Perilaku perempuan yang saling menyalahkan baik dalam kehidupan nyata maupun yang kita lihat di layar kaca adalah salah satu bentuk dari pengaruh budaya patriarki yang mengakar kuat. Perempuan selalu di pihak yang salah dan menjadi sumber masalah. Begitu pula dengan kasus bully kemarin. Mulai dari katanya bermula dengan masalah lelaki sampai kini disebut sebagai masalah hutang yang diungkit kembali.
Kenapa sih perempuan saling benci?
Feminisme tidak hanya mengenai perempuan meminta persamaan hak agar dapat bekerja di luar rumah atau mendapatkan penghasilan yang setara. Feminisme tak cuma soal bagaimana agar perempuan merasa aman di manapun ia berada. Sebab feminisme menyangkut segala aspek kehidupan. Ketika kita membicarakan kaum perempuan yang saling benci dan nyinyir, itu termasuk ke dalam topik feminisme. Perempuan seharusnya saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Ketika kaum perempuan kompak dan saling membela kepentingannya, maka kesetaraan itu bukan hanya mimpi di siang bolong.
Mengapa Kehamilan Jadi Masalah Semua Orang
Mengenai masalah Bunga di atas, bukan hanya satu dua kali saya dengar. Sesama perempuan menghina dan merendahkan perempuan lain yang belum hamil bukanlah hal yang asing. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup sosial kecil (keluarga, tetangga) tetapi juga yang lebih kompleks misalnya lingkup kerja. Bahkan di media sosial di mana dua orang ini tidak saling bertemu secara intensif. Para perempuan ini asyik sekali bertanya apakah temannya itu sudah hamil atau belum.
Sebenarnya ini tidak hanya soal kompak tidaknya kaum perempuan terhadap sesama. Tapi kurangnya pengetahuan kaum perempuan mengenai organ reproduksinya sendiri. Siapa bilang begitu seorang lelaki dan seorang perempuan yang tidur bersama pasti akan hamil? Ini bukan cuma soal kesuburan belaka. Nilai seorang perempuan tidak berkurang hanya karena belum hamil. Bahkan kalaupun mengalami kemandulan, dunia tidak runtuh. Urusan kesuburan bukan hanya tentang tubuh perempuan. Tubuh lelaki juga. Pola makan, kebiasaan olahraga, merokok, minum-minuman keras... ada banyak sekali faktor yang memengaruhi bagaimana sistem reproduksi bekerja.
Lagipula, kalo Tuhan bilang belum saatnya, kita bisa apa?
Sebenarnya jalan keluar dari pertanyaan nyinyir soal sudah hamil atau belum ini bisa ditangani dengan satu cara: menebalkan telinga. Walau kesal rasanya, kita harus belajar tidak peduli pada pertanyaan orang lain. My body is mine. Your body is yours. Kurang subur, tidak subur, atau mandul tidak menjadikan seseorang tak berhak dicintai. Pertanyaan orang tidak akan ada habisnya, tetapi kitalah yang harus kuat dan membesarkan hati. Kita juga harus satu suara dengan pasangan bila menghadapi pertanyaan ini. Suami manapun yang benar-benar cinta istrinya pun seharusnya paham betul untuk tidak menjadikan belum hamil ini sebagai masalah dalam rumah tangganya.
Sedikit Hal yang Kita Perlu Tahu
Saya kaget waktu mendengar teman di usia awal 20 tahun dikritik karena wajahnya memiliki keriput. Mana ada keriput di wajah perempuan yang baru memasuki usia dewasa? Ada pula yang secara konsisten dibully rekan sekantornya karena berat badannya naik. Sesama perempuan, saling membicarakan kekurangan tubuh orang lain, hanya agar merasa dirinya lebih baik. Bukankah skenario ini sudah biasa kita dengar? Narasi mengenai ciri-ciri yang ada pada perempuan berlabel cantik pun memenuhi media massa, media elektronik, maupun media digital kita. Perempuan harus mancung, berkulit putih, bertubuh langsing, berdagu runcing bla bla bla.
Memangnya cantik itu apa sih? Kalau ada standarnya, lalu yang tidak cantik tidak berhak dihargai kah? Memangnya kenapa kalau tidak cantik? Dunia tidak akan kiamat. Hidup tidak akan menjadi lebih singkat. Sebenarnya selain tidak sopan, mengkritik tubuh orang lain hanya menunjukkan ketidakpercayaan diri kita. Sebab kita merasa harus menjatuhkan orang lain dulu agar merasa lebih baik. Bukankah ini ironi, kita bisa merasa cantik bila merasa orang lain jelek? Padahal yang lebih cantik dari kita pasti banyak dan bisa jadi dalam hatinya mereka pun menganggap kita jelek.
