Mbak Dee, Aku Cinta Filosofi Kopi-mu!

            Apa kabar mbak Dee?
            Rasanya senang sekali saya bisa menulis surat untuk Mbak Dee. Saya salah satu pengagum novel Mbak Dee yang berjudul Filosofi kopi. Pertama kali saya berkesempatan membacanya itu setahun yang lalu, waktu saya kelas 3 SMA. Itupun dipinjamkan teman. Saya penasaran karena sering mendengar orang membicarakan novel ini. Apalagi bawa-bawa kopi. Sebagai seorang penyuka kopi--walau pengetahuan saya soal kopi terbatas--saya tertarik dengan sesuatu yang berbau kopi. Sesedap sesapan secangkir kopikah novelnya? Seharum aroma kopikah ketika larut membacanya? Semua pertanyaan ini berkumpul dalam kepala.
          Lalu saya membuka halaman pertama. Saya terjebak dalam kumpulan kata-kata! Saya terpana bagaimana Mbak Dee menulis begitu ringan da menyenangkan. Ya, kadang ketika membaca tulisan sendiri atau orang lain, saya rajin menyematkan predikat tertentu. Ini jenis tulisan yang ditulis mengalir, itu tulisan yang meloncat-loncat. Bagi saya, Mbak Dee menulisnya dengan mulus, mengalir lancar tanpa hambatan!
            Saya takjub. Saya suka puisi Mbak Dee. Tentang mencintai seseorang yang berbeda (ya, saya lupa-lupa ingat). Disebut dalam puisi itu tentang gurun pasir dan salju. Wow! Huruf demi huruf saya cecap dengan nikmat. Ah, inspiratif sekali. Saya suka, betul-betul suka. Apalagi saya tidak jago berpuisi. Kosa kata saya terbatas. Namun, kesederhaan dalam puisi itu justru memabukkan saya. Hingga beberapa hari kemudian setelah saya membaca Filosofi Kopi, saya masih termangu. Teringat betapa indahnya puisi itu. Saya juga membahasnya dengan teman. Teman saya juga suka. Hari itu, saya menjadi penikmat puisi yang sebelumnya tidak suka dan tidak paham puisi.
            Lalu, saya mengikik geli membaca kisah si kecoa yang jatuh cinta pada manusia. Ini salah tulisan yang paling membekas yang pernah saya baca. Keren! Acungan jempol untuk Mbak Dee. Rasanya tergelitik membaca bagaimana keluarga kecoa hidup di dapur manusia, dimusuhi oleh kecintaannya sendiri, sang manusia. Seperti membaca buku harian seekor kecoa. Saya penasaran bagaimana Mbak menciptakan tulisan ini.
            Jika--ini jika lho Mbak--saya punya uang saku yang lebih dan bisa dialokasikan lebih lagi untuk beli novel, saya mauuu sekali koleksi novel-novel Mbak Dee. Waktu Mbak merilis Supernova, saya masih berpredikat seorang pelajar. Uang jajan mana cukup buat beli. Mencari pinjaman ke orang juga susah. Ternyata banyak yang antri buat pinjam Supernova ke guru Sejarah. Alhasil, sampai sekarang saya belum baca Supernova. Itu masih diterbitkan tidak ya? Kata teman yang sudah baca, ada sensasi luar biasa dari novel Supernova. Agak sulit dicerna tapi nyaman ditelan dan berharga. Semakin penasaran saya, Mbak. A-se-li!

Dari : Erlinda Sukmasari Wasito
Untuk : Mizan.com

2 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama