http://www.kemudian.com/node/204155 |
Judul : Cell
Penulis : Stephen
King
Alih Bahasa : Esti
Ayu Budihabsari
Tebal : 568
halaman
Cetakan ke : Pertama,
Juli 2008
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Bahkan zombie suka musik. Mereka meletakkan bombox di
tepi lapangan, tidur di bawah sinar bulan, dan mulai mendengungkan nada lirih
dari mulutnya. Mereka dalam kondisi trance.
Bisa anda bayangkan, lautan zombie yang tidur di lapangan sekolah? Inilah
kira-kira yang akan anda temukan dalam salah satu novel karangan Stephen King,
The King of Horror yang telah menjual
karyanya jutaan kopi dalam 33 bahasa di seluruh dunia.
Jangan dulu membayangkan betapa lucunya zombie yang
membawa CD. Anehnya, saya justru merasakan aura keputusasaan yang dalam ketika
menikmati novel setebal 568 halaman ini. Tidak hanya karena tokoh-tokoh ciptaan
Stephen King yang terasa nyata juga karena permainan emosi yang cukup mulus dan
alami.
Alkisah Clayton Riddell, seniman yang baru mendapat
rezeki, akan pulang ke rumahnya di Kent Pond dengan membawa hadiah untuk anak
istrinya. Tak disangka, di Boston ia mengalami peristiwa demi peristiwa yang
mengancam nyawa dan di luar nalar manusia. Di depan matanya ia menyaksikan
orang-orang menjadi buas. Seorang pria menggigit telinga anjingnya dan seorang
gadis mengoyak leher perempuan di depan mobil es krim. Semua akibat ponsel.
Satu hal yang sangat saya puji dari Stephen King adalah
caranya menciptakan ketegangan. Ia tidak membuat tokoh utama mendapatkan banyak
kemudahan. Sebaliknya, ia menjadikan Clayton Riddell bagai tak punya harapan
dan kesempatan. Hari demi hari yang dilalui Clayton Riddell sulit ditebak dan
penuh ketidapastian. Meski pun ia berhasil bertemu manusia-manusia normal yang
menjadi teman seperjalanannya dalam menyelamatkan diri, selalu saja ada
kenyataan menakutkan baru yang tak kalah mencekam dari sebelumnya.
Hal kedua yang menjadi kelihaian Stephen King adalah
jalan cerita yang sulit ditebak. Saya terkejut bagaimana Kepala Sekolah yang
awalnya merencanakan bunuh diri malah dibunuh oleh zombie. Lalu Alice, gadis
muda yang pemberani dan pantang menyerah, mengalami akhir tragis dengan kematian
yang berlangsung lambat. Kematian Alice tidak berkaitan dengan kekuatan para
zombie atau pertarungannya dengan zombie.
Tidak ada pahlawan di sini. Kira-kira begitulah mungkin
yang ingin dikatakan Stephen King melalui Cell.
Jika kebanyakan kisah lain menggambarkan tokoh utama sebagai pahlawan atau
tokoh lain yang menjadi pahlawan bagi tokoh utama, maka semua tokoh dalam Cell dipaksa menjadi penolong bagi
dirinya sendiri. Benar-benar perjuangan tiada henti. Ketika Clayton Riddell,
Tom McCourt, Alice, Jordan, dan Kepala sekolah membumihanguskan selapangan
penuh zombie yang trance, mereka
malah dipojokkan oleh kaum zombie ponsel maupun kaum manusia normal. Mereka
dianggap melakukan kesalahan walaupun mereka hanya berusaha melawan dan
mempertahankan diri.
Namun ada hal-hal yang sulit saya pahami dalam novel ini.
Tentu selain merek es krim, toko, akademi, pompa bensin, musik, penyanyi,
maupun lelucon yang khas Amerika karena novel ini mengambil setting lokasi yang
sebenarnya. Secara keseluruhan, asal anda menikmati ceritanya, anda dapat
menghabiskan Cell hinga halama
terakhir.
Umat manusia yang menggantungkan hidupnya atas garis
sinyal dan nada dering menuai petaka. Saat kebutuhan berkomunikasi diselesaikan
melalui benda seukuran genggaman tangan, nyawa menajdi taruhan. Sisi primitif
manusia yang terkubur mendadak bangkit. Manusia tak ubahnya hewan, makan tanpa
cuci tangan. Segelintir orang yang masih hidup mencoba menjaga kewarasan mereka
sebelum akhirnya para zombie ponsel memaksa mereka ikut berubah menjadi
pemangsa sesama. Kisah berakhir hanya karena halaman berakhir. Namun, itu
menjadi petualangan baru bagi si tokoh utama, Clayton Riddell ketika ia
mendekatkan ponsel ke telinga anak lelakinya. "Hei, Johnny-Gee. Fo-fo-you-you." Siapa yang tahu?