Di Perhentian Tangis


shutterstock.com/pic-97993250/
            "Saya sakit bu! Saya hancur!" suara Bu Nona bergetar hebat. Jarinya menuding dadanya sendiri. Kedua bibir yang diam kaku di sela kata-kata yang meloncat keluar dengan ekspresi ngeri membayang di bola matanya terasa menyakitkan untuk dilihat. "Saya sudah memperjuangkan pernikahan kami, bahkan sampai detik ini. Saya masih berjuang! Sudah dua puluh tahun, bu! Saya pasti gila kalau saya membiarkan semuanya selesai begitu saja. Saya belum mau menyerah! Tapi saya dipaksa menyerah, bu. Saya mau bilang apa? Sisi ranjang di sebelah saya telah kosong, separuh isi lemari di kamar saya juga ikut kosong. Bukan saya yang minta, bu, bukan saya. Saya tidak pernah minta yang seperti ini. Permintaan saya selalu tentang yang baik-baik, hal baik-baik, tentang segalanya agar baik. Kenapa berakhir tidak baik? Di mana letak kesalahpahamannya? Doa saya terbuang, doa saya dijamah kesalahan. Kenyataannya adalah salah!"


            Bu Nona memandang ke bawah, menembus lipatan rok yang ia remas, menembus kedua kakinya yang merapat, menembus tanah, menembus kesadaran. Harga diri yang terinjak oleh pengkhianatan. Rasa tidak berharga. Rada dibuang. Apa salahnya hingga ia harus menerima keterpurukan macam ini? Tidak ada orang yang mau pernikahannya hancur karena diselingkuhi! Sehebat apa perempuan lain itu, sampai-sampai dua puluh tahun terbuang percuma dengan kamar yang kosong melompong dan salah satu dari dua cangkir kopi yang terhidang di teras depan selalu utuh? Salah siapa suaminya pulang larut malam karena sibuk bekerja tapi masih bisa mencuri waktu menemui kekasih gelapnya? Ia sudah mempertaruhkan seluruh kepunyaan dalam dirinya demi dua puluh tahun yang sia-sia?
            Kuliah dan magang dalam waktu lima tahun kandas oleh sebuah ikatan. Kata suaminya dulu, toh profesi sebagai ibu rumah tangga adalah profesi paling mulia. Menjadi seorang ibu sekaligus istri adalah keberuntungan yang sempurna. Banyak orang ingin cepat menikah atau punya anak tapi terhalang. Baik takdirnya, jodohnya, kesempatannya, atau lain-lainnya. Kalau Bu Nona dimudahkan dalam kedua urusan itu, bukankah seharusnya ia bersyukur? Ia percaya pada sang suami. Ia percaya, imamnya tentu berpikir masak-masak dan punya pertimbangan tepat. Rencana sejak kecil menjadi wanita karir tenggelam sudah. Satu terpenting, membina keluarga bahagia, menjadikan nyata petuah-petuah ayah bunda. Seorang istri harus begini, seorang ibu harus begitu. Bu Nona lakoni dengan seksama. Lahirlah tia putranya yang gagah perkasa, buah hati kebanggaannya.
            Sekali lagi, suaminya meminta. Selagi si sulung masih belia, tunda dulu anak berikutnya. Jangan cepat hamil lagi. Jika bosan mengurus anak dan rumah, tidak usah berkumpul dengan teman-teman. Mubazir. Lebih baik meluangkan waktu mempercantik diri. Jadilah Bu Nona di setiap kesempatan mengurus tubuhnya baik-baik. Agar kulitnya tetap mulus dan kenyal. Agar rambut hitam panjangnya tetap halus mengilap. Agar bobot tubuhnya bertahan seperti gadis usia belasan. Jika si sulung kedatangan ibu atau mertuanya, ia lebih leluasa berpikir. Porsi mana yang harus ditambah, berlari atau bersepeda? Mana yang masih kurang, spa atau sauna? Tanpa pikir panjang, kocek disediakan. Semua dilengkapkan, apa butuhnya segera terhidang. Betul-betul suami pengertian yang memahami kebutuhan perempuan.
            Sekali lagi, si tengah lahir. Lupakan bisnis sampingan. Toh suami siap memberikan. Jadilah Bu Nona semakin yakin, suaminya sungguh patut dibanggakan. Ia tak perlu menambah penghasilan, toh dapurnya mengepul tiada habisnya. Ia sering becermin, mematut betapa sempurna hidupnya kini. Suami yang sangat berperasaan dan anak-anak yang mudah dalam pengasuhan. Kedua putranya tumbuh memenangkan hatinya, tak pernah merusak harinya. Tak henti ia menceritakan pada ibu atau mertuanya melalui telpon. Betapa mereka harus sering menengok kedua cucunya yang pesat berkembang.
            Sekali lagi, si bungsu lahir. Suaminya berkata, cukuplah tiga tak perlu bertambah. Biarpun ketiganya jagoan dan kurang lengkap kalau tak ada seorang tuan putri dalam perlindungan mereka. Tidak mengapa, ini sudah menyempurnakan dirinya sebagai seorang perempuan. Bahwa ia mampu melahirkan. Bahwa ia memiliki keturunan, tiga orang gagah pula. Ia patut berbusung dada, beginilah adanya, garis Tuhan sungguh indah rupawan. Orang-orang berdecak kagum dan ikut tersenyum merasakan kebahagiaannya. Ia bisa mereguk aroma manisnya anugerah dan wujudnya ketika berbagi cerita dengan semua. Tiada yang menampik, beruntungnya ia, hebatnya ia. Terbuktu bukan? Senyumnya terkembang.
            Sekali lagi, jangan khawatir bila suamimu terlambat pulang. Bu Nona menganggukkan kepala. Benar kata suaminya. Buat apa mengkhawatirkan yang tak perlu. Suaminya teruji setia. Buktinya, tak pernah ragu memujinya di depan khalayak. Kalau ia istri jempolan. Ia ibu yang mengagumkan. Tak pernah kasar pada anak. Tak pernah menghabiskan gaji suami untuk hal remeh temeh. Suaminya menyebutnya si pahlawan rumah tangga. Meski keluar dari dapur, bukan asap masakan yang tercium dari rambut hitam sekelam malamnya. Tapi bau yang menaklukkan hati suami dan anak-anak karena siap sedia mencintai dan mengasihi selama dua puluh empat jam bila perlu. Siapa yang tak iri? Suami manapun mau istri yang macam begini.
            Ia tidak mau menjadi istri sekaligus ibu yang egois. Baginya, membuang hal-hal yang biasa ia jalani di masa lampau bukanlah sebuah pengorbanan. Tapi kerelaan dan keikhlasan. Toh, sebanding dengan kehidupan yang ia miliki sekarang. Ia punya segala yang dicita-citakan. Meski gelar sarjananya hanya menjadi pajangan di dinding kamar. Meski usia produktifnya surut tanpa pengalaman kerja yang dulu diimpikan. Meski seluruh kebiasaannya berganti menjadi tiga fokus; suaminya, anak-anak, dan kemampuannya sebagai istri sekaligus ibu. Tak pelak, ada saja yang mengecapnya macam-macam. Sejak menikah kamu jadi berubah, Nona. Kamu jarang terlihat di mata kami. Begitu keluh teman-teman lamanya. Namun Bu Nona dengan enteng menjawab, suami dan anak-anakku membutuhkanku.
            Bu Nona tidak lagi menyempatkan diri berkeliling kota dengan buku sketsanya. Bu Nona tidak lagi menyambangi pasar-pasar buku bekas demi memuaskan hasratnya. Sampai Bu Nona tidak lagi melakukan bisnis ini itu atau kursus di sana sini yang dulu ia geluti. Padahal Bu Nona dikenal sebagai si aktif. Si produktif. Si kreatif. Si lincah. Bu Nona menampik anggapan itu. Ia tetaplah ia yang aktif, produkti, dan kreatif. Ia masih sama. Hanya fokusnya yang berbeda. Keaktifan, keproduktifan, kekreatifannya dilakoni di rumah untuk para penghuni rumah. Ini cara mengabdi paling jitu, dibayar dan dimodali oleh ketulusan, gumamnya.
            Maka ketika cerminnya retak, Bu Nona ikut patah dalam kepingan-kepingan kecil. Di rak sepatunya, ia kehilangan sepatu ukuran 42 yang selalu menemani langkah selopnya. Di kamar mandi ia tidak menemukan cukuran atau krim cukur yang noda kalengnya mengotori wastafelnya. Di meja dapur ia kehilangan seseorang yang sering meninggalkan kotak perkakasnya atau membiarkan halaman koran tercecer kemana-mana. Di halaman ia kehilangan siulan seseorang yang menggunting rumput sesempatnya dan lebih sering menggunakan jasa tukang kebun keliling. Apalagi si sulung tengah menyelesaikan studi di luar kota dan memilih kamar kost ukuran 3x4 meter sebagai tujuannya pulang. Si tengah masuk sekolah asrama sehingga ia hanya punya kesempatan menyambangi ibunya setiap empat pekan. Si bungsu punya acaranya sendiri, mulai dari berkemah hingga mengikuti pertandingan ke tempat-tempat yang jauh. Anak-anaknya menuruni gen aktif, produktif, dan kreatif miliknya sehingga larut dalam kesibukan masing-masing. Tinggallah ia, dalam kenonaktifannya.
            Sembari meratap-ratap, berlutut di depan pangkuan ibunya yang menerimanya dengan pelukan selebar dekap gunung seluas samudera penuh sayang. Ia menghampiri dan mohon maaf bila ia bertahun tidak meluangkan waktu untuk keluarga tempat ia berawal. Ia bersimpuh dan semakin mengeraskan tangis ketika dibawa ke makam ayah. Ia terkejut kehilangan tema-temannya. Ia tidak tahu kabar mereka. Ia mendapati buku sketsanya telah robek dan keriting akibat banjir beberapa tahun silam. Ia terhenyak menemukan koleksi buku-buku bekasnya sudah dijual tanpa sepengetahuannya. Ia semakin merasa hilang saat sadar ia tak punya apa-apa. Segenap dirinya menghilang.
            Bu Nona mengelap air mata. Ia akan berjuang dari awal. Masih ada ibu dan ketiga putranya. Biarlah mertuanya tenang di alam sana tanpa perlu ia ziarahi dengan segenggam duka. Janganlah teman-temannya tahu betapa hancur hatinya saat ini dan mengabaikan fakta betapa dulu ia begitu memuja hidupnya. Bu Nona menghentikan tangisnya.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama