http://www.shutterstock.com/pic-92832922 |
Aku
menunggumu, di depan pintu.
Jam tua besar di tengah ruangan
berdentang dua belas kali. Ramona belum pulang. Sial sekali. Aku sangat
mengantuk. Tapi ini sudah menjadi tradisi. Sesuatu yang selalu kulakoni.
Menunggu Ramona pulang, lalu berbaring di sampingnya. Bergelung dalam selimut
yang sama dengan yang menghangatkan tubuhnya.
Ramona, gadis tercantik yang pernah
kutemui, gadis yang telah kutemani selama sewindu.
Setiap pagi, aku menemani Ramona.
Menghabiskan secangkir kopi. Menikmati sepotong roti. Melihatnya sehabis mandi,
mengeringkan mahkotanya yang segelap malam dan kulitnya yang secantik rembulan.
Setiap kali Ramona memalingkan kepalanya padaku, aku siap menyambut dengan
senyum terbaikku. Kemudian Ramona mulai tersenyum lebar dan mendekatiku. Aku
bisa merasakan aroma tubuhnya yang segar seperti dikelilingi rumpun mawar.
Momen paling kutunggu setiap hari adalah
menunggu Ramona pulang. Setelah bekerja seharian, akan ada banyak sekali cerita
yang ingin segera ia tumpahkan. Aku bisa mendengarkannya hingga larut. Rasanya
kantuk yang kutahan-tahan menjadi surut. Melihat keceriaannya, kekesalannya,
kesedihannya, apa lagi yang bisa kulakukan selain menikmatinya? Tak ada berkah
lebih indah dalam hidupku selain mendapingi Ramona.
Kemudian segalanya berubah.
Ramona mulai sering pulang terlambat.
Tak jarang ia mengacuhkanku. Ia membiarkanku terdiam sendu di sudut kamar. Ia
mengabaikanku yang terus menatapnya dengan penuh tanya.
Ramona telah berhenti berbagi cerita
denganku sejak tujuh hari yang lalu.
Ia mulai asyik bertelepon dengan
entah-siapa-orang-itu. Orang yang merusak kebahagiaanku. Ramona mulai tertawa,
tertawa, dan tertawa. Sementara aku cermberut, cermberut, dan cemberut. Entah. Ada
yang salah. Mungkinkah Ramona berpaling?
Beberapa hari ini kulihat Ramona diantar
pulang seorang lelaki. Entah bualan macam apa yang ia makan. Lelaki itu bagai
matahari dalam galaksi bima saktinya. Ramona menjadikan lelaki itu pusat dari
poros kehidupannya. Setiap aku berusaha mengatakan sesuatu pada Ramona, dering
telpon dari lelaki itu menganggunya.
Aku ingin menggigit leher lelaki itu
biar dia tahu rasa!
Pukul dua belas malam dan kulihat
pemandangan maha mengejutkan. Ternyata kepulang Ramona bersama lelaki itu! Aku yang
kecewa, sembunyi di bawah tangga. Tak peduli apakah Ramona merasa kehilangan
seseorang yang biasa menyambutnya di depan pintu. Apa peduliku?
“Mau minum apa?” tanya Ramona pada
lelaki itu.
Minum
saja air kencingku. Berikan padanya, Ramona!
“Air putih saja.”
“Oh, ya. Aku ingin memperlihatkan
sesuatu padamu.”
Ramona mencari-cariku. Dia selalu tahu
dimana keberadaannku. Ramona membungkukkan tubuhnya lalu membuka kedua
tangannya, menyambutku. Memanggil namaku.
“Rocky?”
Aku menyahut.
“Guk!”