Dcoff
"Leluhurmulah yang menjagamu Chang. Kau yang berhak sekaligus berkewajiban menjadi pemimpin kaummu. Sebelum kau lunasi hutang itu, kau tak bisa mati. Leluhurmu tak rela posisimu digantikan orang lain. Dan aku yakin, leluhurmu membisikimu untuk membawa terompet pusaka itu agar kau selalu teringat tanahmu." Chang termangu. Ia menatapku dengan takjub. "Benarkah?"
"Ya, pulanglah Chang. Mereka pasti menunggumu."
"Aku tak punya ketrampilan yang mereka harapkan ada dalam diri seroang pemimpin."
"Kau bisa belajar sembari mempraktekkannya."
"Benarkah?"
"Kau tak mempercayai aku?"
"Tidak, kau teman lamaku, kau mengenalku dengan baik, tapi kau tahu kualitasku."
Aku heran dengan Chang. Kenapa ia begitu merendahkan dirinya di hadapanku? Dulu ia kukenal sebagai seseorang yang tidak begitu peduli pada segalanya dan rendah diri bukan karakternya. Tak peduli walau kehidupannya tidak sepertiku atau harta kekayaannya tidak bisa dibandingkan dengan segala yang dimiliki ayahku. Namun, Chang yang saat ini berdiri di depanku terlihat rapuh dan mudah pecah. Dia bagai porselen kasar yang akan segera retak. Aku mengamit lengannya dan mengajaknya keluar dari ruangan. "Ayo turun. Kita sudah sampai di pelabuhan."
Chang terlihat membelalakkan mata melihat pelabuhan ini. Tidak sebesar milik Kerajaan Selatan tapi cukup memukau dengan puluhan kapal berbagai ukuran yang bersandar serta hiruk pikuk orang yang lewat. Mungkin karena sisi ini, sini kapalku berlabuh, diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Memang, di Hallendoirf, kami mengenal sistem kasta. Kalau aku pribadi memang tak suka. Namun aku penduduk pulau ini, mau tak mau aku mengikuti peraturannya. Kuajak Chang segera meninggalkan pelabuhan. Kurasa ia takkan nyaman melihat orang-orang menenteng banyak barang dan berpakaian bagus sementara penampilannya kusut.
"Ambil ini." Chang mengerjapkan matanya, ragu. "Yakin?" tanyanya. Kulemparkan pedang itu dan ia tangkap ragu-ragu. "Lawan aku," ujarku rendah. Kupicingkan mata. Kusiapkan kuda-kuda. Matanya--mata Chang--tiba-tiba berkilat buas. Namun dalam satu dua serangan pedanganya telah jatuh. "Kau tidak pernah berpedang, Chang?" Ia menatapku malu. Akan menjadi perjuangahn besar bagiku untuk mengubahnya menjadi petarung. Aku belum mengatakan padanya. Kudengar Kerajaan Selatan menyerang Kerajaan Timur. Suka tak suka, ia harus siap.
"Kau harus menyiapkanku demi menghadapi perang?" Pedangku jatuh berdenting keras menghantam lantai batu. Kupandangi ia dengan cermat. "Aku tahu, Dcoff, aku tahu keadaan tanahku. Kami diserang. Kaumku diserang sementara aku jauh di sini dan tengah belajar memegang pedang. Ironi bukan?" Aku mengalihkan pandanganku dan memilih duduk. Aku tak tahu harus berkata apa. Kuhela nafas berat. Kuejatuhkan helm dan kulepas rompi jala baja berat itu. "Ayo, latih aku! Aku tidak mau kembali ke tanahku sebelum kehadiranku berguna bagi mereka!"
"Menurutmu tidakkah waktunya akan terlambat? Kemahiran berpedang tidak dapat ditempuh dalam waktu singkat. Butuh waktu dan pengalaman panjang. Aku saja telah menggunakan pedang sejak usiaku tujuh tahun dan baru akhir-akhir ini berani mengakui bahwa kemampuanku bisa diandalkan. Selain itu, kau masih harus mencari dan menciptakan pedang yang cocok untuk dirimu. Kau juga perlu menemukan seorang yang ahli menempakan pedang yang sesuai denganmu. Terpikirkah olehmu, berapa lama yang kau butuhkan? Apa kau berharap kaummu akan menunggumu? Berapa lama lagi mereka menanggung dan menahan serangan pasukan Kerajaan Selatan?"
"Lalu kenapa kau tak katakana saja dari awal Kerajaan Timur diserang dan repot-repot mengajariku berpedang?" Kini aku diam lagi. Kelu. Chang tersenyum dan mengulurkan tangan. "Bangun, teman lamaku. Ajari aku agar sehebat kau. Aku tak peduli dengan waktu. aku tak berusaha mengalahkan waktu karena waktu akan tetap menjauhiku. Dia tidak menungguku. Dia bergulir semaunya. Jadi, tolong lupakan waktu. sekarang, mari fokus pada kemahiranku. Ajari aku teknik-teknik ringkas tapi banyak kubutuhkan nanti di medan laga. Suatu saat--bila bukan dalam waktu dekat--ini akan sangat berguna."
Kami berlatih sepanjang hari hingga matahari terbenam. Tanpa kami sadari, hingga kami begitu lelah dan lemas. Chang pasti kehilangan banyak kalori. Aku menawarinya berbagai makanan enak bikinan koki kesayangan ayahku. Ia belum bertemu ayah tapi nanti mereka akan bersua. Ia tidak tampak terganggu dengan fakta peperangan besar di depan mata. Kukira, ia terlalu capek dengan segala masalah dalam hidupnya hingga kehilangan cara mengekspresikan kedukaan.
Chang menikmati makan malamnya dengan lahap. Sementara aku menggigit ayam dan rotiku perlahan. Menikmati tipa remahnya, bubuk bumbunya, dan kental sausnya. Lezat. Jika ini terus yang dimakan Chang, tubuhnya akan kembali bugar dan tak sekurus sekarang. lalu aku mengajaknya keluar. "Ayo," paksaku meski dari bahasa tubuhnya aku tahu ia ingin tidur. Karena aku tuan rumahnya, ia menurut dan menyeret kakinya di sampingku. Sepanjang jalan, ia menghindari pembicaraan apapun walau sekedar topik ringan mengenai cuaca. Jadi, rasa penaranku belum tuntas. Aku berharap mendengarnya langsung berkisah kenapa ia mencariku dan alasan kuatnya meninggalkan tanah timur. Namun aku mengacuhkan ketertarikanku memaksanya buka mulut.
"Astaga!" keluh Chang keras. Ia melihatku dengan mata tak percaya ketika aku melepas baju dan bersiap terjun ke laut. "Apa? Kau tak suka berenang di malam hari? Kau kan sudah terapung di laut akibat badai itu, tentu bukan masalah bagimu berenang di pantai yang tenang begini."
"Aku tidak bisa berenang."
"Jem dan Ancehe jago renang!"
"Tapi aku menolak untuk belajar berenang."
"Ayolah! Kau ini laki-laki. Mana ada laki-laki tak bisa berenang? Apalagi daerah kelahiranmu banyak sungainya. Tak malu ya?"
Kata-kataku barusan menyengat Chang. Ia segera melompat setelah cepat-cepat membuka baju. Byur! Air muncrat membasahi wajahku. Kami memang berada di pantai tapi kami melompat dari tebing di dekat pantai. Tidak terlalu tinggi dan aman sebab bebas bebatuan atau karang tajam di bawahnya. Kusibak air. Percikannya mengenai wajah. Sebentar lagi, seluruh tubuku telah basah kuyup. Chang berpegang pada sisi terjal tebing, mencoba mulai bergerak. Ia ragu. Aku mengedikkan bahu, "Ikuti gerakanku!" Tanpa pertimbangan lagi, ia melepas pegangannya dan mulai mengikutiku. Arus laut mala mini tenang. Purnama benar-benar indah. Sudah kukira, Chang takkan lama mempelajarinya. Belum apa-apa ia sudah berani menjauh dariku dan bergerak sendiri. Ia bahkan mencoba menyelam makin dalam. Namun aku tak khawatir. Chang sudah besar, ia dapat memperkirakan sendiri kemampuannya. Kini, ia lebih percaya diri dan yakin.
Kalau saja ayahku bukan raja, kami takkan terusir dari tanah kami. Tak harus meninggalkan rumah kami. Tak perlu lari dari orang-orang di sekitar kami. Seperti buronan saja! Ayah dan ibuku memilih pulau besar tapi terpencil--dan menerapkan sistem kasta pula--sebagai tempat kami bermukim. Mereka membuatku kehilangan teman-teman masa kecilku. Mereka membuatku terasing dengan segala hal baru, berbeda, dan aneh di Hallendoirf. Aku dipersiapkan secara matang sebagai pejuang. Setiap hari sejak kanak-kanak aku dilatih menggunakan beragam senjata. Memang wajar, toh aku anak raja. Namun bukan berarti aku suka. Latihan benar-benar diforsi. Padahal kami tidak dalam kondisi siap siaga untuk menghadapi perang. Mereka juga melatihku melakukan penyamaran, belajar diplomasi dan politik, memiliki waktu khusus mendalami ekonomi dan filsafat, bahkan belajar berdagang. Sejak dua tahun lalu aku punya kapal sendiri sebagai keperluan berdagang antarpulau. Aku juga diberi tahu bahwa di rumah pribadi yang kumiliki ada jalan rahasia berupa terowongan bawah laut agar aku aman menyeberang ke pulau tetangga. Gila!
Mungkin ini tak seberapa. Tapi coba bayangkan. Ayah pernah memaksaku beberapa bulan hidup di hutan demi belajar bertahan hidup. Dia pernah mendorongku ke sungai yang mengalir deras dan menyuruhku menyelam mencari sekeping emas yang ia sengaja buang. Di situ, aku hampir mati tenggelam. Lucu. Kemudian, suatu saat, ibuku menyuruhku mengurus peternakan orang. Ternyata peternakan kuda liar. Aku diminta--atau dipaksa--menjinakkan kuda-kuda itu. Kata ayah dan ibu, aku harus bisa menjinakkan hewan. Apa gunanya latihan ini? Mereka mau menjadikanku pawang? Aku ini keturunan raja yang seharusnya diajari tata negara secara mendalam, bukan hal-hal tentang alam apalagi hewan!
"Raja harus tahu segalanya dan menguasai segalanya. Salah bila kau berpikir raja itu dilayani, dipatuhi, dan dijaga oleh orang-orang di sekitarnya. Nak, seorang raja harus bisa berperang, untuk memerangi musuh yang menyerang kerajaan, menyereng rakyatnya, dan menyerang dirinya. Namun ia lebih baik mengutamakan kerajaan dan rakyatnya. Bukan hanya memikirkan keselamatannya. Seorang raja pun tidak hanya ahrus dipatuhi tapi juga mematuhi. Bagaimana ia patuh terhadap keinginan dan kebutuhan rakyatnya. Bagaimana ia berkompromi dan menyediakan apa-apa yang dibutuhkan rakyatnya seperti kemerdekaan, kedamaian, kesehatan, kemakmuran, dan keamanan. Yang terakhir, raja adalah penjaga. Ia titik utama diplomasi. Caranya menempatkan kerajaannya di antara kerajaan-kerajaan lain dan caranya menjaga rakyatnya dari berebagai aspek. Apakah ia tahu bila ada rakyatnya yang mati karena kelaparan? Bukankah berarti ia lalai dan kurang mempedulikan rakyatnya? Lalu bagaimana bila ada bencana alam, wabah penyakit atau peperangan? Mampukah ia bertahan di tahtanya dan menangani agar rakyatnya dapat hidup bahagia? Kau diwajibkan memenuhi itu semua, anakku. Agar kau menjadi raja yang berhasil, jangan halangi ilmu memenuhi kepalamu. Serap apapun di sekitarmu. Perkaya pengalaman dan pengetahuanmu. Sehingga kelak kau dikenang rakyatmu sebagai raja yang berhasil. Bahkan walaupun kita di pengasingan dan aku melatihmu dengan sarana terbatas, aku yakin kau akan menjadi pemimpin yang hebat.
"Dcoff, aku sudah kedinginan, hampir sepanjang malam kita di sini. Aku akan pulang. Kau?" Aku tersadar dari lamunanku. "Ya, kita pulang. Besok kita akan berlatih lebih keras." Mendengar kata "lebih keras", Chang agak berjengit. Angin bertiup, membuat kami menggigil. "Apa kubilang, dari tadi saja kita pulang. Angin semakin kencang. Aku tidak heran jika salah satu dari kita sakit," gerutu Chang.
Rim
Aku meringis-ringis dan mengaduh-aduh. Darah tetap mengalir meski tidak lancar karena masih disumbat mata anak panah. Sarkaw menunggang kudanya dengan gesit. Kudanya berkelit asyik di antara pepohonan dan salju. "Masih jauhkan tempat persembunyian itu? Di mana yang lain?" tanyaku. "Siapa bilang kita akan menyusul orang-orang? Aku tak mungkin membiarkan para tentara itu menghancurkan pasukan kecil kita. Kita mengecoh mereka."
"Maksudmu, kita ini umpan?"
"Kau punya ide lebih baik?"
"Kalau kita bekerja sama dan kerja sama kita solid, kita pasti bisa melawan mereka!"
"Dengan perbandingan jumlah yang sangat tidak seimbang dan tak punya kemampuan?"
"Jangan pesimis!"
"Kadang, optimism berlebih yang tak disesuaikan dengan realita itu namanya melawan hokum alam, melawan takdir, sembrono! Dengar?"
"Aku yang memberi perintah, aku pemimpin di sini!"
Kuda itu meringkik kencang ketika Sarkaw mengehentikan tunggangannya tiba-tiba hingga menjatuhkanku dengan bunyi berdebum dan hentakan yang segera mengepulkan debu. Aku menyentuh bahu. Panahnya terdorong keluar akibat hempasan badanku dan kini membanjiri tanah. "Bodoh kau! Mau bunuh aku? Aku tak mau mati sial!" Sarkaw melompat dari kuda dan berdiri di depanku. Kedua kakinya dibuka agak lebar, matanya tajam ke mataku. Tangannya berlipat di dada. "Sikap sok berkuasa, sikap superioritasmu itu, membuatku muak. Kita akan selesaikan di sini. Dengar ya, tuan muda, pemimpin kaum timur. Kau tidak, bahkan jauh, di luar harapanku. Sejak pertama mendengarmu bicara, kau tidak memahami permasalahannya. Kau menganggap seakan semuanya gampang. Aku hanya butuh ketegasan dan keberanianmu. Amna ide cemerlangmu? Mana rencana hebatmu? Kalau kau memang pemimpin kami, kenapa kau tidak bisa memutuskan hal terbaik yang harus kami lakukan atas titahmu? Kau malah terjatuh dan tertinggal dengan tubuh terluka. Memalukan!"
"Lalu apa yang kau mau dariku? Bagaimana lagi yang perlu kulakukan? Titah macam apa lagi yang kau ingin kusuruh kau kerjakan?" Sakraw menendang bahuku. "Kau?!" ujarku marah. Aku berusaha bangkit tapi ia menahan kakinya di atas bahuku yang terluka. Kepalaku mulai berkunang-kunang. Darah yang keluar terlalu banyak. Luka ini berdenyar dengan sangat. Sakitnya tak tertahankan. Mataku gelap. Gelap.
