Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan | Sepuluh | Sebelas | Dua belas | Tiga belas |
shutterstock.com |
Kinansih menatap lawan bicaranya sembari mengangkat dagu.
Sudut bibir kanannya naik. Dalam hatinya menggembung rasa jijik. Seluruh masa
depannya berada dalam genggaman perempuan laknat itu. Perempuan yang tidak ada
seujung kuku dibandingkan dirinya. Perempuan yang tidak jelas asal usulnya.
Perempuan macam apa
yang lebih kamu pilih dibanding aku, mas?!
Mata Kinansih berkilat saat melihat cincin di jari manis
perempuan itu. Rasa jijik sekaligus meremehkan bertahta berkali-kali lipat
dalam dadanya. Hanya perempuan rendahan yang mengambil suami orang. Hanya perempuan
yang tak punya harga diri yang bercita-cita menelusupi pernikahan orang sebagai
duri. Apa dia kehabisan laki-laki? Mau disimpan di mana mukanya? Menadahkan
tangan minta uang belanja dari pria yang bukan kepala keluarganya bagai lintah
menyesap darah. Tentu, orang tidak mau dihisap darahnya oleh lintah. Orang akan
membuangnya. Begitu pula perempuan ini. Harus dibuang. Dihancurkan. Dilenyapkan.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk bagai badai tak
usai-usai dalam kepala Kinansih. Ia menahan diri untuk tidak ikut merendahkan
dirinya pada perempuan itu. Ia tidak akan meminta atau memohon agar suaminya
kembali. Lebih berat baginya untuk mengasihani hati yang tersakiti. Kinansih tak
mau bertahun-tahun ke depan hidupnya dipenuhi rasa benci dan dengki. Namun Kinansih
khawatir rasa lelahnya menahan emosi mengalahkannya. Ia takut bisa melakukan
apa saja pada perempuan itu. Wajah yang memang tak lebih rupawan, sikap yang
tak lebih beradab, dan otak yang tak lebih berisi dibandingkan dia akan lebih
rusak lagi bila mendapat luka lain. Torehan pisau, mungkin. Atau siraman air
keras.
“Kami akan menggelar resepsi bulan depan. Aku sudah
bicara pada Mas Nanda. Dia akan sangat senang kalau kau datang. Kami tidak
ingin memutus tali silaturahmi.”
Kinansih tidak percaya pada apa yang didengarnya. Ia mengangguk
kaku. Perempuan itu lalu pamit, meninggalkan gelap pada hari-hari Kinansih.
Menyisakan pahit pada perjuangan Kinansih yang berusaha mempertahankan
bahteranya hingga seusia Ratih. Selama itu pula Mas Nanda dan perempuan sumber
penderitaannya bermain mata. Menikam Kinansih dengan cara yang tak dapat
dilupakannya.
Mata perempuan itu kini berwujud mata lelaki yang berada
di depannya.
***
“Al, lo tuh kenapa sih? Dari tadi nangis melulu. Ngomong dong.
Ngapain coba lo nongol di kostan gue tapi kerjaan cuma diem kayak patung
pancoran? Mainstream banget sih lo, pasti galau deh. Gara-gara cowok mana sih
Al...”
“Coba lo jadi gue, Din, lo ga bakal ngomong gitu.”
“Yaelah Al, lo kira yang pernah patah hati lo doang? Hampir
seluruh dunia juga pernah kali ngerasain patah hati. Let it go, girl. Cowok itu ada banyak, belom punah. Ngapain lo
pertahanin orang yang bikin makan ati. Cuma cowok ga bener yang bikin lo
nangis-nangis kayak gini. Masak Alya yang biasanya ceria dan selalu keliatan
bahagia jadi anak alay yang bisanya nangis di pojokan? Sayang-sayang masa muda
lo!”
Alya gemas mendengar kata-kata Dina. Tapi ini pertaruhan
cintanya. Mana bisa ia temukan lagi yang seperti Rio−atau yang dipanggil ibunya
Dio? Hidup cuma sekali, apa ia harus merelakan sang belahan hati? Baru kali ini
ia merasakan cinta yang sedalam ini. Atau itu karena ia memang tak pernah
merasakan jatuh hati sebelumnya.
“Kalo dia lebih milih orang lain dibanding gue sementara
gue maunya sama dia, gimana, Din?”
“Gini aja deh. Kalo lo sukanya sama si A tapi yang ngotot
mau pacaran sama lo malah si B, mau? Cinta kan ga bisa dipaksa. Cinta itu
datang sendiri. Apa gunanya lo ngejar cinta yang jelas-jelas yang membuka
hatinya buat lo? Cinta itu harusnya bikin lo bahagia, bukan mempertahankan
sesuatu yang lo ga tau ujungnya di mana.”
Ya, di mana ujungnya? Jika Rio-atau Dio−tidak memilihnya,
maka sanggupkah ia memanggil lelaki itu papa? Bila lelaki itu jadi miliknya,
apa ibunya akan punya menantu yang seusia? Alya merasa kepalanya akan meledak
saat itu juga ketika ponselnya berdering dengan nada berbeda. Instrumen musik
yang disukai neneknya. Ah ya, neneknya yang menelpon.
“Sayang, Alya, ini nenek. Kamu ke mana, sayang? Kamu ada
masalah sama mama? Kamu marah sama mama? Mama kamu panik cari-cari kamu. Pulang,
sayang.”
“Nek, aku mau ke rumah nenek. Aku mau cerita.”
“Sini sayang. Nenek tunggu.”
Alya bangkit dengan senyum mengembang. Kalau ia tidak
bisa menemukan pemecahan masalahnya, maka ia perlu neneknya. Biar neneknya yang
memilihkan antara ia dan mamanya yang boleh bersanding dengan Rio. Karena toh
mama akan menikah atas restu nenek. Itupun kalau mama bisa menikah lagi.
Aku penasaran ih....
BalasHapussilakan diikuti kisahnya hehehe
Hapuskeren sob
BalasHapusagen tiket pesawat
Kinansih ibunya Dio kan ya..?
BalasHapusIbu ratih namanya Malinda...
sedih juga ya,
BalasHapuslia : ada misspersepsi hehe
BalasHapusterima kasih semua sudah mampir :)