Chang, Pejuang Tanah Timur-Bagian 2

Istana Korguz
            "Kukira perintahku sudah jelas, Nabima. Bukakan jalan untuk pasukanku ke Gunung suci. Itu harus selesai dalam satu bulan. Kenapa belum ada perkembangan bagus yang bisa kau laporkan padaku?"
            "Yang mulia, Kroguz bijaksana, medan jalan sungguh berat. Pekerjaku tidak sanggup. Selain dikelilingi jurang, jalan menuju ke Gunung Suci dijaga roh-roh yang minta tumbal atas kehadiran kami. Aku sudah kehilangan dua orang anak buahku. Banyak dari kami yang sakit. Kami juga belum bisa menemukan sesuat yang aman untuk dimakan di sana. Membawa perbekalan dalam jumlah banyak hanya menambah risiko menjadi sasaran binatang buas. Mohon kebijaksaan Yang Mulia." Korguz bangkit. Ia berjalan menuruni pelataran singasananya. Mata tajamnya menatap sinis. "Kau tahu kebijaksanaan rajamu. Ia tak suka menunggu atau mendengar alasan macam apapun. Apakah aku harus menghukummu agar anak buahmu bekerja lebih giat?" Korguz berdiri tepat di hadapan Nabima. Ia mengelus-elus cincin batu zamrudnya. Nabima menggigit bibir. Ia tidak berani menatap rajanya.
            "Xzat! Kemari!" panggil Korguz. "Ya, Yang Mulia?" Xzat membungkukkan tubuh dan tergopoh-gopoh memasuki aula raja. "Bawakan Nabima dua puluh tentaraku yang muda dan kuat. Suruh mereka mengawal anak buah Nabima membangun jalan menuju Gunung Suci. Kau pimpin pasukan itu. Bawa cincin kesayanganku, ini perintah khusus." Xzat mengangguk hormat dan melangkah mundur. Ia segera berlalu untuk menyiapkan pasukannya.
            "Tuanku?"
"Ya?"
"Terima kasih atas kebaikan hati Yang Mulia karena memerintah pengawalan untuk kami. Kami berjanji bekerja lebih giat lagi."
"Bukankah itu sudah seharusnya, Nabima? Kau telah bersumpah setia padaku sejak masih belia. Ingat, akulah yang mengangkat martabatmu dan membawamu ke kerajaanku. Aku tuanmu, majikanmu, berkuasa penuh terhadapmu. Lakukan tugasmu maka kau akan mendapat imbalan setimpal."
"Baik  Yang Mulia," Nabima mundur. Mengangguk hormat, ia berlalu meninggalkan aula rajanya. Korguz kembali duduk di singasananya dan menjetikkan jari. Dari balik tirai, keluar penasihatnya. Penasihat itu membisikkan sesuatu. "Ya, ya, aku benar. Siapkan pasukanku. Seribu orang. Gerakkan mereka menuju perbatasan.

Rou
            "Jemima! Mana makananku?"
"Tunggu sebentar, suamiku. Nasinya belum tanak benar. Sabarlah!"
"Aku sudah lapar! Aku capek membuat mentega dan mengasinkan daging-daging! Sebentar lagi musim dingin tiba. Kau tidak boleh lengah, siapkan sayur dan buah terbaik dari kebun kita. Rombongan pedagang  dari seberang luat akan dating."
"Bukankah mereka tidak pernah kemari sejak dua musim dingin yang lalu?"
"Ah, pesimis benar. Tenanglah, mereka akan dating. Kita akan tukarkan  sayur dan buah terbaik kita dengan kain-kain cantik dan perak yang indah-indah. Kau akan kubelikan hiasan rambut terbaik." Jemima sibuk menekuni sup kentalnya. Ia terus mengaduk. Tubuhnya dibalut pakaian yang agak tebal. Musim dingin segera tiba, hawa dingin telah menyerang desa. Penduduk tanah timur telah terbiasa mengolah sendiri hasil bumi mereka dan menjualnya tidak dalam bentuk mentah. Selain membuat mentega dan selai, mereka juga mengasinkan ikan dan daging. Sebagian lainnya diasap. Buah dan sayur disimpan di ruang bawah tanah.
            Rumah-rumah lain pun sedang bersiap menyambut musim dingin. Orang-orang bekerja dua kali lebih keras di kebun dan ladang. Gentong-gentong besar berisi brendi dan whiski memenuhi rumah minum di sudut barat daya tanah timur. Lapangan di tengah desa telah dikosongkan. Penduduk siap menyambut kedatangan rombongan pedagang dari seberang laut. Dari tanah yang jauh, yang mereka belum pernah datangi. Para pedagang menjual berbagai barang dari logam. Banyak perhiasan, alat dapur, dan alau pertukangan. Selain itu, tersedia pula kain-kain mahal, obat-obatan, batu-batuan, dan hasil bumi yang tidak dapat dijumpai di sini. Sekalipun penduduk tanah timur bisa saja mendapat peralatan logam dari belahan bumi lain di benua mata angin, jaraknya terlalu jauh. Rombongan pedagang menyelamatkan penduduk dengan menghampiri tanah timur. Entah apa alasannya dua musim dingin tanah timur tidak masuk dalam daftar kunjungan mereka. Alhasil, dua musim dingin sudah hasil bumi terbaik tanah timur dijual ke kota-kota besar di pesisir.
            Rou keluar. Menatap ladangnya, ia bersungut kesal. Ah, capek! Bekerja terus. Coba ia punya anak lelaki yang bisa dimintanya membantu membereskan semua ini. Sayang, istirnya beum juga memberinya seorang jagoan sejak pernikahan mereka belasan tahun lalu. Mereka sudah menyerah. Mereka tak lagi berpikir harapan memiliki seorang anak. Hanya Chang yang ia anggap seperti anak sendiri. Tentu, keponakan-keponakannya, anak dari adik-adiknya pun bisa ia anggap seperti anak sendiri. Rou rindu anak angkatnya, Rim. Sudah lima tahun Rim pergi meninggalkan tanah timur, merantau untuk mendapatkan pengalaman menakjubkan dunia luar. Namun tak pernah Rim berkirim kabar. Sesak dada Rou mengingatnya. Keponakan-keponakannya sudah mulai besar dan sibuk sendiri dengan kegiatan mereka. Hanya Chang. Sekarang, Chang sibuk di rumah Jem. Betapa membosankannya.
            "Rou!" teriak Chang kencang. Ia berlari sekencang-kencangnya dari bukit. "Jem pingsan! Apa yang harus kulakukan? Rou berlari menuju rumah Jem. Ah, apa lagi ini, batinnya. Si tua ini sudah lama tak ibadah, ia tak lagi berdoa mengucap mantra pada dewa-dewa untuk kemakmuran tanah timur. Sepertinya rombongan pedagang tak kan datang dan kemalangan untuk tahun depan bisa dipastikan. Pemimpin kami tak boleh berhenti berdoa. Sayangnya, Jem bahkan tak ingat lagi berdoa, keluh Rou dalam hati.

Chang
            Chang tak habis pikir. Benarkah tak ada pria lain dalam garis keturunan Jem? Kenapa harus dia? Kenapa dia harus menggantikan posisi Jem? Tak tahukan Jem bahwa Chang belum cukup ilmu menjadi seorang pemimpin dan pemuka agama bagi kaum tanah timur? Ia belum dipersiapkan dan belum ada yang mengajarinya tentang kewajiban-kewajibannya nanti. Setelah Rou mengurus Jem yang pingsan karena panas tubuhnya meninggi, Chang pulang ke gubuknya. Gubuk kecil yang ia bangun sejak usianya sepuluh tahun. Ia bangun di pinggir sungai kecil, mengarah pada jalan setapak tembus ke Gunung Sansai. Gunung itu cukup terlihat muram kini. Dulu, Chang menjadikan Gunung Sansai tujuannya berburu. Sejak Jem sakit, mana berani ia meninggalkan desa terlalu lama. Ia takut ketika kembali Jem dalam keadaan yang buruk dan ia akan merasa bersalah karena tidak menjaga Jem dengan baik.
            Chang membereskan pakaiannya lalu memasukkan dalam buntalan kecil. Ia mengisi tabung anak panahnya dan menyiapkan busurnya. Aku akan pergi, bisiknya. Ia mengelus dinding gubuk itu. Ia tak punya tujuan. Tapi ia ingin mengembara. Ia melangkahkan kaki, menuju Gunung Sansai.

Rou
            Setelah memanggil tabib, Rou tenang meninggalkan rumah Jem. Ia kembali ke rumahnya. Setelah makan siang yang terlambat, ia bermaksud kembali ke ladang. Jemima tidak terlihat di mana-mana. Mungkin ia tengah ke pasar kecil di tengah desa.
            "Rou, Chang satu-satunya kesempatanku. Jagalah dan didik ia seperti aku. Jadikan ia pemimpin dan pemuka agama yang tangguh. Kitab-kitab yang kutitipkan padamu, ajarkan dan berikanlah padanya."
"Jem, sesakit itukah kau? Apa kata orang-orang nanti jika mereka dipimpin bocah ingusan yang belum pernah sembahyang mengelilingi Gunung Suci?"
"Jangan pikirkan kata orang lain, Rou." Rou berpikir, seandainya putra angkatnya, Rim, ada di sini. Ia berharap Rim yang akan menjadi pemimpin. Asalkan Chang tidak ada dan Rim pulang, orang-orang akan menerima kehadiran Rim. Rim lama di bawah pengasuhanku dan didikadn Jem. Ia lebih berilmu ketimbang seorang Chang.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama