Olivia [Bagian 8]

shutterstock.com

            Beberapa minggu lagi, Olivia akan menghadapi UAS―sering dipelesetkan menjadi ulangan agak serius. Tugas-tugas bertumpuk. Seperti membuat karangan pendek dalam bahasa Jerman sejumlah seratus kata, merangkum 7 bab untuk pelajaran Agama, mengerjakan kumpulan soal Matematika, makalah bahasa Indonesia. Tugas-tugas itu memaksanya memperbaiku hubungan dengan Nana.
            "Nan, aku minta maaf," Olivia mengulurkan sekotak coklat. "Kamu tidak perlu…" Nana membuka kotak coklat itu. "Ini bukan valentine!" Nana terpingkal. Ya, coklat dalam kotak itu berwarna coklat-pink dan berbentuk hati. "Aku mau cari coklat bentuk sapi tapi cuma itu yang ada potongan harga," goda Olivia. "Nah, pasti beli di toko Beauty. Ya kan? Kemarin aku ke sana, beli susu kedelai titipan kakakku. Aku lihat coklat ini di rak."
"Yaaah ketahuan. Bukan kejutan dong!"
"Hahaha. Salahmu sendiri. Kenapa beli di toko dekat sekolah?"
"Soalnya aku malas pergi jauh-jauh."
"Jadi terpaksa nih, beli coklat sogokannya?"

