“Gus,
sudah ketangkap malingnya?”
Ramu
yang baru saja datang langsung duduk di bangku panjang di sampingku. Seperti biasa,
bila banyak hal yang sedang menumpuki pikiran, ia akan mulai menyulut rokok
kretek dan mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Dengan pandangan menerawang
ke langit-langit, ia nampak berpikir keras.
“Heran
aku! Tiap malam ada ronda keliling kampung, masih saja kecolongan. Hebat betul
malingnya! Bukan main, sudah 3 ekor sapi dan 2 motor bebek dia bawa lari. Gus,
bagaimana ini? Bisa melarat nanti Pak Haji.”
Pak Haji yang dimaksud Ramu adalah
pamannya, si pemilik 3 ekor sapi yang dicuri tempo hari. Pak Haji bukan orang
yang kaya raya. Hidupnya sederhana. Tapi bukan karena Pak Haji adalah pamannya
lantas Ramu peduli akan harta sang paman. Lebih karena pamannya itu acap kali
menjadi tumpuan harapannya ketika menghadapi hari-hari paceklik.
Masalahnya,
hampir setiap hari bagi Ramu adalah paceklik.
Lelaki
tamatan sekolah dasar ini pengangguran. Kerjanya hanya merokok dan minum kopi
di warung. Berhutang pula. Kadang bila kasihan pada pemilik warung, aku yang
membayari hutang-hutang Ramu.
Sambil mengepulkan asap, ia kembali
mengoceh. “Padahal kan hansipnya kamu, Gus. Mana ada maling yang berani
macam-macam di wilayah kekuasaanmu. Mukamu saja lebih sangar dari genderuwo. Hahahahaha!"
“Kamu
dapat uang dari mana, kok merokok?” tanyaku. Ramu terkekeh. “Dari Pak Haji.” Aku
menggeleng-geleng. “Kalau ibumu masih hidup, dia akan sedih melihatmu, Ramu.”
Ramu
menunduk. “Dan kalau ibumu yang masih hidup, dia akan bertanya mau sampai kapan
kamu mengasihaniku dengan membayari hutang-hutangku di warung.”
***
Sinar
bulan terlihat pucat, menerobos celah di antara dedaun pohon pete cina. Aku mengendap-endap,
berusaha menghindari timbulnya suara. Samar kudengar bunyi batuk seorang yang
renta. Kutarik sarung menutup wajahku, membentuk cadar. Dalam hitungan ketiga,
aku mulai bergerak menghampiri rumah itu.
Pemiliknya
sedang tidur lelap. Sepasang suami istri tidur tanpa menyadari kehadiran tamu
di rumahnya. Dengan leluasa aku berhasil mengambil laptop dan ponsel. Aku baru
akan memeriksa kamar sebelah ketika kenop pintunya bergerak. Tanpa berpikir panjang,
aku berlari melewati pintu belakang yang tadi kugunakan untuk jalan masuk.
“Maling!
Maling!”
Sekilas
aku melihat seseorang yang beberapa tahun lebih muda dariku berteriak. Pasti dia
anak dari suami istri yang tadi tidur lelap. Keringat dingin mulai mengalir. Belum
pernah aku tertangkap.
Tidak
juga dengan malam ini.
Aku
berlari kesetanan, menerobos kebun, dan tetap memeluk erat laptop beserta
ponsel hasil curian. Seakan seisi kampung terbangun. Kudengar teriakan-teriakan
yang menandakan bahwa mereka mengejarku. Nafasku memburu. Sebagai pelari
tercepat di sekolahku dulu, aku tidak meragukan kemampuanku.
“Malingnya
ke sana!”
Sebuah
suara yang terdengar dekat, hanya beberapa meter jaraknya dariku, membuatku
seperti ditikam. Lariku memang cepat, tapi dengan penduduk kampung yang ada
dimana-mana membuatku tidak leluasa bergerak.
Beberapa
meter lagi aku sampai di rumah Ramu.
Waktu
ibunya Ramu masih hidup, aku sering tidur di rumahnya. Ia banyak mengeluhkan
Ramu yang menurutnya tak punya masa depan. Tak ada bekal pendidikan,
pengalaman, apalagi keinginan untuk mengubah nasib. Seakan ia percaya hidupnya
bisa membaik. Ramu sudah membuat ibunya menjadi bersedih dan membuatku berjanji
akan memberinya pelajaran. Walaupun aku cuma hansip di kampung, jelas aku
berpenghasilan karena aku bukan pengangguran.
Kubuka
jendela kamarnya yang tak pernah dikunci. Aku melompat masuk. Laptop dan ponsel
kusimpan di kolong ranjang. Kemudian aku kembali melompat keluar setelah
melepas sarung yang membuatku terlihat seperti ninja.
“Gus,
kamu ronda malam ini?”
Pak
Dudu, yang baru saja berhenti berlari mengejar maling, terengah-engah. Tadi dia
yang melihatku sekelebat di kebun dan meneriaku.
“Pak,
tadi sekilas saya lihat malingnya di sekitar sini,” kataku.
“Wah,
larinya cepat sekali.”
“Pak,
maaf, bukannya saya menuduh. Tapi, apa mungkin malingnya sudah kabur? Dimana-mana
orang mengejar maling. Bisa jadi dia ketakutan. Mungkin dia sedang sembunyi.”
“Ah,
sembunyi kemana?”
“Pak,
bagaimana kalau kita periksa rumah-rumah di sekitar sini? Bisa saja malingnya
sembunyi di rumah warga. Atau bisa jadi, malingnya warga sini.”
Mataku
memandangi rumah Ramu. Ia tidak sedang merokok malam ini. Ia mungkin bermimpi
buruk.