Hancur.
Kau menjadikan segalanya hancur.
Aku mengeryit. Pesan macam apa ini?
Dua buah kalimat yang dituliskan buru-buru di atas kertas lusuh dan hampir tak
terbaca karena basah di ujungnya. Seseorang yang cukup bodoh untuk
menakut-nakutiku menyumpalkan kertas itu ke dalam lubang kunci. Untunglah
kertasnya tidak robek dan mampu kukeluarkan dari lubang kunci sehingga aku
dapat membaca pesan yang tertera di dalamnya. Tapi siapa pengirim pesan ini?
Kenapa ia mengirimiku pesan penuh kebencian?
"Kau kenal tulisan ini?"
aku menyodorkannya pada Dan. Ia menaikkan kacamatanya hingga benar-benar
melekat di bawah alis dan mengamati robekan kertas itu dengan seksama.
"Tidak," ia mengembalikan robekan kertas itu. "Bila kau merasa
terganggu, kau bisa memberitahu petugas keamanan yang bertanggung jawab di
gedung ini. Mau kutemani melapor?" tanya Dan. Ketenangan yang dipancarkan
kedua bola matanya membuatku sesaat terpana. "Ya, ya, terserah kau saja,"
ucapku gugup. Dan tersenyum kecil. "Minum dulu tehmu, tenangkan diri. Aku
tidak mau menemanimu bila kau terlihat kacau. Seakan pikiranmu tidak di
sini." Dan menuangkan air dari teko dan mengadukkan teh untukku.
Dan dengan secangkir kopi dan aku
dengan secangkir teh, sepagi ini, setiap hari, menjadi rutinitas tidak
terlewatkan. Sejak aku menghuni rumah susun satu lantai di bawah Dan. Ia rajin
mengetuk pintuku, membangunkanku, dan membantuku membersihkan rumah. Kemudian
kami akan bersama pergi ke halted an naik bus ke tujuan masing-masing. Dan
seorang pekerja seni. Jam kerjanya relating fleksibel. Selain sebagai pemain
teater, Dan juga berkecimpung di dunia sastra. Kini ia tengah menggarap pementasan
sebuah drama yang diangkat dari novel sastrawan era 80-an. Aku tak begitu
mengerti dunia seni dan sastra tapi aku selalu memberinya dukungan. Mengenai
kesibukannya yang terlalu fleksibel hingga tak kenal waktu, aku berusaha
maklum. Sebab aku tak mampu mengalihkan pandangan dari tatapannya yang membius.
Dan menepuk bahuku, "Aku
terburu-buru. Bisa kau melapor sendiri? Kawanku telah menunggu di stasiun. Kami
akan naik kereta." Aku mengangkat alis dengan malas, "Ya, cepat sana,
kasihan kawanmu." Dan menepuk bahuku sekali lagi dan meninggalkanku yang
masih mengunci pintu. Suaranya menuruni tangga dengan cepat penuh irama, begiru
berisik. Seorang tetangga melongokkan kepala. Ada apa? Kurang lebih begitulah
ekspresi yang tersirat dari wajahnya. Penghuni rumah susun yang lain masih
terlelap. Pukul tujuh pagi dan terdengar suara gaduh merupakan hal yang jarang
ditemui di sini. Aku menyatukan kedua telapak tangan tanda meminta maaf.
Tetangga itu mengangguk sekenanya lalu melanjutkan pekerjaannya menyetrika.
Suara sumbang penyanyi dari radio menemaninya.
Kuputuskan tidak melapor hari ini.
Toh, hanya secuil kertas yang terselip di lubang kunci pintu. Kertas kumal dan
dua kalimat pendek bernada benci tidak akan membunuhku. Tanpa berpikir dua
kali, aku melompat menyeberang jalan dan memburu bus ke halte. Lupakan,
lupakan, kuulang dalam hati. Biar lepas sejenak kecurigaanku dan konsentrasiku
pada pekerjaan yang telah menunggu. Berburu bus merupakan salah satu hal
menyebalkan di pagi hari karena besar kemungkinan ketika ketinggalan bus itu
akan mempengaruhi suasana hatiku sepanjang hari. Dengan kekuatan tungkai dan
lengan, aku berayun masuk. Hup! Beruntung, aku mendapatkan tempat duduk.
Malamnya, aku baru pulang. Banyak
hal yang perlu kuselesaikan membuatku terlambat pulang. Saat berusaha membuka
kunci, kulihat secuil kertas kumal lagi, terdorong keluar. Aku membukanya. Hancur. Aku menjatuhkan potongan kertas
itu. Apa-apaan ini? Siapa yang berani mempermainkanku? Aku mengambilnya kembali
dan membawanya masuk ke dalam. Banyak sekali calon tersangka yang bisa kutuduh.
Rumah susun ini terdiri dari lima lantai. Setiap lantai terdiri dari lima rumah.
Tiap gedung disambungkan dengan sebuah selasar yang berada di lantai ganjil.
Ada lima gedung seluruhnya, berarti ada lima blok. Penghuni sebanyak itu, siapa
saja dari mereka berpotensi membenciku. Mungkin karena aku sering membawa
banyak teman atau aku menyalahi aturan beristirahat dengan bangun paling dini
dan pulang paling cepat.
Aku mencari-cari Dan. Namun ia tak
dapat kutemukan. Ponselnya tidak aktif. Aku baru ingat, tadi sore dia telah
berpamitan. Dia harus mengikuti seminar di luar kota. Berarti aku sendirian.
Tidak ada Dan yang dapat menjagaku. Tubuhku menggigil. Kasihan. Kasihan aku!
Aku kembali ke pintu. Pintu telah
terbuka. Siapa yang membuka? Bukankah masih terkunci? Tadi aku meninggalkan
pintu dalam keadaan terkunci! Aku tidak berani masuk rumahku sendiri. Harusnya
aku di atas saja, menginap di rumah Dan. Aku punya kunci cadangan Dan. Ia
mengizinkanku tinggal di tempatnya kapanpun aku mau meski selama ini aku
berkeras tinggal di bawah. Kali ini aku tidak menolak.
Aku berlari menaiki anak tangga.
Sungguh gila, rumahku sendiri tidak menawarkan keamanan bagiku! Udara malam
yang dingin justru berbanding terbalik dengan keringat yang deras mengucur dari
ubun-ubun. Benar-benar di luar dugaan. Pintu Dan juga terbuka. Padahal, aku
belum mengambil kuncinya. Kuncinya…….tertinggal di laci kamarku. Di sana aku
menyimpan kunci cadangan itu.
Kepalaku pusing. Aku tidak berani
memasuki rumahku, tidak juga untuk memasuki rumah Dan. Mataku tak henti
berganti memandang anak tangga ke bawah dan anak tangga ke atas. Keadaan terasa
sangat sepi dan hening. Kemana semua orang? Aku merasa dipencundangi. "Apa
yang kau lakukan?" Dan menarik tanganku dengan keras. "Dan? Kau tidak
jadi pergi?" tanyaku. "Aku sengaja berpura-pura mengatakan bahwa aku
pergi. Sebetulnya, aku menunggumu. Aku ingin membuktikan kecurigaanku. Ternyata
benar, kau melakukan semua ini pada dirimu sendiri!" Dan menyerahkan
ponselnya. Di situ terlihat foto-foto aku memasukkan kertas ke dalam lubang
kunci lalu mengeluarkannya lagi dan membacanya dengan ekspersi terkejut. Aku
bahkan membuka pintu rumahku. Dan memotretnya dari balik tiang.
Aku terduduk lemas di anak tangga.
"Bagaimana kau bisa mencurigaiku?" tanyaku. "Itulah mengapa aku
selalu membangunkanmu dan membantumu melakukan segalanya. Kau tidak pernah
menyadari apa yang kau lakukan. Kau sering berdiri diam di halte, menunggu bis,
tanpa berusaha menaikinya jika bus itu berhenti."