            Keduanya tertawa bersama. Bukan karena coklat, tentu, tapi hati mereka yang terbuka untuk memberi dan menerima maaf.  "Aku bikin pe-er lho!" Olivia menunjukkan sebuah karton yang berisi tabel Kimia dengan hiasan pensil warna dan stiker. "Waah, tabel Kimiaku saja belum jadi. Punyanya Rini salah, tadi tabel Kimianya dikembalikan Bu Ambar. Katanya kurang teliti. Padahal kita ini sudah mendekati UAS. Harusnya kita dikasih kesempatan lebih banyak untuk latihan soal, bukan tugas individu dan tugas kelompok yang menumpuk begini. Kapan mau belajar buat ulangannya?" Nana terus mengoceh panjang lebar. Kadang tanpa sadar ia selingi dengan bahasa Jawa yang diucapkan cepat dan hanya dapat ditangkap telinga oleh Olivia sepotong-sepotong.
            "Peh, tugase ngentai tenan!" seru Nana keras. Beberapa anak di kelas menoleh. "Na, bahasamu!" tegur Eka yang dikenal paling halus tutur katanya di antara teman-teman sekelasnya. Olivia mengeryit. "Apa artinya?" Eka memutar bola matanya. "Jangan ditanya. Itu tidak baik buat dipelajari. Kamu belajar kromo inggil saja. Dari tadi bahasanya Nana itu ngoko." Nana berbisik, "Ah, yang tadi itu kurang kasar. Masih ada yang lebih kasar lagi. Tapi kalau ketahuan guru, kita bisa dimarahi. Nanti kita disebut misuh-misuh. Kita ini wajib pakai kromo inggil atau bahasa Indonesia saja sekalian kalau di lingkungan sekolah, ingat kan?"
            Olivia meringis, "Kadang kamu ngoko saja aku belum tahu artinya apalagi kalau kromo. Logatnya itu lho yang susah ditiru. Kalian suka menertawakan kalau aku mencoba." Nana memasukkan sebutir coklat ke dalam mulut Olivia. "Sudah, makan saja. Baik kan aku, mau kasih coklat ke kamu?" Olivia menahan tawa sembari mengulum coklat yang luruh di mulutnya. "Tahu tidak," sambil mengunyah, Olivia berbicara, "mamaku di sini lho."
"Oh ya? Terus? Papa kamu juga?"
"Aku belum tahu kabar Papa. Papaku belum telpon. Cuma sms, katanya kangen aku dan tanya liburan akhir semester mau ke mana. Aku jawab, di mana saja sama. Terus belum ada balasan lagi. Kata mama, papaku sedang banyak pekerjaan."
"Jadi, kamu mau liburan sama papamu?"
"Belum tahu juga. Mungkin bergantian. Seminggu dengan mama, seminggu lagi dengan papa."
"Kamu kangen papamu?"
"Pastilah!"
"Terus, mamamu bilang apa lagi?"
"Apa ya? Cerita tentang perceraian. Tapi ceritanya belum lengkap. Aku masih belum tahu harus bersikap seperti apa. Aku kan tidak tahu apa-apa. Harapanku sih, mama dan papa menjaga komunikasi. Jangan seperti ini, saling diam. Aku jadi canggung."
"Sudah cerita ke Mas Wahyu?"
"Mas Wahyu tidak boleh kuganggu. Kamu tahu sendiri, dia sudah kelas tiga."
            Olivia mengambil sebutir  coklat lagi. "Coklatnya enak juga. Coklat bisa menghapus stres dari kepala kan?" Nana mengamini sambil ikut mengambil sebutir coklat. "Sayang coklatnya bukan bentuk sapi dan tidak diisi selai blueberry. Bakal makin enak."
"Ada satu lagi."
"Apa?"
"Mama ajak aku ikut."
"Ikut ke?"
"Pulang. Bukan tinggal di Jawa. Tapi rumah kami sendiri. Ya, walaupun di rumah itu nantinya sudah tidak tinggal papa."
"Jadi?"
"Aku ditawari pindah sekolah."
"Terus?"
"Aku belum tahu keputusanku apa."
"Mas Wahyu bagaimana?"
"Justru itu."
            Dalam sedetik, coklat di mulut Olivia berubah pahit. Entah ia harus senang atau apa menghadapi permintaan mama untuk tinggal bersama mama lagi. Di satu sisi, ia kurang suka tinggal di kota kecil. Eyang memang baik, apalagi Mas Wahyu. Ia baru saja benar-benar menerima kehadirannya di sini. Ia mulai terbiasa dengan teman-temannya, guru-gurunya, sekolahnya. Sekarang ia justru mendapat pilihan apakah ingin tinggal atau pergi. Mana bisa ia memutuskan? Menolak permintaan mama tentu mengecewakan orang tuanya. Kalau ia tinggal dengan mama, akan lebih mudah untuk papa berkunjung. Papa tidak punya waktu mendatangi Olivia di Jawa.
            Tapi, kalau ia pergi, Mas Wahyu mau apa? Mau ia suruh pindah juga? Ia tidak terlalu berat meninggalkan teman-temannya. Toh tidak semua teman sekelasnya benar-benar bisa menerimanya dengan baik. Ia masih merasakan ada jurang yang menganga dalam interaksi mereka. Hanya karena banyak tugas kelompok, mereka saling menahan diri dan berusaha bekerja sama. Coba kalau tidak. Ia yakin, sampai semester berikutnya pun ia masih berjuang merebut hati teman-temannya yang terlanjur mengecapnya si anak kota yang sombong, yang kaku, yang sulit diajak berteman.
            Dan, lagi-lagi pertanyaan itu muncul berulang di kepala. Mas Wahyu bagaimana? Apa mereka harus putus? Ini kali pertama Olivia tahu rasanya jatuh cinta, punya pacar, dan dijaga. Dijaga dari rasa kesepian. Dijaga dari kesadaran menjadi orang asing. Terakhir, dijaga supaya tetap senang. Mas Wahyu paling jago menghiburnya dan mengalihkan pikirannya dari kesedihan. Kalau Mas Wahyu yang membantunya bertahan, kenapa ia mau meninggalkan?
            "Aku pusing," keluh Olivia akhirnya setelah jeda cukup lama. Nana masih di depannya, menatap dengan ekspresi yang entah-apa-artinya. "Aku juga tidak tahu," sahut Nana sembari mengedikkan bahu. "Ternyata coklat ini tidak membantu. Aku tetap kepikiran. Aku baru belajar menerima keadaan di sini, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman. Aku mulai merasa diterima." Nana menutup kotak coklatnya dan memasukkan dalam tas. "Mungkin kandungan coklatnya lebih sedikit dibanding takaran susu dan gulanya. Rasanya terlalu manis kan? Mirip permen. Kamu perlu beli coklat hitam yang agak pahit. Itu bagus buat jantung."
"Kalau buat hati?"
"Hatimu kan bukan di sini."
"Maksud kamu?"
"Hatimu dicuri Mas Wahyu."
"Ah, Nanaaaaaaa!"
"Makin bingung?"
"Sepertinya."
"Sana, cari Mas Wahyu. Kalian bicarakan berdua. Dia berhak tahu kalau kamu berencana memutuskan dia."
"Aku tidak mau putus. Aku masih suka dia."
"LDR?"
"Apa?"
"Long distance relationship."
            Olivia menggendong ranselnya. Parkiran, parkiran. Ia menyurusi selasar dengan tidak sabar. Lautan anak-anak sekolah yang ingin pulang mengepunya. Mereka berdesakan, saling beradu cepat menuju parkiran. Gerbang parkiran yang terletak di samping belakang sekolah itu berada di lorong sempit dekat kantin dan toilet. Jelas, jumlah manusia yang begini banyak tidak sebanding dengan lebarnya ruang gerak.
            "Mas!" Olivia memekik sambil melambaikan tangan. Mas Wahyu tidak mendengarnya. Ia terlihat bercakap dengan beberapa teman, sudah mengeluarkan sepeda. Olivia terdorong barisan orang-orang yang memasuki parkiran. Sementara jaraknya dengan Mas Wahyu semakin jauh karena pacarnya itu mulai mendorong sepeda ke arah gerbang yang lain, gerbang parkiran yang juga merangkap gerbang sekolah.
            Dorong sana, dorong sini. Olivia harus secepatnya mencegah Mas Wahyu pulang. Gerbang parkiran yang di belakang maupun gerbang parkiran depan sama-sama sulit dijangkau. Ia terjebak di antara deretan sepeda, motor, dan pemiliknya. Handphone mana handphone?! Olivia merogoh saku. One missed call. "Mas, kenapa tidak diangkat sih?" ujar Olivia pada dirinya sendiri. Beberapa orang meliriknya heran karena ia bicara sendiri sambil melihat layar handphone.
            Ia tak ingat berapa lama terdorong ke sana ke mari selama di parkiran. Mungkin setengah jam. Ketika mencapai gerbang, dilihatnya Mas Wahyu telah pulang. Sosoknya tidak ada. Ia tahu, Mas Wahyu tidak sempat menunggunya. Sekarang, anak kelas tiga tidak punya jadwal les lagi setelah pulang sekolah. Pihak sekolah membuat kelompok-kelompok belajar kecil untuk mengerjakan soal-soal latihan menghadapi UAN. Kegiatan belajar dibuat semenyenangkan mungkin dan menghindarkan anak-anak dari rasa bosan. Mereka juga tidak boleh patah semangat atau terbebani.
            Mas Wahyu sudah pergi.
            Kedua kaki Olivia terasa lemas. Ia duduk di trotoar. Malas untuk beranjak. Matanya menatap anak-anak yang meninggalkan sekolah. Ada yang dengan sepeda, motor, mobil, jalan kaki, menunggu angkutan umum, becak. Dari kejauhan, Olivia bisa melihat Nana juga pulang dengan teman-teman mereka.
            "Sendirian? Mana pacarmu?" Seseorang yang tidak Olivia harapkan muncul. Lelaki yang sudah dua kali memancing emosinya. Tanpa segan, ia duduk di samping Olivia. "Belajar kelompok. Dia kan kelas tiga," ujar Olivia sekenanya, tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ada yang sudah berhasil beradaptasi ya?"
"Kamu itu mata-mata?"
"Aku cuma mendengar apa kata orang dengan baik. Aku memperhatikan lingkungan dengan teliti."
"Terlalu merpehatikan, sepertinya."
"Pengamat yang baik."
"Apa yang kamu amati? Urusan orang? Sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan hidupmu?" cela Olivia dengan sadis. Lelaki itu tertawa. Hei, dia tertawa? Olivia baru kali ini mendengarnya. Ini percakapan ketiga mereka tapi ini percakapan pertama tanpa pertengkaran. Olivia mencoba menurunkan emosinya. Semua orang bisa berubah. Mungkin lelaki ini memberinya kesempatan untuk tidak marah.
            "Tidak mau pulang?"
            Olivia menjawab dengan bercanda, "Mau mengantar?" Lelaki itu bangkit. "Boleh. Tuh, ada angkutan. Ayo menyebrang." Ia menggenggam tangan Olivia dan menariknya ke seberang jalan. Olivia terkejut tapi tidak berkata apa pun. Ia menurut.
            Di dalam angkutan, Olivia tidak banyak bicara. Ia hanya mengiyakan atau sebaliknya, berkata tidak, pada lelaki itu. Namanya Bima. Dia kelas tiga. Tapi kelompok belajarnya tidak berkumpul hari ini. Dia pernah satu kelas dengan Mas Wahyu waktu kelas dua. Menurutnya, Mas Wahyu orang yang baik dan setia. "Pantas kamu langsung meleleh sama Wahyu. Dia memang banyak yang suka. Dia punya kharisma."
"Mantan pacarnya banyak ya?"
"Hahaha. Kalau tentang itu, kamu tanya sendiri. Yang jelas, selama sekolah di sini, cuma kamu yang aku lihat selalu menempel dengan Wahyu. Seakan kalian kembar siam. Cuma gara-gara kelompok belajar ini saja dan latihan soal yang makin banyak, pacarmu jadi tambah sibuk. Tapi sepertinya kamu juga setia ya."
            "Mas, itu gang rumahku. Aku turun di sini." Mas Bima mengangguk. "Tidak usah bayar. Aku yang bayar." Olivia mengucapkan terima kasih melalui tatapannya. "Hati-hati ya cantik. Kalau tidak ada Wahyu yang jaga, aku bisa jaga kamu." Giliran Olivia yang mendelik. Menjagaku? Kenapa Mas Bima… Ia turun dari angkutan dengan perasaan tak menentu. Sampai di rumah pun Olivia masih tak tenang. Semakin banyak pertanyaan bermain-main di kepalanya. 


Sebelumnya :

2 Komentar

  1. belum selesai ya? kirain ini endingnya... xixixi... malah + hot... ada 1 lagi yang naksir tuh

    BalasHapus
  2. belom.masih mikir ending yang "wow" hahahahaha

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama