“Pengambilan kupon zakat fitrah tidak boleh diwakilkan. Sekali
lagi, kepada bapak dan ibu sekalian, pengambilan kupon zakat fitrah tidak boleh
diwakilkan. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.”
Nyak sudah hampir tidak kuat berdiri waktu perwakilan
panitia pembagian zakat fitrah bicara melalui mikrofon. Kedua kakinya yang
dipenuhi pembuluh darah bertonjolan warna kehijauan sedikit goyah. Tubuh rentanya
gemetar. Ia pun menjauh dari hiruk-pikuk calon penerima zakat fitrah.
Kalau saja bisa diwakilkan, ia bisa meninggalkan
kerumunan dan menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Ia masih harus mencuci
baju-baju pelanggannya. Juga memasak di rumahnya sendiri. Sepuluh buah ketupat
dengan opor ayam, hasil tabungan beberapa bulan. Tentu cucunya akan senang bila
berlauk selain sambal dan ikan asin.
“Nyak, sejak kapan di sini?” tanya Neneng sembari ikut
duduk di samping Nyak.
“Sudah sejam. Padahal aku buru-buru. Kamu kok baru datang?”
“Iya Nyak, aku baru pulang. Biasa, nemenin majikan
belanja. Tapi Nyak, ga di pasar, ga di supermarket, semua tempat penuh. Di mana-mana
macet. Majikan ngomel terus selama di jalan. Untung aku dikasih izin pamitan ke
sini. Nanti sore aku balik lagi ke sana, mau masak buat lebaran.”
Nyak mengusap peluh. Sejam yang terbuang percuma. Para panitia
tidak mau mulai membagikan kupon kecuali ketuanya datang. Tapi orang yang
ditunggu-tunggu itu belum menampakkan batang hidungnya. Sementara kerumunan orang
makin banyak. Matahari makin tinggi. Nyak tetap bertahan. Kalau ia pergi, bisa
hilang kesempatannya sebagai penerima zakat.
“Nyak, azan. Jam dua belas sekarang. Lama sekali nunggu
pak ketua datang,” sungut Neneng.
Nyak menatap para panitia dengan letih. Mereka cuma
mondar-mandir tanpa melakukan apa-apa. Kenapa tidak mereka mulai saja pembagian
kuponnya? Kasihan para calon penerima zakat ini. Demi mendapatkan haknya saja
terasa sulit. Bisa jadi mereka punya banyak urusan, bukan cuma menunggu kupon
dibagikan. Seperti Nyak.
Setengah jam kemudian, salah seorang perwakilan panitia
mengambil mikrofon. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, kami selaku panitia
pembagian zakat fitrah mohon maaf sebesar-besarnya. Karena kami tidak dapat
membagikan kupon hari ini. Bapak ketua panitia yang terhormat berhalangan
hadir. Untuk itu bapak-bapak dan ibu-ibu bisa mendaftarkan namanya dulu dan
mengambil kuponnya besok. Sekian dan terima kasih.”
Hidup memang tidak mudah. Apalagi bagi orang-orang
seperti Nyak. Setelah mendengar pengumuman itu, Nyak segera bangkit. Dengan tertatih
ia berjalan untuk menuliskan namanya di meja panitia. Lebih cepat ia
mendaftarkan diri akan lebih baik bagi pekerjaan yang harus ia selesaikan. Meski
lelah, ia tetap bersyukur.
Sampai di rumah, Nyak kembali menyelonjorkan kakinya
ketika terdengar bunyi pintu diketuk. Bu Inah yang biasa dicucikan bajunya oleh
Nyak terlihat agak cemberut. Nyak tahu pasti ada masalah lagi.
“Nyak, bajuku yang ini luntur!”
Bu Inah menunjukkan sepotong baju. Nyak ingat, kemarin
Upi, cucunya, membantunya mencucikan baju-baju pelanggan. Baju-baju itu terlalu
banyak dan melelahkan untuk dibersihkan sendiri oleh Nyak. Namun Nyak merasa
pantang menolak rezeki. Apalagi mendekati Idul Fitri. Uangnya bisa digunakan
lebih dari sekedar menyenangkan diri. Tapi menyenangkan si Upi. Bisa jadi, baju
itu kelunturan karena Upi ikut turun tangan. Anak itu kadang memang ceroboh..
“Kalau begitu, hari ini cucian ibu gratis sebagai ganti
rugi baju ibu yang kelunturan. Nyak minta maaf ya bu. Lain kali Nyak janji akan
lebih hati-hati.”
Bu Inah mengiyakan meski wajahnya masih terlihat kesal. Ia
mungkin tak sampai hati lebih marah lagi pada Nyak yang lebih tua darinya. Dulu
Nyak juga mencucikan baju orangtua dan saudara-saudara Bu Inah. Nyak banyak
berjasa mengurangi kerepotan keluarganya mengurus rumah tangga.
Nyak sedikit merasakan kesedihan. Keinginan awalnya menangguk
rezeki dengan tidak menolak permintaan mencuci malah membuatnya kehilangan
beberapa rupiah. Akibat ia membiarkan Upi membantunya. Ia tak bisa menyalahkan
gadis kecil itu. Memeras celana jeans saja Upi belum kuat apalagi mencuci baju
yang seperti tak habis-habis jumlahnya.
Nyak melihat tumpukan cucian lain di sudut. Ia harus
mencucinya sebelum Upi pulang. Agar Upi tidak merasa kasihan dan ingin
menolongnya. Ia tak bisa menolak bantuan Upi. Ia ingin Upi tahu neneknya
menghargai usaha sang cucu.
“Nyak! Lihat Nyak! Upi dapat bingkisan!”
Tiba-tiba terdengar teriangan Upi yang riang. Nyak menyambutnya
dengan pelukan. Cepat-cepat Upi membongkar bungkusan plastik hitam itu. Isinya beras,
minyak, gula, susu, mentega, dan mie instan. Mungkin tadi salah satu kesempatan
Nyak mendapatkan rezeki telah lenyap akibat cucian yang kelunturan. Tapi Tuhan
telah mengirimkan kebahagian lain melalui Upi. Bingkisan bagi anak yatim itu
cara lain Tuhan menakdirkan rezeki.
***
Entah cerpen ini fiksi atau real,, tapi sungguh menyedihkan... Cerpen ini mengingatkan pada semua oraang yang serba kecukupan,,, Liatlah mereka yang dibawah mu...!!
BalasHapussangat inspiratifff....!!1
alhamdulillah real mas haha
HapusThanks God, ending-nya bahagia. Selalu ada jalan buat orang yang bersabar. Good luck buat GA-nya. :)
BalasHapusayo mbak ikutan juga utk meramaikan :))
Hapus