Seharusnya hal-hal bodoh ini disudahi. Cantik ya cantik saja. Semua tubuh dan wajah itu cantik. Jerawat itu cantik. Pesek itu cantik. Tonggos itu cantik. Pendek itu cantik. Buncit itu cantik. Tepos itu cantik. Pokoknya semua itu cantik. Tidak kurang tidak lebih. Mau sampai kapan melihat kekurangan tubuh orang lain dan terutama tubuh sendiri? Ciptaan Tuhan lho ini. Kenaikan atau penurunan berat badan tidak membuat kamu masuk surga, kawan. Bagaimanapun wajah kamu, bentuk fisik kamu, atau cara jalan kamu tidak akan membuat hidup lurus-lurus saja. Semua manusia hidupnya pasti berkelok-kelok. Ketika kita berhenti fokus pada hal yang tak perlu (seperti mengkritik tubuh orang lain) kita bakal lebih pintar bersyukur dan menikmati hidup lho. Coba saja sendiri.
Bully Sana, Bully Sini
Saya hanya akan menyebutkan kasus kemarin. Saya tidak mau menyebutkan kasus yang mana atau siapa nama korban dan pelakunya. Cukup kasus kemarin. Mengapa hal ini bagian dari feminisme? Karena ini adalah kasus bully. Kasus saling menjatuhkan. Pelaku mengaku bahwa ia dan korban sebelumnya sempat bertengkar dan saling sindir di media sosial. Mengapa perempuan harus saling sindir? Mengapa perempuan harus berlomba-lomba untuk mendapatkan predikat lebih baik? Pelaku pun berubah-ubah pernyataannya. Awalnya mengenai rebutan lelaki. Lalu menjadi utang piutang yang diungkit kembali.
Kenapa perempuan harus memperebutkan lelaki? Padahal jumlah lelaki dan perempuan di Indonesia hampir seimbang (lihat saja data Badan Pusat Statistik). Hal ini tak hanya terjadi karena kasus bully kemarin. Orang-orang dewasa pun juga demikian. Sudah berkali-kali kita melihat video viral penggerebekan seorang suami yang sedang bersama orang ketiga dan si istri yang merasa tersakiti. Mengapa kita harus mengharapkan cinta dari orang yang bahkan tidak menghargai kita? Mengapa kita harus menyalahkan si orang ketiga, bukan pasangan kita yang ternyata tak bisa dipercaya? Mengapa si lelaki seakan pihak tak bersalah dan tak tersentuh sementara kaum perempuan harus saling bertengkar demi mendapat predikat dicintai, masih menjadi misteri bagi saya. Lelaki bukan barang yang perlu kita perebutkan. Dan sebaik-baiknya perempuan, bagi saya menjaga harga diri adalah sebuah keharusan. Bila dikhianati, tinggalkan. Tak perlu susah payah menyatukan beling yang sudah pecah.
Isu yang berkembang (dan membuat saya sempat termakan) adalah berita kalau kejadian kemarin diikuti dengan penyerangan ke arah kelamin. Meski ternyata kelaminnya baik-baik saja, hanya hampir diserang tapi tidak kena, ini membuat saya kesal. Hukum kita masih lemah dengan menganggap bahwa pemerkosaan hanya didefinisikan dengan penis yang melakukan penetrasi paksa pada vagina. Padahal serangan terhadap kelamin, meski tidak dengan kelamin lain, merupakan kekerasan seksual. Bila dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan lainnya, ini adalah tanda betapa rendahnya martabat kaum perempuan di mata masyarakat patriarki. Perempuan ingin menghancurkan perempuan lain dengan cara menyerang keperempuanannya. Perempuan dianggap rendah, sampah, dan label buruk lain ketika bagian yang dianggap paling suci bagi masyarakat telah rusak atau tersentuh.
Padahal istilah perawan itu tidak ada dalam dunia medis. Lucu bukan? Tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara. Selaput dara juga tidak menutup rapat kelamin perempuan, asal tahu saja. Kalau tertutup rapat, kelaminmu tidak bisa mengeluarkan darah haid, kawan. Lagipula kenapa sih seksualitas perempuan menjadi masalah bagi semua orang? Kita tentu tidak sibuk menanyakan apakah seorang lelaki masih perjaka atau tidak. Kita juga tidak menganggap lelaki yang sudah berhubungan seksual sebelum menikah adalah sebuah aib. Sebaliknya, bila ada isu yang buruk bagi seorang perempuan, langsung dihancurkanlah citra perempuan tersebut. Seakan ia tak pantas lagi hidup.
Membully atau melakukan kekerasan fisik adalah hal yang salah, tetapi mengancam memerkosa adalah kesalahan yang lebih buruk lagi. Ada banyak sekali hal menyangkut feminisme dalam kasus ini. Dan kita masih saja tutup mata, menganggap kekerasan seksual adalah isu semata. Kita mengabaikan pentingnya untuk menuntaskan isu ini. Kita juga tidak peduli ketika kaum perempuan saling caci. Kita tidak sedang berlomba. Kita tidak memperebutkan gelar apa-apa. Masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan. Masih banyak buruh perempuan yang harus mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Masih banyak perempuan yang tidak ditangani oleh petugas medis karena vaginismusnya dianggap sikap tidak berbakti pada suami. Masih banyak kasus lain yang dihadapi sesama perempuan yang seharusnya kita perjuangkan, bukan kita biarkan mereka memperjuangkannya sendirian.
Feminisme tidak hanya mengenai perempuan meminta persamaan hak agar dapat bekerja di luar rumah atau mendapatkan penghasilan yang setara. Feminisme tak cuma soal bagaimana agar perempuan merasa aman di manapun ia berada. Sebab feminisme menyangkut segala aspek kehidupan. Ketika kita membicarakan kaum perempuan yang saling benci dan nyinyir, itu termasuk ke dalam topik feminisme. Perempuan seharusnya saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Ketika kaum perempuan kompak dan saling membela kepentingannya, maka kesetaraan itu bukan hanya mimpi di siang bolong.
Mengapa Kehamilan Jadi Masalah Semua Orang
Mengenai masalah Bunga di atas, bukan hanya satu dua kali saya dengar. Sesama perempuan menghina dan merendahkan perempuan lain yang belum hamil bukanlah hal yang asing. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup sosial kecil (keluarga, tetangga) tetapi juga yang lebih kompleks misalnya lingkup kerja. Bahkan di media sosial di mana dua orang ini tidak saling bertemu secara intensif. Para perempuan ini asyik sekali bertanya apakah temannya itu sudah hamil atau belum.
Sebenarnya ini tidak hanya soal kompak tidaknya kaum perempuan terhadap sesama. Tapi kurangnya pengetahuan kaum perempuan mengenai organ reproduksinya sendiri. Siapa bilang begitu seorang lelaki dan seorang perempuan yang tidur bersama pasti akan hamil? Ini bukan cuma soal kesuburan belaka. Nilai seorang perempuan tidak berkurang hanya karena belum hamil. Bahkan kalaupun mengalami kemandulan, dunia tidak runtuh. Urusan kesuburan bukan hanya tentang tubuh perempuan. Tubuh lelaki juga. Pola makan, kebiasaan olahraga, merokok, minum-minuman keras... ada banyak sekali faktor yang memengaruhi bagaimana sistem reproduksi bekerja.
Lagipula, kalo Tuhan bilang belum saatnya, kita bisa apa?
Sebenarnya jalan keluar dari pertanyaan nyinyir soal sudah hamil atau belum ini bisa ditangani dengan satu cara: menebalkan telinga. Walau kesal rasanya, kita harus belajar tidak peduli pada pertanyaan orang lain. My body is mine. Your body is yours. Kurang subur, tidak subur, atau mandul tidak menjadikan seseorang tak berhak dicintai. Pertanyaan orang tidak akan ada habisnya, tetapi kitalah yang harus kuat dan membesarkan hati. Kita juga harus satu suara dengan pasangan bila menghadapi pertanyaan ini. Suami manapun yang benar-benar cinta istrinya pun seharusnya paham betul untuk tidak menjadikan belum hamil ini sebagai masalah dalam rumah tangganya.
Sedikit Hal yang Kita Perlu Tahu
- Kehamilan bisa terjadi tanpa penetrasi. Ini disebut splash pregnancy. Umumnya ini sengaja dilakukan oleh pasangan yang istrinya mengalami vaginismus. Vaginismus adalah ketidakmampuan vagina untuk melakukan penetrasi dengan penis. Pada kehamilan dengan splash pregnancy, sperma ditumpahkan di luar vagina. Tentu saja cara ini tidak selalu berhasil tetapi di Indonesia sendiri beberapa pasangan vaginismus mampu melakukan hal tersebut.
- Tentu saja kita dapat melakukan sex dengan posisi tertentu untuk meningkatkan probabilitas kehamilan. Namun bukan berarti posisi tersebut memastikan seorang perempuan hamil. Kehamilan tidak hanya ditentukan oleh posisi ketika berhubungan
- Selain gaya hidup yang kurang sehat, daya tahan tubuh yang terlalu bagus juga dapat memengaruhi kemungkinan untuk hamil. Sepupu saya baru hamil setelah belasan tahun menikah. Penyebabnya adalah daya tahan tubuhnya terlalu kuat sehingga benih dalam tubuhnya selalu dianggap benda asing/musuh. Hal ini menyebabkan ia selalu keguguran. Akhirnya ia memiliki anak setelah melakukan bayi tabung ketiga kalinya. Tidak hanya bayi tabung, pasutri ini juga melakukan diet ketat. Salah satu contohnya adalah suaminya tidak boleh minum es teh.
Saya kaget waktu mendengar teman di usia awal 20 tahun dikritik karena wajahnya memiliki keriput. Mana ada keriput di wajah perempuan yang baru memasuki usia dewasa? Ada pula yang secara konsisten dibully rekan sekantornya karena berat badannya naik. Sesama perempuan, saling membicarakan kekurangan tubuh orang lain, hanya agar merasa dirinya lebih baik. Bukankah skenario ini sudah biasa kita dengar? Narasi mengenai ciri-ciri yang ada pada perempuan berlabel cantik pun memenuhi media massa, media elektronik, maupun media digital kita. Perempuan harus mancung, berkulit putih, bertubuh langsing, berdagu runcing bla bla bla.
Memangnya cantik itu apa sih? Kalau ada standarnya, lalu yang tidak cantik tidak berhak dihargai kah? Memangnya kenapa kalau tidak cantik? Dunia tidak akan kiamat. Hidup tidak akan menjadi lebih singkat. Sebenarnya selain tidak sopan, mengkritik tubuh orang lain hanya menunjukkan ketidakpercayaan diri kita. Sebab kita merasa harus menjatuhkan orang lain dulu agar merasa lebih baik. Bukankah ini ironi, kita bisa merasa cantik bila merasa orang lain jelek? Padahal yang lebih cantik dari kita pasti banyak dan bisa jadi dalam hatinya mereka pun menganggap kita jelek.
Seharusnya hal-hal bodoh ini disudahi. Cantik ya cantik saja. Semua tubuh dan wajah itu cantik. Jerawat itu cantik. Pesek itu cantik. Tonggos itu cantik. Pendek itu cantik. Buncit itu cantik. Tepos itu cantik. Pokoknya semua itu cantik. Tidak kurang tidak lebih. Mau sampai kapan melihat kekurangan tubuh orang lain dan terutama tubuh sendiri? Ciptaan Tuhan lho ini. Kenaikan atau penurunan berat badan tidak membuat kamu masuk surga, kawan. Bagaimanapun wajah kamu, bentuk fisik kamu, atau cara jalan kamu tidak akan membuat hidup lurus-lurus saja. Semua manusia hidupnya pasti berkelok-kelok. Ketika kita berhenti fokus pada hal yang tak perlu (seperti mengkritik tubuh orang lain) kita bakal lebih pintar bersyukur dan menikmati hidup lho. Coba saja sendiri.
Bully Sana, Bully Sini
Saya hanya akan menyebutkan kasus kemarin. Saya tidak mau menyebutkan kasus yang mana atau siapa nama korban dan pelakunya. Cukup kasus kemarin. Mengapa hal ini bagian dari feminisme? Karena ini adalah kasus bully. Kasus saling menjatuhkan. Pelaku mengaku bahwa ia dan korban sebelumnya sempat bertengkar dan saling sindir di media sosial. Mengapa perempuan harus saling sindir? Mengapa perempuan harus berlomba-lomba untuk mendapatkan predikat lebih baik? Pelaku pun berubah-ubah pernyataannya. Awalnya mengenai rebutan lelaki. Lalu menjadi utang piutang yang diungkit kembali.
Kenapa perempuan harus memperebutkan lelaki? Padahal jumlah lelaki dan perempuan di Indonesia hampir seimbang (lihat saja data Badan Pusat Statistik). Hal ini tak hanya terjadi karena kasus bully kemarin. Orang-orang dewasa pun juga demikian. Sudah berkali-kali kita melihat video viral penggerebekan seorang suami yang sedang bersama orang ketiga dan si istri yang merasa tersakiti. Mengapa kita harus mengharapkan cinta dari orang yang bahkan tidak menghargai kita? Mengapa kita harus menyalahkan si orang ketiga, bukan pasangan kita yang ternyata tak bisa dipercaya? Mengapa si lelaki seakan pihak tak bersalah dan tak tersentuh sementara kaum perempuan harus saling bertengkar demi mendapat predikat dicintai, masih menjadi misteri bagi saya. Lelaki bukan barang yang perlu kita perebutkan. Dan sebaik-baiknya perempuan, bagi saya menjaga harga diri adalah sebuah keharusan. Bila dikhianati, tinggalkan. Tak perlu susah payah menyatukan beling yang sudah pecah.
screenshoot detik.com |
screenshoot magdalene.co |
Isu yang berkembang (dan membuat saya sempat termakan) adalah berita kalau kejadian kemarin diikuti dengan penyerangan ke arah kelamin. Meski ternyata kelaminnya baik-baik saja, hanya hampir diserang tapi tidak kena, ini membuat saya kesal. Hukum kita masih lemah dengan menganggap bahwa pemerkosaan hanya didefinisikan dengan penis yang melakukan penetrasi paksa pada vagina. Padahal serangan terhadap kelamin, meski tidak dengan kelamin lain, merupakan kekerasan seksual. Bila dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan lainnya, ini adalah tanda betapa rendahnya martabat kaum perempuan di mata masyarakat patriarki. Perempuan ingin menghancurkan perempuan lain dengan cara menyerang keperempuanannya. Perempuan dianggap rendah, sampah, dan label buruk lain ketika bagian yang dianggap paling suci bagi masyarakat telah rusak atau tersentuh.
Padahal istilah perawan itu tidak ada dalam dunia medis. Lucu bukan? Tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara. Selaput dara juga tidak menutup rapat kelamin perempuan, asal tahu saja. Kalau tertutup rapat, kelaminmu tidak bisa mengeluarkan darah haid, kawan. Lagipula kenapa sih seksualitas perempuan menjadi masalah bagi semua orang? Kita tentu tidak sibuk menanyakan apakah seorang lelaki masih perjaka atau tidak. Kita juga tidak menganggap lelaki yang sudah berhubungan seksual sebelum menikah adalah sebuah aib. Sebaliknya, bila ada isu yang buruk bagi seorang perempuan, langsung dihancurkanlah citra perempuan tersebut. Seakan ia tak pantas lagi hidup.
Perlakuan masyarakat terhadap pelaku pun benar-benar buruk. Banyak yang membully pelaku dengan mengancam akan memerkosa mereka. Kamu tentu tidak menemukan ancaman pemerkosaan pada lelaki. Perempuanlah yang diancam keperempuanannya. Perempuanlah yang diancam kelaminnya. Perempuan dianggap hina ketika sudah ditiduri. Padahal, apapun alasannya, pemerkosaan adalah perbuatan kriminal dan yang salah tentu pemerkosanya. Ketika masyarakat begitu mudah mengungkapkan kebencian kepada pelaku dengan cara mengancam memerkosa, ini tandanya perempuan hanya dinilai dari vaginanya.
Membully atau melakukan kekerasan fisik adalah hal yang salah, tetapi mengancam memerkosa adalah kesalahan yang lebih buruk lagi. Ada banyak sekali hal menyangkut feminisme dalam kasus ini. Dan kita masih saja tutup mata, menganggap kekerasan seksual adalah isu semata. Kita mengabaikan pentingnya untuk menuntaskan isu ini. Kita juga tidak peduli ketika kaum perempuan saling caci. Kita tidak sedang berlomba. Kita tidak memperebutkan gelar apa-apa. Masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan. Masih banyak buruh perempuan yang harus mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Masih banyak perempuan yang tidak ditangani oleh petugas medis karena vaginismusnya dianggap sikap tidak berbakti pada suami. Masih banyak kasus lain yang dihadapi sesama perempuan yang seharusnya kita perjuangkan, bukan kita biarkan mereka memperjuangkannya sendirian.