http://www.shutterstock.com/pic-116034259/ |
Ini
selalu menjadi rutinitas tiap pagi. Bangun tidur, membereskan kasur, lalu
beranjak menuju kalender di tembok kost-kostan yang telah menguning. Kucek tanggal
berapa sekarang dan adakah catatan untuk hari ini. Jangan heran dengan
kebiasaanku. Maklum, seorang pelupa sepertiku harus rajin-rajin mencatat
rencana yang akan kulakukan di kalender.
Ini
tanggal delapan. Bertepatan dengan hari ulang tahun adikku satu-satunya. Adik lelaki
kesayanganku. Ia tinggal jauh di desa, bersama nenek kami. Orang tua kami sudah
lama pergi. Tinggal aku yang ia miliki. Sehingga ia begitu menggantungkan
harapannya tinggi-tinggi padaku. Seperti misalnya beberapa waktu lalu.
“Kak,
kapan pulang?”
“Masih
lama, dek. Kakak belum libur. Harus UAS dulu.”
“Kapan
UASnya?”
“Tiga
minggu lagi dek. Kenapa?”
“Kakak
bisa kirim uang? Uangnya mau aku pake beli sepatu futsal. Aku mau ikut lomba
futsal. Tapi ngga punya sepatunya.”
“Uang
yang dua minggu lalu kakak kirim, habis?”
“Dipakai
buat biaya berobat nenek.”
“Kok
kamu ngga telpon kakak kalo nenek sakit lagi?”
“Kata
nenek, kakak lagi banyak tugas. Kasihan kalo diganggu.”
Uang
pensiun seorang janda veteran tidaklah seberapa. Apalagi keadaan nenek yang
sakit-sakitan membuat kebutuhan kami membludak. Sembari kuliah, aku bekerja
serabutan demi mengumpulkan sedikit uang. Beruntung aku berhasil mendapatkan
beasiswa sehingga beban keuanganku sedikit lebih ringan.
Adikku
memang suka olahraga. Walau nilai akademiknya biasa-biasa saja, aku tak peduli.
Hal itu tak membuatku malas mendukungnya. Aku tetap bangga dengan keahliannya
menggocek bola. Mungkin bagi orang-orang sepertiku yang datang dari keluarga
sederhana, cita-cita menjadi atlit tidaklah menjadi sesuatu yang cocok
dijadikan tujuan masa depan. Namun asal ia bahagia dengan yang dilakukannya,
sudah cukup beralasan bagiku untuk memperjuangkannya.
Sayangnya,
tiga minggu terakhir aku benar-benar tidak punya kemampuan mengumpulkan uang membeli
sepatu futsal untuk adikku. Beberapa kali aku menelponnya, menceritakan
kesulitanku saat ini, dan ketidakmampuanku memenuhi permintaannya. Dengan berbesar
hati adikku berkata ia akan ikut turnamen lain waktu. Aku beruntung memilikinya
sebagai adikku.
Tugas
kuliah yang begitu banyak menghadangku untuk mencari nafkah. Otakku menjadi
buntu. Kalau uangnya tidak terkumpul dari sekarang, libur akhir semester nanti
pun aku terancam tak bisa pulang. Padahal aku harus segera ke desa. Aku harus
membantu adikku merawat nenek.
Di tengah
kebimbangan, aku melihat sebuah poster di majalah dinding kampusku. Mataku berbinar-binar.
Akhirnya, sebuah jalan keluar! Poster lomba menulis cerpen dengan hadiah uang
tunai menggiurkan. Uangnya sangat cukup untuk membeli sepatu futsal sekaligus
ongkos pulang.
Sepulang
dari kampus, dengan semangat aku mulai merangkai kata-kata. Setelah mengirim soft copy-nya kepada dewan juri, aku
harap-harap cemas menunggu pengumuman lomba. Optimismeku tumbuh. Aku yakin, ini
jalan dari Tuhan. Ia memberiku bantuan karena tahu aku akan berusaha untuk
adikku. Senyum terus mengembang di wajahku menanti pengumuman lomba.
Dan
hari pengumuman tiba.
Buru-buru
aku melihat pengumuman pemenang di website. Namaku tertera! Aku menang! Rencanaku
berhasil! Dengan penuh syukur aku mengambil uang hadiah lomba dan segera
membeli sepatu futsal yang diidam-idamkan adikku. Kubayangkan kebahagiaan yang
muncul di matanya dan senyum lebar yang terbit di wajahnya.
Singkatnya,
aku sampai di desa. Sepatu futsal itu kubungkus rapi dengan kertas coklat. Kusembunyikan
di dalam koper berisi baju. Kupanggil adikku ke kamar dan kusuruh ia membuka
kopernya.
“Oh
ya, kak, aku mau cerita.”
“Cerita
apa?”
“Aku
dikasih penghargaan sama kepala sekolah sebagai murid berprestasi di bidang
nonakademik, lho!”
“Iya?
Wah, bagus dong?”
“Terus
aku bukan cuma dikasih piagam. Aku juga dikasih sepatu futsal!”
“Sepatu
futsal?”
“Iya,
sepatu futsal. Sekarang aku punya sepatu futsal sendiri, kak. Eh, kak, ini yang
dibungkus kertas coklat, apa ya?”
Aku
memandang keluar jendela. Hadiah sepatu futsal dariku sudah basi. Adikku sudah
punya sendiri. Aku bukan orang pertama yang memberi.
***
Selamat ulang tahun Lerick J