rosesmerah.com |
Judul Buku : The Book With No Name
Penulis : Anonymous
Alih Bahasa :
M. Baihaqqi, S.T
Cetakan : Keempat, Februari 2012
Tebal : 493 halaman
Penerbit : Kantera
Carilah Kota
Santa Mondega di peta dunia. Maka anda tidak akan menemukannya. Inilah kota
satu-satunya di dunia yang dikuasai makhluk bukan manusia. Mereka berbaur di
antara kita, minum-minum di bar, dan melakukan pembunuhan. Kematian akibat
tembakan adalah pemandangan yang wajar.
Tapi,
benarkah ada kota semacam ini di dunia?
Ada dan
karenanya Detektif Jensen ditugaskan ke sana untuk memecahkan perkara aneh. Seperti
benarkah Kota Santa Mondega adalah kampung halaman bagi mayat hidup atau
legenda mengenai Mata Rembulan yang dapat mengekekalkan kegelapan.
Cerita tidak
hanya seputar perjuangan Detektif Jensen dalam menyibak misteri di balik daya
magis Mata Rembulan, sebuah kalung dengan bandul dari batu biru yang selama ini
berada di bawah kekuasaan kelompok biarawan Hubal. Bukan hanya sang detektif
yang berkepentingan terhadap rahasia dari Mata Rembulan. Akibat kalung batu
biru itu, separuh dari penduduk Kota Santa Mondega meregang nyawa lima tahun
yang lalu. Dan akibat daya tarik yang dihasilkan dari desas-desus daya magis si
batu biru, Sanchez kehilangan sang kakak dengan istri kakaknya.
Saya tidak
dapat menentukan siapa sebenarnya yang menjadi tokoh utama dalam buku ini
karena separuh dari tokoh-tokoh yang sering disebut namanya memiliki andil sama
besarnya dalam jalan cerita. Bahkan penulisnya-yang bahkan tanpa nama-memberi kesempatan pada masing-masing tokoh untuk unjuk
gigi. Ada Sanchez si pemilik bar yang menjadi saksi hidup kebrutalan yang
muncul akibat kehadiran si batu biru ke kota. Lalu Dante dan Kacy; sepasang
kekasih yang mencoba mencari keuntungan dari si batu biru, Detektif Archibald
Sommers yang menjadi rekan satu tim investigasi Detektif Jensen, Elvis The King yang membantu Sanchez dalam
mencari pembunuh kakaknya, Jefe yang berniat menjual si batu biru, El Santino
yang memiliki kepentingan khusus terhadap batu biru, Rex si jagoan pencabut
nyawa kiriman Tuhan, hingga sepasang biarawan Hubal yaitu Kyle dan Peto yang
berupaya mengembalikan Mata Rembulan ke tempat asal.
Banyaknya
tokoh dalam novel ini dan betapa hampir sama besarnya porsi yang diberikan
penulis pada tiap-tiap tokoh cukup membuat saya kesulitan, minimal sekedar
mengingat nama. Masih ada banyak nama tokoh lain yang tidak saya sebutkan yang
hilang timbul keberadaannya sepanjang kisah berjalan. Novel ini bukan sekedar
menceritakan si batu biru tapi juga semua orang baik langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan Mata Rembulan. Walau bisa dibilang tokoh protagonis dalam
novel ini adalah sepasang biarawan Hubal yang ditugaskan mencari Mata Rembulan,
tetap saja mereka bertingkah tak jauh beda dengan tokoh-tokoh lainnya.
Sepanjang
cerita, banyak adegan pembunuhan dikisahkan. Beberapa terkesan sengaja menimbulkan
kengerian yang menurut saya masih kurang nendang.
Interaksi antartokoh pun hampir seluruhnya tersurat sehingga terasa agak datar.
Beberapa hal terasa timpang di sini semisal, begitu banyak hal kriminal yang
terjadi sementara gedung kepolisian masih tegak berdiri. Kemana para polisi? Apa
yang dilakukan pemerintah kota terhadap kekacauan yang terjadi di wilayahnya? Kenapa
para berandal dan bajingan bebas berkeliaran?
Gambaran
mengenai kota yang hidup dengan gelas minuman, entah bir atau bourbon, terasa
kurang pas bila disandingkan dengan gambaran perpustakaan yang megah nan
lengkap. Di kota macam itu, yang penduduknya lebih mengenal judi dan
mabuk-mabukkan dibanding ingatan akan hari depan, sampai hati mendatangi
perpustakaan?
Pada halaman
tiga ratus sekian, saya baru sadar ini bukan novel yang menggambarkan kehidupan
para kriminal. Melainkan usaha untuk menjauhkan para vampir dari usaha
menguasai kota. Tapi entah mengapa penjelasan mengenai adanya vampir, werewolf,
hingga boneka orang-orangan sawah yang hidup di tengah malam terasa dipaksakan.
Sebab pada halaman-halaman awal novel ini, cerita fokus pada tokoh-tokoh yang
digambarkan sangat keji dan berlomba-lomba mengeruk uang dari kemunculan si Mata
Rembulan. Namun setelah halaman tiga ratus sekian, tokoh Rex yang muncul
belakangan justru nampak berusaha diangkat oleh penulisnya untuk menguasai
panggung dan memberi penjelasan masuk akal mengenai vampir dan werewolf.
Dari segi
ide, novel ini cukup menarik. Penulisnya tentu perlu usaha ekstra demi
menyatukan satu demi satu karakter dalam bukunya untuk menjadi satu kesatuan
kisah yang berjalan mulus. Selain itu, fakta bahwa masing-masing tokoh tidak
ada yang paling menguasai informasi juga cara yang cerdas untuk menggambarkan
betapa banyaknya misteri dalam misteri di buku ini.
The Book With No Name jelas sangat cocok
dengan anda yang menyukai kisah penuh petualangan dan misteri. Sebaiknya anda
tidak mudah terkecoh karena penulis beberapa kali mengakali keadaan dan
menghasilkan twist-twist menarik di beberapa bab. Bagi saya untuk skala satu
sampai lima, saya akan memberi angka tiga untuk novel ini. Jika anda tertarik,
anda bisa membeli buku ini atau meminjamnya melalui Book Travelling Campaign
dari Kampung Fiksi.