Rou
"Mana Rim?" Tidak ada jawaban. Semua orang tidak melihat Rim. Aku panik. Tapi kepanikan ini tak boleh menguasai pikiran. "Cepat, blokir jalan ini!" perintahku. Orang-orang segera bergerak tangkas. Mereka menumpuk batu, kayu, karung, dan tanah hingga cukup tinggi untuk tidak dapat dilompati kuda. Di balik gundukan itu, orang-orang juga menggali parit yang dalam. "Cepat! Cepat!" teriakku lagi. Orang-orang bergerak kesetanan. Pemanah-pemanah ulung kutempatkan di atas pohon. Sementara penombak kusuruh mengoleskan sesuatu di mata tombak mereka. Dalam keadaan darurat, aku menyiapkan ramuan ini untuk dipakai bila terdesak sebab bahan utamanya sulit ditemukan. "Apa ini Rou? Racun macam apa yang kau ciptakan? Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Istr. "Ini racun hebat yang kubeli dari Kerajaan Barat. Campuran utamanya adalah bisa ular Mamba hitam. Oleskan tipis di mata tombakmu dengan daun, jangan biarkan bersentuhan langsung dengan kulitmu. Lihat saja reaksinya, kau akan takjub dengan kehebatan racun ini."
Sisanya yang tidak mendapat tugas segera lari. "Sampai kapan kita harus mundur?" tanya Dewon. "Pikirkan itu nanti, yang penting kita selamat."
"Tapi, sampai kapan? Lama-lama kita akan terdesak. Jumlah kita benar-benar kerdil dengan lautan tentara itu. Walaupun kita menggunaakn racun atau jebakan, nampaknya tentara yang datang tak henti mengalir. Setiap ada satu tentara mati, di belakanganya telah menunggu lima tentara lain sebagai pengganti! Bagaimana dengan istri dan anak-anak kita?" Aku mendengus kesal. Dalam hati aku merutuk, ya, lalu? Bukan hanya kau yang mengkhawatirkan keluargamu! Bahkan aku tak tahu di mana putraku!
Kami berlari dan terus berlari walau kaki kami capek dan hampir tak punya kekuatan lagi demi menopang tubuh. Langkah kami mulai lambat. Nafasku tersengal "Tentara tengik!" gerutuku. Kami menuju jalan melingkar yang turun, hendak menyeberangi sungai. Sampai di Knvan, sekitar tujuh puluh pemuda menunggu. "Mana yan lain?" tanya Leov. "Berpencar. Mereka yang kutinggal di belakang akan mencegat pasukan di beberapa jalur di perbatasan. Namun jangan berharap banyak. Jumlah mereka tak terkira banyaknya." Leov tertunduk lemas. "Jangan begitu," ujarku smebari menepuk bahunya. "Yakinlah kemenangan ada di pihak kita. Kau tak boleh menyerah, demi anak istrimu." Dewon memotong pembicaraanku, "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?"
"Kita akan melawan habis-habisan setelah pasukan kita berkumpul. Tidak ada yang boleh masuk ke wilayah tanah timur. Bila pertahanan ini gagal, sebaiknya kita segera lari. Kita harus menghalangi mereka agar mereka tidak mendekat ke Gunung Suci. Atau malah, lebih jauh lagi ke balik Gunung Suci."
Rim
Aku menyumpah-nyumpah. Setelah membalut lukaku dengan bajunya, Sarkaw meninggalkanku tergeletak di tanah. Ia bersama kudanya lari, entah kemana, ke arah berbeda dari yang tadi kami tuju. Sementara derap kaki kuda para tentara sialan itu makin dekat, seluruh tubuhku terasa remuk dan sulit digerakkan. Betapa aku sangat terhina dengan cara Sarkaw memperlakukanku. Ia betul-betul tak tahu caranya menghargai orang lain! Kemarahanku menggelegak sekarang. sambil mencoba bergerak, kutatap, kemana aku harus sembunyi? Aku tak mungkin lari karena bergerak beberapa langkah saja hampir tak mampu. Namun jejak darah--darahku--yang tertinggal di sini semakin mempertegas keberadaanku. Di mana sebaiknya aku sembunyi? Sarkaw terlalu tega melakukan semua ini padaku.