Lima Hal yang Bikin Gatel dalam Pilpres 2014

Gue jadi gatel nih mau curhat soal pilpres. Kenapa? Karena ini pertama kalinya gue akan menggunakan hak pilih, itu juga kalo kedudukan gue sebagai swing voter akhirnya goyah di detik terakhir. Lagian pilpres kali ini gegap gempita banget, masing-masing kelompok fanatik capres-cawapres begitu heboh terutama di social media. Gue bukan pengamat politik, gue ga menulis analisis politik, dan gue ga begitu yakin cukup kredibel kalo ditanya politik. Meskipun entah kenapa ada orang yang cukup kurang kerjaan sampe rajin nanyain preferensi politik gue. Gue bahas ala pandangan mahasiswa Komunikasi aja ya sekaligus sebagai masyarakat awam. Tenang, ini buat lucu-lucuan dan semoga seimbang.


1.     CITRA

Salah satu hal yang ga bisa lepas dari manusia adalah citra. Ga mungkin manusia ga punya citra. Kenapa? Karena sesuai dengan arti dari citra itu sendiri yaitu gambaran. Penilaian. Ga mungkin kan orang ga punya gambaran atau penilaian tentang kita secara individu? Yang perlu kita permasalahkan sebetulnya bukan citranya tapi citra itu asli atau buatan. Citra beneran atau bikinan. Punya citra bukan sebuah dosa besar. Ada yang punya citra tegas, ada yang punya citra merakyat. Ada yang punya citra alim, ada yang punya citra bejat.

Dari mana munculnya citra? Dari kebiasaan maupun pembawaan kita sehari-hari. Bisa juga dari cara kita menampilkan diri, sesuatu yang kita atur sedemikian rupa sehingga orang luar melihat itulah citra kita. Bisa aja lu selalu terlihat tersenyum dan dianggap punya citra murah senyum. Padahal lu senyum karena grogi. Apa itu salah? Enggak lah.

Jadi mau pilih presiden yang citranya kayak gimana? Terserah.

2.     LEADERSHIP VS MANAGER

Fans salah satu capres bilang negara kita harus punya presiden yang bisa memimpin bukan berjiwa manajer (kira-kira gitu deh). Kemampuan memimpin jelas penting. Masalahnya, orang jadi manajer juga karena punya jiwa leadership, betul ga sih? Ini mengusik gue setelah nonton Mata Najwa ketika seorang bersorban putih nyebut kata “leadership” dan “manager”. Mungkin harusnya dia membandingkan antara “vice president” dengan “manager”. Lagian orang mungkin ga jadi manajer kalo dia ga mampu memimpin kelompok/unit kerja di bawahnya.

Terus nih ya, dalam dunia kerja itu kan ada dua jenis kompetensi yang kudu terus diasah yaitu kompetensi spesialis dan kompetensi manajerial. Tarohlah, si capres itu punya kompetensi di bidang hukum. Dia tetep harus punya kompetensi di bidang manajerial, men. Kan dia termasuk pucuk pimpinan di struktur organisasi pemerintahan negara kita. Di bawah doi ada menteri. Lah kalo ga bisa mengurus, mengelola, mengendalikan, mengatur, dan memangku yang ada di bawahnya (dengan kata lain me-manage) mana dia sanggup menjadi presiden yang baik. Menurut pemahaman gue secara sederhana, seorang manajer punya kemampuan leadership. Leadership itu bisa mananger, general manager, ampe vice president. Suami juga punya jiwa leadership dalam keluarganya. Seorang ketua kelas juga punya jiwa leadership di depan teman-temannya. Ngerti ga kenapa pilpres ini lucu?

3.     INI GOLONGAN ORANG BAIK

Percaya deh, tiap fans para capres bakal merasa orang di belakang capres cawapres yang didukungnya orang baik. Kalo ga baik, ga bakal ngefans dong ah? Coba gue tanya ada ga yang blak-blakan bilang gue-pendukung-orang-ga-baik? Ya kagak lah. Lagian capres juga manusia biasa. Ga ada manusia yang 100% baik. Ntar sekali dia bikin kesalahan, kalian bully habis-habisan. Mending jangan menabikan capres cawapres favorit kalian. Rajin-rajin otokritik napa. Biar jadi bahan pembelajaran.

4.     MEDIA GA NETRAL

Yang netral cuma Enno. Oke, itu band Netral. Jadi gini, kalo menurut Arif Zulkifli dari Tempo, netral itu problematik. Independen sama netral itu beda lho kawan-kawan. Nih gue contohin soal netral. Misal ada seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Kalo media itu netral, harusnya memandang bahwa perbuatan mencuri itu salah. Ga pandang bulu. Media boleh dong ga netral dengan alasaan kemanusiaan misal si nenek terpaksa mencuri karena kelaparan, ga punya keluarga, dan ga ada yang mengasihani dia.

Coba kita pake azas netral tadi dalam pilpres. Misal capres a disebut memiliki kegagalan dalam karirnya. Kalo media mau netral supaya pemberitaan imbang, capres b juga harus disebut dong kegagalannya. Masalahnya, ga mungkin dong kedua capres ini punya kegagalan di bidang yang sama atau dalam jumlah yang sama. Terus, apa mau capres b disama-samain dengan capres a supaya media tetap disebut netral? Ga lah.

Mau bahas lagi capres a kok diagungin banget sama media sono dan capres b diagungin banget sama media sini? Ga usah. Kedua capres kita sama-sama didukung raja media. Harry Tanoe dengan MNC Group dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group. Setau gue grup medianya Dahlan Iskan itu anaknya ampe 180 biji. Jadi kalo lu ga suka pemberitaan Prabowo di Metro TV atau pemberitaan Jokowi di TV One, ganti channel ke tv yang mendukung capres pilihan lu. Gampang kan?

5.     KORBAN BLACK CAMPAIGN

Kedua capres sama-sama dapet black campaign kok. Menurut gue, kita-kita ini juga punya andil betapa black campaign begitu tersebar luas. Kok bisa? Karena masyarakat kita yang gampang menelan sebuah isu. Makanya deh yang memproduksi black campaign makin hepi  terus makin banyak melempar isu. Kok bisa-bisanya kita percaya sesuatu yang belum jelas faktanya. Nanti kalo kalian ketipu beneran, ternyata isu yang disebarluaskan itu bohong, nyesel lho. Ternyata kalian salah pilih presiden karena makan isu. Ga sedih?

Apalagi kalo yang makan isu ini mahasiswa atau dosen. Sakit hatinya gue berlipat ganda. Coba tolong, udah belajar tinggi-tinggi tapi gampang kemakan isu. Bukankah mahasiswa bikin tugas akhir atau skripsi aja datanya harus valid? Kok denger isu soal capres yang ga jelas langsung yakin itu benar? Jadi mahasiswa itu sendiri belum bisa membedakan dong mana yang valid dan ga valid? Cedih deh. Percuma lulus sidang juga.


Nah cukup segini dulu curhatan gue. Selamat menikmati!
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama