Persahabatan
adalah salah satu hal yang paling gue syukuri dalam hidup. Dari persahabatan
gue mendapatkan kenyamanan dan rasa saling berbagi. Hubungan persahabatan juga
menciptakan suatu kepercayaan diri sekaligus moodbooster yang ampuh bagi gue.
Kadang kalo gue merasa sedih atau down, punya sahabat itu rasanya kayak punya
sandaran. Sahabat akan membantu gue, memulihkan luka-luka gue, dan menawarkan
penghiburan bagi gue. At least, gue mendapatkan cara mudah untuk tertawa dan
bahagia.
Membangun
sebuah persahabatan juga ga gampang. Karena dalam hubungan jenis apa pun pasti
ada hal-hal pribadi yang gue bagi. Tentu kadar yang gue bagi itu berbeda. Apa yang
gue bicarakan dengan orang tua ga sama dengan yang bicarakan dengan sahabat atau
sebut lah, pacar. Ada yang cuma bisa gue ceritakan pada keluarga. Ada pula yang
hanya bisa gue beri tau pada sahabat. Ini membuat gue berhati-hati. Gue semacam
punya pertahanan berlapis-lapis sebelum menunjukkan seutuhnya diri gue.
Bukan
berarti selama ini gue ga terbuka atau percaya sama orang. Bukan pula gue ga
menjadi diri sendiri atau memakai topeng. Tentu dan memang seharusnya ga segala
hal kita umbar pada semua orang. Karena ada akibat-akibat yang gue hindari,
maka gue tidak mau menjadi penimbul sebab itu terjadi.
Dan
jalan penyesuaian diri ini ga mudah. Jatuh bangun malah. Salah kalo ada yang
bilang yang sakit itu cuma jatuh cinta. Jatuh dulu, kesakitan dulu, baru
menemukan cinta. Dalam persahabatan dan keluarga juga ada jatuhnya dulu.
Ini
yang gue rasakan ketika menjalin pertemanan akrab dengan beberapa orang yang
latar belakangnya berbeda. Yah, mungkin mereka punya beberapa persamaan. Beberapa
teman gue ambisius, perfeksionis, dan kompetitif. Sebagian lagi justru sebaliknya,
sangat lentur sehingga kadang gue berpikir mereka lupa kosa kata “tujuan hidup”.
Kemudian mereka bertemu dalam satu waktu. Dan gue sebagai orang yang sama-sama
dekat dengan semua dari mereka seperti menjadi jembatan penghubung agar
terjalin kecocokan.
Teman
gue yang pekerja keras dan disiplin bisa jadi hilang ketertarikannya buat
ngobrol waktu bertemu teman gue yang lain, yang hidupnya dijalani dengan
sesantai-santainya dan sesuka-sukanya. Sayangnya gue orang yang sangat peka,
sampai bisa mencium isi hati orang di udara. Gue akan sangat sadar ketika
sebuah obrolan timpang. Semisal si A memberi pesan dalam komunikasi entah
verbal atau nonverbal pada si B. Sementara si B ga berniat memberi respon yang
bakal dianggap tepat oleh A. Atau malah si B ga punya kesempatan untuk
mengirimkan pesan karena kemampuan A dalam menangkap ga seimbang.
Biasanya
hal macam ini bikin gue berpikir berkali-kali. Antara ga nyaman, bingung, dan
memikirkan fleksibilitas macam apa yang harus gue perlihatkan. Ujung-ujungnya
mentok.
Akhirnya
kesimpulan gue tetap sama. Kita ga bisa cocok sama rata dengan semua orang. Kita
ga bisa menemukan kenyamanan di segala medan. Kita punya batasan dalam hal
pemakluman. Dan kita ga bisa memaksakan untuk memegang kendali agar semuanya
lancar terkendali.
Gue
sering menjadi penengah. Ini ironi karena ketika gue memiliki masalah dengan
sahabat, gue sendiri kurang bisa menangani. Tapi gue yakin ketika kita
menemukan orang yang benar-benar siap, mau, bisa, dan berniat menjadi sahabat
kita maka masalah yang akan dihadapi nantinya akan ditemukan jalan keluarnya. Kalau
pun ada sebuah hubungan yang harus diakhiri, seharusnya dengan baik-baik. Dan kalaupun
belum baik sekarang, semoga membaik di masa yang akan datang.
Ini
bukan cuma sekedar harapan. Ini keinginan.
Selamat menikmati jatuh bangun yang dikasih (tanpa kita minta) dari yang namanya kehidupan :')
BalasHapusdan kehidupan datangnya dari Allah :)
Hapusmenemukan sahabat sejati itu susah.. ga byk yg bsa ngelewatin ups and down bareng2 kita..
BalasHapusiya betul syekaliiii
Hapus