m.klikdokter.com |
Ibu,
kau tidak pernah bercerita padaku bahwa membesarkan seorang anak gadis itu
sulit. Kau selalu tersenyum ketika aku merengek agar kau mendengarkan
remah-remah harapanku atau serakan-serakan impianku. Dulu aku tak sebegitu
menyusahkanmu, kan, bu, tidak seperti anak gadisku! Kau tak pernah bilang bila
suatu saat nanti aku punya anak gadis, dia akan menolak dan membangkang
terhadap semua prinsip hidupku! Dia yang tak mau mendengarkanku dan lebih suka
kudiamkan. Ibu? Tidak dari dulu saja kau bilang, memiliki seorang anak itu
merupakan tantangan. Kau malah terus memuji bagaimana manisnya aku sejak bayi
sehingga tak pernah menyusahkan orang.
"Ibu!"
Aku
seperti membawa bebanku kemana-mana, beban kerinduanku pada seorang ibu. Beban
nyataku pada tumpuan financial yang goyah akibat suamiku yang pelit dan tidak
pandai mengelola keuangan rumah tangga, anak gadisku yang katanya tidak cocok
denganku yang konservatif, dan anak lelakiku yang hanya bisa menggangguku
dengan rengekannya. Karena ibuku tidak bersamaku! Ibuku terlampau cepat
meninggalkanku bahkan sebelum aku naik pelaminan. Ibu yang belum sempat
memberikan petuah atau pedoman padaku bagaimana cara menjadi seorang ibu
sekaligus seorang istri. Ibuku telah lalai mencampakanku pada kebimbangan dan
ketidakberuntungan. Aku berkeluarga tapi aku tidak merasakan kebanggaan
posisiku sebagai seorang istri apalagi seorang ibu!
Suamiku
yang kikir. Tak kuketahui sebelum pernikahan kami bagaimana akal-akalannya
setelah pernikahan nanti. Ia menyembunyikan slip gajinya dariku dan memberiku
uang yang hampir tak pernah cukup untuk makan kami serumah. Aku terpaksa mengemis
mendengking-dengking di kakinya demi biaya sekolah putra putri kami. Lalu dia
berlagak, berkacak pinggang, mengutarakan uangnya habis untuk biaya makan siang
dan transportasi. Katanya lagi menambahkan, ia butuh biaya tambahan untuk
membayar segala keperluannya selama dinas luar kota.
Bah!
Sialan, mungkin dia tidak belajar kalau di dalam uang gajinya tersangkut pula
hakku dan kedua anak kami agar menikmati. Sementara anak lelakiku acap kali
lebih menyulitkan dibanding bapaknya. Surat panggilan dari sekolah yang
mengabarkan tingkah pola anakku membuatku bergeming. Aku tak mau menampakkan
wajahku di sekolahnya apalagi mendatangi ruang gurunya! Aku malu! Ibu, dulu kau
tak pernah cerita betapa malunya kau ketika dipanggil kepala sekolah sebab aku bertengkar
dengan siswa sekolah tetangga. Kau tetap datang, menemui kepala sekolahku,
menyerahkanku padanya agar aku dapat belajar atas kesalahan-kesalahanku.
Bagaimana kau ini ibu? Mengapa aku tidak memiliki kekuatan hati dan kepercayaan
diri sepertimu?
Anak
perempuanku tak jarang semakin lama semakin membuatku sesak terhimpit bagai
ditindih rongsokan besi yang berkarat dan menggunung. Bohong kalau orang bilang
anak perempuan jauh lebih menyenangkan dan meringankan. Bohong kalau
membesarkan seorang anak perempuan jauh lebih gampang. Buktinya? Ia menolak
baju-baju yang kubelikan karena katanya, seleraku tidak cocok dengannya. Dia
harus tahu, aku tidak pernah menolak baju pemberian ibuku! Sudah sepantasnya ia
menghargai, mengucapkan terima kasih, mensyukuri, dan memakainya! Dia kira dia
sudah paling pintar apa? Dia kira dia mampu memenuhi seluruh kebutuhannya
sendiri? Sementara bila aku tidak memberinya uang, mana bisa ia membeli baju
yang katanya lebih bagus untuknya, baju-baju kurang bahan yang banyak
menampakkan permukaan kulitnya?
Ibuku
tidak permah menangis di depan anaknya seperti aku menangis di depan anak
perempuanku, mengeluh dan memohon agar ia tidak membuatku makin merasa sakit!
Aku sakit, ibu, aku sakit! Hatiku sakit bu! Kau dulu lupa mengatakan kalau anak
perempuan justru anak paling bengal karena jika dia tidak mirip denganmu, aku akan frustasi dan
menyalahkan dirimu juga dirinya! Kau belum mengatakannya padaku, bu!
Katakanlah! Lain kali, di kehidupan selanjutnya, bila kau kembali menjadi
ibuku, kuharap kau mau melonggarkan deritaku. Percayalah, dengan bantuanmu,
dengan kau beri aku banyak penjelasan masuk akal, aku akan jauh lebih tenang
dan mampu mengatur anak perempuanku. Sehingga aku dapat berhenti mencoba
mengiris urat nadiku atau membenturkan kepalaku ke tembok setiap ia pulang
menjelang pagi diantar teman-teman lelakinya yang menguarkan bau alkohol dan
merusak rumput di halamanku dengan sepatu-sepatu jelek mereka!
"Aku
betul-betul salut padamu. Natalia. Kamu punya keluarga yang sempurna. Kamu dan
keluargamu itu, adalah potret keluarga bahagia. Suamimu tampan dan setia. Aku
belum pernah melihat ketidakakuran kalian. Anak gadismu itu, cantik sekali lho!
Pasti banyak lelaki yang mengaguminya. Sebenarnya aku sudah lama berpikir,
bagaimana kalau kukenalkan putraku pada putrimu? Jangan khawatir, putraku
adalah anak lelaki baik-baik yang pandai di sekolah dan dewasa. Kamu tidak
perlu ragu membiarkan putrimu dekat dengan putraku. Aku yakin, putrimu akan
cocok sekali mendampingi putraku. Apalagi kita telah berkawan akrab belasan
tahun. Anak lelakimu itu juga gagah. Kudengar dia aktif mewakili sekolahnya
dalam berbagai perlombaan. Wah, tentu kamu bangga punya anak-anak sehebat
mereka. Apa sih yang kamu lakukan ketika kecil dulu? Kamu jago dalam mendidik
anak!" begitu salah satu temanku berucap. Intinya, dia menyelamatiku
sebagai ibu dari keluarga yang berbahagia.
Aku
tidak tahu apa itu definisi bahagia.
Aku bergeming, dengan rasa masygul
yang menyeruak ke tangah permukaan, muncul tiba-tiba dari sudut hatiku yang
dalam dan ringkih. Aku melenguh. Sesakit inikah sebuah ketakmengertian? Atau
aku tengah menipu diri karena aku mengerti tapi pura-pura tak mengerti, hanya
karena aku merasa tidak bahagia? Mana yang salah; kata bahagia, keluarga
bahagia, atau aku? Mengapa orang menjulukiku termasuk ke dalam potret keluarga
bahagia? Mereka pasti tidak tahu bahwa kemarin aku baru saja membayar jaminan
surat penangguhan penahanan karena anak lelakiku dituduh berusaha membunuh
orang.
Nampaknya
orang-orang hanya pandai menilai apa yang tampak dan membinasakan apa yang
tersembunyi. Mereka tak tahu kaitannya dengan kerajinanku menyalakan lilin
aroma terapi dan kegilaanku mempelajari meditasi. Semata karena aku tak mampu
menahan beban yang memberati tempat kedua alisku bertaut atau dada tempat
tangaku menangkup, menghela nafas berat. Mereka bodoh atau aku yang pandai
bersandiwara? Mereka yang tak pernah tahu lebih dalam atau aku yang menutupinya
dengan lembar-lembar kulit hingga tertutup semakin dalam?