Gue jadi gatel nih mau curhat soal
pilpres. Kenapa? Karena ini pertama kalinya gue akan menggunakan hak pilih, itu
juga kalo kedudukan gue sebagai swing voter
akhirnya goyah di detik terakhir. Lagian pilpres kali ini gegap gempita banget,
masing-masing kelompok fanatik capres-cawapres begitu heboh terutama di social
media. Gue bukan pengamat politik, gue ga menulis analisis politik, dan gue ga
begitu yakin cukup kredibel kalo ditanya politik. Meskipun entah kenapa ada
orang yang cukup kurang kerjaan sampe rajin nanyain preferensi politik gue. Gue
bahas ala pandangan mahasiswa Komunikasi aja ya sekaligus sebagai masyarakat
awam. Tenang, ini buat lucu-lucuan dan semoga seimbang.
1.
CITRA
Salah satu hal yang ga bisa
lepas dari manusia adalah citra. Ga mungkin manusia ga punya citra. Kenapa? Karena
sesuai dengan arti dari citra itu sendiri yaitu gambaran. Penilaian. Ga mungkin
kan orang ga punya gambaran atau penilaian tentang kita secara individu? Yang perlu
kita permasalahkan sebetulnya bukan citranya tapi citra itu asli atau buatan. Citra
beneran atau bikinan. Punya citra bukan sebuah dosa besar. Ada yang punya citra
tegas, ada yang punya citra merakyat. Ada yang punya citra alim, ada yang punya
citra bejat.
Dari mana munculnya citra? Dari
kebiasaan maupun pembawaan kita sehari-hari. Bisa juga dari cara kita
menampilkan diri, sesuatu yang kita atur sedemikian rupa sehingga orang luar
melihat itulah citra kita. Bisa aja lu selalu terlihat tersenyum dan dianggap
punya citra murah senyum. Padahal lu senyum karena grogi. Apa itu salah? Enggak
lah.
Jadi mau pilih presiden yang
citranya kayak gimana? Terserah.
2.
LEADERSHIP VS MANAGER
Fans salah satu capres
bilang negara kita harus punya presiden yang bisa memimpin bukan berjiwa
manajer (kira-kira gitu deh). Kemampuan memimpin jelas penting. Masalahnya,
orang jadi manajer juga karena punya jiwa leadership, betul ga sih? Ini mengusik
gue setelah nonton Mata Najwa ketika seorang bersorban putih nyebut kata “leadership”
dan “manager”. Mungkin harusnya dia membandingkan antara “vice president”
dengan “manager”. Lagian orang mungkin ga jadi manajer kalo dia ga mampu
memimpin kelompok/unit kerja di bawahnya.
Terus nih ya, dalam dunia
kerja itu kan ada dua jenis kompetensi yang kudu terus diasah yaitu kompetensi
spesialis dan kompetensi manajerial. Tarohlah, si capres itu punya kompetensi
di bidang hukum. Dia tetep harus punya kompetensi di bidang manajerial, men. Kan
dia termasuk pucuk pimpinan di struktur organisasi pemerintahan negara kita. Di
bawah doi ada menteri. Lah kalo ga bisa mengurus, mengelola, mengendalikan,
mengatur, dan memangku yang ada di bawahnya (dengan kata lain me-manage) mana
dia sanggup menjadi presiden yang baik. Menurut pemahaman gue secara sederhana,
seorang manajer punya kemampuan leadership. Leadership itu bisa mananger,
general manager, ampe vice president. Suami juga punya jiwa leadership dalam
keluarganya. Seorang ketua kelas juga punya jiwa leadership di depan
teman-temannya. Ngerti ga kenapa pilpres ini lucu?
3.
INI GOLONGAN ORANG BAIK
Percaya deh, tiap fans para
capres bakal merasa orang di belakang capres cawapres yang didukungnya orang
baik. Kalo ga baik, ga bakal ngefans dong ah? Coba gue tanya ada ga yang
blak-blakan bilang gue-pendukung-orang-ga-baik? Ya kagak lah. Lagian capres
juga manusia biasa. Ga ada manusia yang 100% baik. Ntar sekali dia bikin
kesalahan, kalian bully habis-habisan. Mending jangan menabikan capres cawapres
favorit kalian. Rajin-rajin otokritik napa. Biar jadi bahan pembelajaran.
4.
MEDIA GA NETRAL
Yang netral cuma Enno. Oke,
itu band Netral. Jadi gini, kalo menurut Arif Zulkifli dari Tempo, netral itu
problematik. Independen sama netral itu beda lho kawan-kawan. Nih gue contohin
soal netral. Misal ada seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Kalo media
itu netral, harusnya memandang bahwa perbuatan mencuri itu salah. Ga pandang
bulu. Media boleh dong ga netral dengan alasaan kemanusiaan misal si nenek
terpaksa mencuri karena kelaparan, ga punya keluarga, dan ga ada yang
mengasihani dia.
Coba kita pake azas netral
tadi dalam pilpres. Misal capres a disebut memiliki kegagalan dalam karirnya. Kalo
media mau netral supaya pemberitaan imbang, capres b juga harus disebut dong
kegagalannya. Masalahnya, ga mungkin dong kedua capres ini punya kegagalan di
bidang yang sama atau dalam jumlah yang sama. Terus, apa mau capres b
disama-samain dengan capres a supaya media tetap disebut netral? Ga lah.
Mau bahas lagi capres a kok
diagungin banget sama media sono dan capres b diagungin banget sama media sini?
Ga usah. Kedua capres kita sama-sama didukung raja media. Harry Tanoe dengan
MNC Group dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group. Setau gue grup medianya
Dahlan Iskan itu anaknya ampe 180 biji. Jadi kalo lu ga suka pemberitaan
Prabowo di Metro TV atau pemberitaan Jokowi di TV One, ganti channel ke tv yang
mendukung capres pilihan lu. Gampang kan?
5.
KORBAN BLACK CAMPAIGN
Kedua capres sama-sama dapet
black campaign kok. Menurut gue, kita-kita ini juga punya andil betapa black
campaign begitu tersebar luas. Kok bisa? Karena masyarakat kita yang gampang
menelan sebuah isu. Makanya deh yang memproduksi black campaign makin hepi terus makin banyak melempar isu. Kok bisa-bisanya
kita percaya sesuatu yang belum jelas faktanya. Nanti kalo kalian ketipu
beneran, ternyata isu yang disebarluaskan itu bohong, nyesel lho. Ternyata kalian
salah pilih presiden karena makan isu. Ga sedih?
Apalagi kalo yang makan isu
ini mahasiswa atau dosen. Sakit hatinya gue berlipat ganda. Coba tolong, udah
belajar tinggi-tinggi tapi gampang kemakan isu. Bukankah mahasiswa bikin tugas
akhir atau skripsi aja datanya harus valid? Kok denger isu soal capres yang ga
jelas langsung yakin itu benar? Jadi mahasiswa itu sendiri belum bisa
membedakan dong mana yang valid dan ga valid? Cedih deh. Percuma lulus sidang
juga.
Nah cukup segini dulu
curhatan gue. Selamat menikmati!