Kalau tidak menahan diri sekuat hati, mungkin Ratih sudah
membiarkan tubuhnya menari. Ia bisa merasakan hati kecilnya berdendang dengan
riang. Ia bisa merasakan betapa kakinya melangkah dengan sangat ringan.
Alya merasakan hal yang sama dengan cara yang berbeda. Langkahnya
ringan seperti hampir hilang kesadaran. Tubuhnya menari dalam irama patah hati.
Ia berdendang, menyanyikan tembang kesedihan.
Hari ini, mendadak Ratih tahu apa itu bahagia. Ketika tangan
Dio berada di pinggulnya. Lima belas tahun yang ia beri pada diri sendiri
sebagai jeda ternyata tak cukup memakan api dalam tubuhnya. Semangat membakar
kepalanya. Apa yang ia rasakan sekarang seluruhnya rasa senang. Senang. Senang.
Ia tak henti mengukir tawa di bibir. Matanya pun tak dapat lepas memandang sang
pangeran. Meski ia tahu usianya bukan lagi masa remaja mabuk cinta.
Kedua tangan Alya lemas di sisi badan. Tangannya terasa
dingin, begitu pula salah satu sudut dalam dadanya. Kedua tangannya lemas tak
berdaya, seakan seluruh asa lepas dari sana. Jari jemarinya gemetar merasakan
kekosongan harapan. Ia tidak cukup kuat menggenggamnya erat-erat. Ia tak cukup
mampu merengkuh dan menjaga kecintaannya dengan kokoh. Namun ia tahu ia tak
dapat menandingi masa lalu dan yang datang dalam hidup seseorang lebih dulu.
“Ma?”
“Alya?”
“Kamu panggil dia apa? Mama? Tih, Alya ini....”
Sekarang Dio tahu mengapa mata Alya begitu
memenjarakannya perhatiannya.
Press party itu mendadak terasa hening. Seakan semua
orang mendadak hilang.
***
Selanjutnya
diserahkan pada Miss Rochma. Deadline seminggu sejak tulisan ini diposting.