Chang
Bahkan aku sudah terlanjur merasa putus asa dan tak yakin akan kembalinya aku. Tak perlu aku pulang pada kaumku. Karena mereka tidak butuh. Mereka tidak perlu. Aku hanya membawa nista, kecewa, dan aib. Aku mencelakakan hati mereka dengan cara melarikan diri. Kuhindari tanggung jawabku sebagai tumpuan orang. Kuhancurkan harapan mereka. Kubunuh impian mereka. Perang ini takkan usai hanya dengan kepulanganku.
Aku termangu seorang diri di dalam kamar. Sudah hampir seminggu sejak aku ditemukan di laut oleh Dcoff. Dengan rajin ia melatihku menggunakan beragam senjata, mempelajari teknik dengan beragam tingkat kesulitan. Mulai dari menyerang hingga bertahan. Ia juga menjelaskan secara rinci gerakan-gerakan tertentu yang sekiranya rumit bagiku tapi penting di matanya untuk kukuasai. Ia menyisipkan pula pengalamannya dan pengalamn orang lain yang ketika terjebak dalam kondisi sulit dan hampir tak mungkin memenangkan pertempuran. Dcoff begitu sabar pula menyemangatiku walau wajahku menunjukkan keengganan dan ketiadaan harapan. Tanpa lelah ia mengkritisi perkembanganku dan memintaku berusaha lebih giat. Ini konyol. Aku menemukan sosok seorang mahaguru dalam dirinya dan justru memiliki kesempatan belajar habis-habisan saat kehadiranku sangat dibutuhkan kaumku. Betapa mengerikan fakta penuh ironi ini. Namun Dcoff tidak terganggu akan hal itu.
Sudah kukatakan berulang kali apa gunanya aku kembali. Kilahnya, "Kau membuktikan kau masih memiliki tanggung jawab dan bukan pengecut kecil yang sembunyi di ketiak ibunya." Dia tentu cukup bodoh untuk membuat ungkapan tentang ibuku, orang yang tak kumiliki sejak belia. Di mana ingatannya? Ia mungkin bahagia dengan orangtuanya, orang yang selalu mendukungnya dan menyugesti agar ia menjadi pribadi lebih baik. Sementara aku? Hampir tak ada yang benar-benar mengetahui kebutuhanku. Hingga aku bagai calon pemimpin kaum yang terbuang karena tanpa pembekalan atau persiapan memadai. Wajar bila aku kecewa. Tidak saja kepada Jem, juga diriku dan keadaan yang serba tak menguntungkan.
Tak ada kabar baru dari Benua Mata Angin membuatku semakin tak menentu dan tanpa gairah. Sudah dua malam tidurku dihantui mimpi buruk dan makan malam tak kusentuh. Kelimbunganku tak sampai disitu. Dcoff menyembunyikan sesuatu. Ia menyiapkan hal besar, hal yang tak mampu ia bagi pada siapapun. Sering, diam-diam ia pergi dalam waktu lama dan membiarkanku kesepian. Rumahnya hanya ia sendiri yang menghuni beserta beberapa orang kepercayaan yang sigap membantunya mengerjakan segala suatu yang diperlukan. Orang-orang kepercayaan Dcoff sibuk sendiri dengan tugas mereka dan mengacuhkanku. Seakan tak pernah ada aku di rumah itu. Sesekali kuintip pekerjaan mereka. Merawat kuda. Merawat senjata. Merawat kebun. Merawat kolam ikan. Memasak. Membersihkan rumah. Seandainya mereka bisa mengkaryakanku sebab aku tak menolak membantu. Namun tangan dan kakiku tetap berada di kamar tanpa mereasa dibutuhkan.
Rumah ini berlantai tiga. Di tengah-tengahnya ada halaman seluas setengah alun-alun Knvan. Di belakanganya terdapat kebun buah dan sayur. Di sampingnya terdapat beberapa kolam ikan. Ada banyak perkakas mengilap dan hiasan yang nikmat dipandang mata. Sebetulnya bagiku rumah ini sebuah mahakarya, bagai galeri seni di ibukota kerajaan. Nampak riuh oleh beragam karya. Entah apakah ini sekedar koleksi yang ia beli dengan harga tinggi atau ia ciptakan demi kepuasan pribadi. Pelayan-pelayannya rajin menjaga agar barang-barang itu mengilap. Meski aku heran di rumah yang begitu besar mengapa Dcoff tak mengajak keluarganya ikut serta untuk mendiami. Sayang sekali hanya ia nikmati sendiri kemegahannya. Tak ada di antara kaumku yang memiliki rumah begini.
Kamarku terdiri atas sebuah ranjang yang sangat besar lengkap dengan lemari kayu yang cantik dan halus ukirannya. Lalu ada cermin yang dapat memantulkan gambarku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sebuah jendela kaca memenuhi salah satu bagian dinding dengan pemandangan laut yang tenang. Terdapat pula perapian, seperangkat meja kursi, dan sebuah bilik ganti pakaian. Selain lapang, kamar ini juga membuatku nyaman dengan baskom berisi air bunga yang rajin diganti sehari dua kali dan lantai kayunya yang tanpa gores. Mungkin ini salah satu kamar terbaik di sini.
Aku menuruni tangga batu melingkar menuju halman di tengah. Sambil menunggu Dcoff, ada baiknya kunikmati sore bersama kue-kue. Tukang masak Dcoff adalah orang hebat yang tahu cara memanjakan perut dan melenakan lidah. Namun Dcoff tak juga pulang. lama sekali? Sebentar lagi jam makan malam kemudian waktunya bagi kami berlatih. Lalu terdengar langkah kaki. Aku bersiap, berdiri di samping kursi, siap menyambut kawan lama. Di luar dugaan, seseorang yang nampak tak asing dan telah lama kukenal muncul. Ingin kusapa dan kukatakan sekedar basa-basi tapi lidahku terkunci. Siapa ya? Aku lupa.
Ia menyadari kehadiranku dan sikapku yang janggal. Senyumnya mengembang. Jambang tebal, berikut jenggot yang menggumpal dan pipi yang lebar ikut bergerak. "Selamat datang di rumah putraku, Chang." Aku tersenyum kecut. Siapa dia? Ah, pasti ayah Dcoff. Ayahnya itu kan….. Usaha kerasku mengingat kurang membuahkan hasil. Aku mengeryitkan dahi dan tersenyum lagi dengan ekspresi aneh. Dia tertawa keras dan menepuk-nepuk bahuku kencang. "Tak apa, tak apa. Duduklah. Jangan paksa otakmu bekerja terlalu keras. Tak perlu mengingatku. Mungkin wajahku kurang familiar. Atau aku telah banyak berubah beberapa tahun ini." Ganti ia yang memasang senyum aneh. Bibirnya melengkung tebal.
"Nah, nak, bagaimana kabarmu? Bisa kau ceritakan padaku hingga kau terdampar di rumah putraku?" Sikapnya yang kebapakan membuatku percaya. Tanpa banyak ia korek, aku bercerita panjang lebar. Ia mengangguk di saat yang tepat dan bergumam di saat yang perlu. Ia tahu caranya menjadi seorang ayah. Tiba-tiba aku merindukan ayahku. Aku memandanginya tepat di dua bola matanya yang gelap dan teduh. Ia menatapku dengan sayang. Ayah. Apa rasanya berbincang dengan ayahmu ketika kau sedang kehilangan arah dan tujuan?
"Raja, Tua Muda Dcoff telah kembali," ujar seorang kepala pelayan sembari membungkukkan tubuh. Aku ternganga. Bodoh! Ayah Dcoff adalah raja kami, raja Kerajaan Timur, Raja Gendriz! Cepat-cepat aku bangkit dan membungkuk kepada sembari menyembunyikan kealpaanku. "Baginda raja, hamba mohon maaf, hamba sudah lama tidak berjumpa sehingga lupa dengan wajah baginda. Ampuni hamba." Namun Raja Gendriz tak memusingkannya. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke pintu depan. "Ayah, kapan pulang? Kenapa tidak mengabariku dulu? Ah, ayah sudah bertemu Chang. Lihat dia! Berbeda sekali bukan dengan Chang yang dulu bermain lumpur denganku?"
Dcoff tampak cerah. Wajahnya berseri-seri. Mengamit lengan ayahnya dan aku, ia berceloteh tentang banyak hal yang ia kerjakan sepanjang hari. Lama-lama aku sadar. Arah pembicaraan mereka bukan sesuatu yang kukira akan kudengar! "Ya ayah, seluruh armada kapal telah siap. Kami juga punya banyak simpanan bola peluru untuk meriam. Perbekalan untuk berlayar selama sembilan hari pun siap. Pasukan telah berjuang menghadapi hari dimana kita akan merebut hak kita!"
Mataku membeliak, baru kusadar ada keganjilan. "Kenapa baginda raja ada di sini? Bukankah kerajaan tengah diserang? Hak apa yang ingin kalian rebut? Ada apa sebenarnya? Apa yang ditutupi dariku?" Butuh waktu lama sebelum Dcoff angkat bicara. "Kau tidak tahu, Chang? Sejak ayah dan ibumu berpulang, sejak itu pula ayahku diusir dari kerajaan. Perdana Menteri Liem yang licik memerangkap ayahku. Ia membuat kami menjadi terbuang hingga harus sembunyi di sini. Sungguh hina perlakuannya!" Aku menatap Dcoff. "Kenapa kami, rakyatnya, rakyat Kerajaan Timur, tidak tahu apa-apa? Jadi selama ini Perdana Menteri Liem yang mengisi tampuk kekuasaan? Bagaimana mungkin hal ini dirahasiakan hingga aku telah berusia enam belas tahun?"
"Tenanglah, Chang. Bukankah dengan menutupi fakta ini keadaan menjadi lebih baik? Tidak ada keributan dan kerajaan aman tentram. Namun sekarang kuminta kesetiaanmu padaku. Kau adalah cucu Jem, sahabatku. Orangtuamu adalah prajuritku yang tangguh. Giliranmu menunjukkan perjuangan terbaikmu. Dcoff telah menjadi seorang tutor sekaligus kawan belajar. Saatnya kau mempraktekkan apa-apa yang telah Dcoff beri padamu. Jadilah pasukanku dan mari kita menghunus pedang bagi pengkhianat si tua Liem. Lalu kita akan menyelamatkan tanahmu, tanah timur." Kesejukan mengalir ketika Raja Gendriz bicara. Aku takluk. Kutundukkan kepala tanda hormat. "Aku akan setia pada perintah tuanku."
Elepta
Rombongan kami makan sanmpai kenyang. Hasil buruan Blodr cukup untuk memperbaiki gizi. Selama tiga hari dan kami benar-benar menikmati tiap gigitan daging lembu Musk. Surge dunia! Kini kami bersiap melanjutkan perjalanan. Gunung Elyadoujelo di depan mata. Tak kusangka akhirnya kami sampai juga. Istri Istrdan bayinya masih lemah. Bayi mungil itu terpaksa menahan dingin dan lelah seperti anggota rombongan lain. Namun aku tak membiarkan istri Istr merasa patah semangat. Terus kuulang-ulang beragam hal indah yang akan kami raih setelah pertempuran ini. "Kita akan kembali ke desa. Kita akan hidup bahagia. Putramu tumbuh menjadi seorang pemuda gagah perkasa dan tampan. Ia berbakti pada orangtunya. Nantinya ia mendapatkan seorang istri yang cantik dan pintar mengelola rumah tangga. Menantumu itu pintar memasakkan makanan enak agar di hari tuamu kau tak perlu repot-repot ke dapur. Kerajaan Selatan pasti menyesal menyerang kita. Mereka tidak tahu bahwa kita pantang menyerah dan tidak lelah mempertahankan apa yang menjadi hak kita."
Istri Istr mengangguk-angguk kepalanya setiap kali kukatakan hal itu. Wajahnya semakin segar, pipinya ranum dialiri darah. Pembuluh-pembuluh semarak di balik kulitnya. Dadanya yang penuh terisi susu menyembul dari balik pakaian berlapis-lapisnya. Bayi kecil itu pun tangguh. Jarang sekali ia mengeluarkan suara tangisan atau sekedar rengekan. Ia lelap dalam dekapan ibunya. Wajahnya menatap dunia dengan kepolosan dan kedamaian yang membuatku iri. Andai aku bisa merasakan ketenangan yang dirasakan bayi itu. Ingin kuhentikan debar jantungku setiap kali teringat keadaan kami. kemungkinan menang dan kalah dalam sebuah pertempuran sama saja. Tetap akan menyisakan batin baik jasmani maupun rohani. Takkan terhingga sakitnya dan pedihnya menjadi korban. Kami adalah korban kelakuan tetangga yang tiba-tiba gusar.
Salju berhenti turun semalam. Kini lapisan yang menutup jalan tak terlalu tebal. Setidaknya, ini lebih baik bagi para lansia. Meski aku tetap berusaha keras menolong langkah-langkah mereka. Anak-anak tidak terganggu dengan salju. Bagi mereka, salju adalah berkah. Waktunya bermain dan menikmati kebaikan alam. Sesederhana itu.
Sebentar lagi gelap. Kami tidak berniat menghentikan perjalanan. Tak jauh lagi, kaki Gunung Elyadoujelo menawarkan pengharapan dan kepastian. Namun tak lama, suasana hening setelah terdengar bunyi teriakan-teriakan. Kami saling bertatapan. Istri Istr sangat takut. Ia meremas tanganku dengan erat. Bayinya terbangun dan langsung menangis. Aku harus menguasai keadaan! Kutuntun istri Istr dan Freoh ke ceruk besar yang dapat melindungi kami dari intaian orang. Yang lain mengikuti. Kusuruh mereka diam dan tidak panik. "Aku akan memeriksa," janjiku. Beberapa wajah nampak pucat sebelum aku bergerak.
Dari posisiku saat ini, aku dapat melihat jelas di kejauhan, ke bawah sana. Itu punggung Gunung Suci. Bodoh! Tengik! Sial! Panji-panji Kerajaan Selatan berkibar congkak. Para lelaki kami kewalahan dengan serbuan para tentara. Darah menggenang di mana-mana. Aku tak dapat membedakan mana di antara mereka orangtuaku atau Rim atau bahkan Gillian. Pertempuran berlangsung seru. Pergumulan antara hidup dan mati. Sekejap aku menggelengkan kepala. Tidak! Mereka semakin dekat! Aku harus menyelamatkan kelompok pengungsi ini. Tak mungkin kubiarkan mereka mati sia-sia.
Kami tak bisa berjalan lebih jauh tanpa terlihat. Namun ceruk ini akan segera mereka capai. Bagaimana-cara-kami-selamat. Aku berpikir keras. Dahiku berkerut tajam dan keringatku menitik. Di cuaca sedingin ini aku merasa sangat panas. Tak ada jalan lain. Kami akan bertahan. "Blodr! Siapkan tombakmu! Kita akan segera diserang!" Blodr tergagap. Ia bangkit dan segera menyambar tombaknya. "Apa yang terjadi?" tanya Freoh panik. "Mereka akan kemari. Kita tidak punya waktu. Kita tidak bisa. Kita hanya dapat melawan dan menunjukkan pantang menyerah!"
Perempuan-perempuan di hadapanku menggigil. Terbayang kekauan mereka memegang senjata dalam usaha mempertahankan diri. Aku menghela nafas dalam-dalam. "Yakinlah, para dewa menggunakan tangannya untuk menolong kita! Kemenangan di depan mata! Jangan takut karena identitas kita sebagai perempuan! Kita tidak kalah dari laki-laki! Perjuangakn tanah kita, usir penjajah atau siapapun yang berniat buruk!"
Aku baru sadar ada yang tidak beres dengan rencana kami. selain ketiadaan senjata yang memadai, kami tidak mungkin membiarkan anak-anak dan lansia melihat pertempuran. Kakiku melemah. Aku terduduk lemas. Wajahku segera penuh air mata. Freoh merangkulku yang terisak-isak. Kubenamkan wajahku tanpa mampu mengangkatnya. Sementara teriakan peperangan makin dekat. Dadaku berdebar tak keruan. Hancur rasanya menunggu ajal di depan mata di tangan orang yang tak akmi tahu seberapa suci ia. Padahal kami tidak kenal pembunuhan. Kami cinta damai. Kenapa mereka tega menyerang kami?
Tersaruk-saruk, seseorang merangkak menuju ceruk tempat kami berada. Entah berapa lama aku termangu sembari menangis pada Freoh. Kami sama-sama ingin tahu siapa yang datang. Bersimbah darah dan menangis, Slom menghampiri. Salah satu matanya hilang. Kakinya tidak bisa dipakai berjalan. Aku dapat melihat bekas pukulan yang meninggalkan jejar biru samar di bawah kulit betis dan tulang keringnya. Tangannya lecet-lecet. Pakaiannya koyak di sana sini. Harapannya hampir pupus sebelum akhirnya melihat istrinya. "Sayangku!" pekiknya. Istrinya menyambut dengan pelukan dan tangisan tak kalah membuat miris. Istri mana yang rela melihat suaminya dalam keadaan hancur lebuhr jiwa raga. Slom pasti terguncang hebat. Tak pernah kudengar ia nampak selemah itu hingga menangis dan bergelayut lemah pada istrinya. Pandangannya nanar. "Kalian harus lari," ucapnya terbata. "Kemana? Kami terjebak! Mereka akan melihat kami berusaha menjauhi pertempuran!" ujarku sengit.
Tiba-tiba seseorang menyeret Slom dari pelukan istrinya. Istirnya menjerit. Kami semua terpana. Blodr bangkit dan mencengkeram tombaknya begitu kuat hingga tubuhnya gemetar. Urat-urat wajahnya menampakkan ketegangan. "Tidak! Tolong! Itu suamiku! Jangan tangkap! Tidak, dia tidak bersalah! Jangan pisahkan suamiku dari anak-anakku! Jangaaan! Bawa saja aku! Kumohon! Tidak, suamiku! Kalian tengik! Sial, mau apa kalian menjajah tanah airku! Kenapa kalian menganggu kami? Tengik!" Caci maki istri Slom tumpah ruah melihat para tentara. Kami berusaha keras mengendalikannya. Kami memeluk tubuhnya sembari menghujaninya dengan air mata. Banyak ibu menutup mata anaknya. Banyak lansia membeku, tak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri menahan langkah kaki istri Slom. Berpegang pada salah satu pergelangan kakinya hingga tubuhku terseret-seret di atas salju. Kami takut. Kami tak mau mendekati para tentara. Nyaliku ciut. Tak mampu kudongakkan kepala.
Penyiksaan dilakukan tanpa ampun. Meski tak kutolehka kepala, bisa kudengar jerit kepiluan dari Slom. Tak kuhiraukan suara ribut perlawanannya. Aku tak sampai hati. Sementara keadaan di sekeliling kami makin ribut. Akhirnya istri Slom jatuh bersimpuh sambil mengerang kehilangan. Walaupun aku tak melihat tpai aku dapat merasakan dari pandangan ngeri orang-orang. Terbayang bagaimana buruknya nyawa Slom dipaksa meninggalkan tubuhnya. Tentara-tentara itu belum menghiraukan kehadiran kami. Mereka masih membantai para lelaki kami. Aku hanya dapat meringkuk lemah dan tetap meneteskan air mata. Seburuk inikah?
Mataku mencari kepastian. Apa artinya hidup bila tak merdeka? Apa artinya hidup bila dihantui rasa takut diperangi?