak tahan untuk tidak memelototi gaunku. Sebagian lagi terlihat takut dan ragu mendekat. Sementara Chris melambai, tersenyum menguatkanku sembari membagi-bagikan paket berisi biskuit dan susu di sudut lain ruangan.
Kapan rombongan-orang-butuh-makanan itu berhenti datang melalui pintu?
“Aku tidak pernah melihatmu di antara Chris dan teman-temannya. Kau orang baru ya?” seorang anak menunjukku. Aku bisa melihat rambut dan tangannya yang kotor. Di tahun 2012 ini masih ada orang yang tak kenal kata mandi.
“Ya, begitulah. Aku orang baru. Kau sendiri? Sering kemari?”
“Ya! Chris dan teman-temannya sangat baik! Mereka memasak makanan untuk kami dan membacakan kami dongeng.”
“Ya! Dongeng! Kau bisa membacakan kami dongeng seperti Chris?” seorang anak lain menimpali.
“Sebaiknya aku memanggil Chris.” Aku bangkit dan mencari Chris. Ia mengangkat alis setelah kukatakan aku minta ia mendongeng.
“Kenapa tidak kau saja?”
“Aku tidak suka mendongeng.”
“Jadi apa yang kau suka?”
“Jangan membahas aku. Urus dulu anak-anak itu.”
“Kami kekurangan relawan, Belle. Bantulah kami.”
“Mereka butuh bantuan lalu kalian membantunya. Sekarang kalian yang butuh? Ah merepotkan sekali.”
Chris menggeleng-gelengkan kepala. Seakan aku bisa mendengar dalam hatinya ia berkata ya-ampun-Belle. Chris tidak tahu betapa bencinya aku pada rumah singgah macam ini. Betapa semua detail yang kusimpan dalam otakku meneriakkan alarm traumatis dalam otakku. Aku masih ingat, dulu aku seperti anak di sudut ruangan yang meneteskan cairan dari telinganya. Aku dengan tatapan mohon belas kasihan dan perut kelaparan. Aku yang terus mengucapkan terima kasih atas setiap uluran tangan yang diberikan. Aku yang dulu miskin dan butuh bantuan. Ya, aku dulu seperti mereka. Dan berada di sini bagai melihat cermin masa kecilku.



Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama