Chang, Pejuang Tanah Timur-Bagian 5

Peppe
            Benua Mata Angin adalah benua terluas di seluruh dunia, tempat bertahta 4 kerajaan terkuat. Kerajaan Utara, Kerajaan Selatan, Kerajaan Timur, dan Kerajaan Barat. Sebagian besar wilayah Kerajaan Timur berupa dataran tinggi dan pegunungahn yang berhawa sejuk. Meski mengalami siklus empat musim--musim panas, musim dingin, musim gugur, dan musim semi--terdapat salju abadi di puncak gunung tertinggi, Gunung Suci. Sungai-sungai akan membeku di musim dingin.
            Kerajaan Selatan menguasai perairan. Sebagai negara pesisir, sebagian besar devisa Negara didapatkan dari hasil laut. Tak hanya ikan-ikanan, juga penambangan pasir, mutiara, rumput laut, dan kelapa. Perkampungan nelayan memadati pantai-pantai. Tak heran, Kerajaan Selatan memiliki pelabuhan terbesar di Benua Mata Angin. Bisnis perkapalan tak pernah surut. Seluruh kapal yang ingin memasuki perairan Benua Mata Angin harus transit di pelabuhan Kerajaan Selatan. Sebab, pelabuhan Kerajaan Selatan merupakan gerbang utama dengan dunia luar.
            Kerajaan Barat beriklim tropis, jauh lebih hangat dan menyenangkan. Dikelilingi barisan pegunungan api aktif, tanah yang subur dan kaya mineral. Selain industri pertambangan yang tumbuh subur, Kerajaan Barat pun menguasai sebagian besar perdagangan di bidang pangan. Tak hanya itu, bidang sandang dan papan pun diambil alihnya. Tiga kerajaan lain sangat bergantung terhadap pasokan dari Kerajaan Barat. Namun sulitnya akses membuat Kerajaan Timur menjalin kerja sama dengan rombongan pedagang dari benua lain yang menyambangi kota-kotanya.
            Kerajaan Utara merupakan daerah kecil yang tandus sebab letaknya paling dekat dengan Gurun Baekhong. Lalu di wilayah kerajaan ini juga memiliki kawasan hutan tak terjamah, air terjun, dan jurang-jurang terjal. Sedikit orang yang mau menjelajahinya sebab semakin jauh memasuki wilayah Kerajaan Utara adalah kawasan tak berpenghuni. Penduduk setenpat tak mungkin membangun pemukiman di gua-gua atau bukit-bukit kapur.
            Sepanjang tahun aku berkeliling Benua Mata Angin sebagai pedagang. Aku menawarkan kain, tombak, madu, rempah, dan parfum. Kelima barang ini telah menjadi andalan dan penopang hidup keluargaku sejak bertahun-tahun lamanya. Bulan ini aku tengah berkunjung ke Kerajaan Barat, lebih tepatnya negara belahan bumi barat. Desas desus yang beredar mengatakan, terjadi pergerakan mencurigakan menuju perbatasa. Aku tidak peduli dengan perpolitikan antar negara. Bagiku, cukuplah daganganku laku dan anak istri hidup cukup.
Selama ini antarnegara menjalin hubungan dan kerja sama yang baik sehingga aku yakin tak ka nada perang dalam waktu dekat. Namun, keyakinanku berubah tatkala rombongan dagang kecilku tak sengaja melalui sebuah beting di pantai kecil di sis terluar kerajaan. Aku tercengan. Puluhan tenda berwarna kelabu yang nampak kotor memenuhi pantai. Kulit-kulit cokelat para prajurit berseliweran. Udara panas menyengat dan mereka sedang beristirahat. Banyak dari mereka yang bertelanjang dada atau memakai baju alakadarnya.
            Sebuah tenda yang lebih besar dan berada di tengah-tengah perkemahan berdiri tegak. Sekilas terlihat jejeran senjata. Tombak, busur, pedang, gada, kampak, tongkat, dan tameng berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Beberapa orang sibuk mengasah pisaunya. Sebagian lain menjemuar pelana-pelana kuda atau menyikat baju jala baja. Aku menghentikan pasukanku dan bermaksud memutar arah. Salah seorang dari mereka melihatku dan menghampiri. "Siapa kalian? Apa keperluan kalian? Ini daerah yang jarang dilintasi orang." Tatapan matanya penuh curiga. Hampir copot jantungku dibuatnya.
            Seorang anak buahku maju, "Saya Taremb, ini tuang saya Peppe. Kami rombongan peangan dari Kerajaan Utara. Tiap tahun kami berkeliling benua. Tahun ini kami dengar jalur Zenamena dilanda banjir bandang. Kami tak mungkin membahayakan barang-barang dagangan dengan menempuh jalan yang terendam iar. Jadi kami mencari jalur lain yang aman dilewati. Penduduk yang tinggal di desa tak jauh dari sini mengatakan ada jalan pintas yang jarang dilalui orang, melalui pantai." Prajurit itu tidak melepaskan pandangan penuh kehati-hatiannya. "Aku akan memeriksa peti-peti kalian," ujarnya tegas. Ia member isyarat. Beberapa prajurit lain mendekat. Segera mereka menggeledah barang-barang kami.
            Mereka terkejut dengan tombak-tombak yang kami bawa. "Tombak ini sama kualitasnya dengan buatan Kerajaan Barat!" ujar salah satu dari mereka dengan wajah takjub. "Kami emmang membeli perkakas dan benda-benda logam lainnya dari Kerajaan Barat. Mitra kami tersebar di seluruh penjuru benua," ujar Taremb bangga. "Apa kami boleh membelinya? Atau ini pasokan tombak untuk kerajaan kalian?" Aku maju, "Silakan tuan-tuan sekalian. Ini bukan pesanan siapapun dan tuan-tuan sekalian boleh memilikinya, tentu dengan harga yang pantas." Prajurit yang tadi menginstruksikan agar kami digeledah mengelus-elus jenggotnya. "Berapa harga yang kalian tawarkan?" Aku mengulum senyum, "Mari kita lakukan barter saja. Aku lebih nyaman bila kita bertukar barang. Apa yang tuang miliki yang tuan bisa beri pada kami?"
            Prajurit berbadan gempal berkata, "Tunggu, kemana kalian akan pergi setelah melalui Kerajaan Selatan?"
"Kami akan bertolak ke Kerajaan Timur. Madu dan rempah-rempah kami adalah kegemaran orang timur."
"Kalian membutuhkan ini!" serunya sambil merogoh kantong kecil. Sebuah botol mungil yang tidak kutahu apa isinya. "Apa gunanya botol itu, tuan?" tanyaku heran. "Ini adalah obat ajaib, penangkal berbagai macam penyakit. Kudengar daerah perbatasan Kerajaan Timur tengah dilanda wabah penyakit. Kalian membutuhkan ini agar selamat dan tetap hidup sekembali dari jual beli." Aku mengerutkan kening. "Tapi kami belum pernah mengalami masalah dengan wabah penyakit. Masalah utama kami adalah kehadiran perampok."
"Tidak, percayalah padaku. Kalian tidak akan menyesal bertukar obat ini dengan tombak terbaik kalian." Taremb membisikiku, "Turuti saja ia, tuan. Perkemahan pasukan ini menjorok ke perbatasan Kerajaan Timur. Tak heran mereka lebih banyak tahu disbanding kita. Mungkin saja mereka benar, ada wabah baru yang selama ini belum pernah kita jumpai."
            Setelah membereskan urusan dagang, kami pun pergi. Menjelang malam, kami telah memasuki garis terluar Kerajaan Timur. Suasana sunyi. Bebunyian serangga meneriaki malam yang hening. Kami akan segera mencapai desa terdekat. Anak buahku kelelahan. Kami harus makan. Tiba-tiba kami mendengar suara tangisan melengking. "Suara apa itu, tuan? Apakah ada roh yang merasa terusik dengan kehadiran kita?" Aku menajamkan telinga. Bukan, itu benar manusia. Aku berlari mencari asal suara.
            Seorang gadis berlutut di tanah. Mungkin ia berdoa. Namun aku melihat sesuatu yang menetes-netes dari mulutnya. Ia menangis sesenggukan. Tak pernah kutahu ada tradisi atau ritual yang membolehkan seseorang berdoa sembari meledakkan tangis. Aku menyentuh bahunya. Kuangkat dagunga. Aku ternganga. Tentu ia menangis, darah mengalir keluar dari mulutnya. "Tolong saya, tuan. Tolong," rintihnya. Sebelum tubuhnya tumpang, anak buahku telah membopongnya. Kami mencari bantuan. Kami menemukan desa itu. Obor-obor berkerlap-kerlip di kejauhan. Suasana mencekam. Kamu berpandangan heran. Ada apa ini? Banyak tubuh dengan mulut terbuka bersimbah darah. Kami baru sadar, inilah wabah penyakit misterius yang didengung-degungkan prajurit Kerajaan Selatan. Buru-buru Taremb membagikan setetes obat dalam botol kecil itu.

Xzat
            "Sudah kau tuang racunnya?"
"Sudah tuan. Aku menyelinap ketika hari masih gelap. Sesuai perintahmu, aku menuangkan racun ini ke sumber-sumber air penduduk desa di perbatasan."
"Bagus. Bagaimana dengan penangkal racunnya?"
"Seluruh pasukan telah meminumnya."

Jemima
            Knvan sangat sepi. Tidak ada orang hilir mudik di ladang atau sumur. Semua memiliki tujuan yang sama, rumah Jem. Perempuan-perempuan bertudung kepala hitam dan lelaki-lelaki bersarung hitam memenuhi pekarangan bak lautan. Tubuh kaku Jem diletakkan dalam peti kaca berukir. Wajahnya ditutup kain hitam. Untuk sementara waktu, selama tidak memiliki pemimpin dan pemuka agama, Rou akan memimpin setiap upacara kematian, kelahiran, dan pernikahan di tanah timur. Jemima mengusap air matanya. Hatinya teriris pedih. Jem telah tiada. Kini, keadaan tanah timur akan goyah. Seseorang menepuknya. "Chang?" Jemima menoleh cepat. Rim, berdiri di hadapannya.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama