Saya telah
menikmati secangkir kopi dan sepotong roti ketika mulut saya dengan lancang
melepaskan topik PKL ke udara. Saya menahan diri beberapa hari sebelum saya
bosan untuk diam saja. Akhirnya saya bicara. Saya ingin membicarakan topik ini
dengan mama.
Berkebalikan
dengan mama yang realistis, saya acap kali dilabeli idealis. Saya menampiknya. Saya
merasa biasa aja. Saya tidak seidealis yang dikira orang. Yah, tapi kembali
pada yang namanya opini. Kita akan kurang obyektif bila menilai diri sendiri. Bukan
cuma mama yang menyebut saya idealis. Begitu pula orang-orang di sekitar saya.
Dan ini
salah satu alasan saya berusaha bungkam untuk membahas rencana PKL gelombang
pertama. Bukan karena saya belum punya cukup sertifikat yang katanya menjadi
salah satu persyaratan mengikuti PKL. Bukan pula saya masih bimbang menentukan
kemana akan melamar magang. Saya belum punya tujuan tapi saya tahu bidang apa
yang akan ditekuni. Coba tebak. Benar, lagi-lagi yang berhubungan dengan
menulis.
Saya tahu
betul fiksi dan nonfiksi itu tidak sama. Saya suka menulis cerpen dan resensi
tapi ingin menceburkan diri dalam bidang jurnalistik. Sering saya membayangkan
sebagai seorang jurnalis yang mencari berita dan bekerja di lapangan. Walau pun
nanti yang saya tulis bukan lagi fiksi tapi berita. Fakta. Data. Realita. Sesuatu
yang nyata, bukan hasil karangan isi kepala belaka. Bahkan kalau hasil dari
kuliah Teknik Penulisan Media Cetak di minggu pertama, seharusnya saya tidak
menganggap bahwa saya seorang penulis. Karena tulisan adalah karya tulis yang
berdasarkan fakta, data, dan informasi. Bahwa yang saya hasilkan selama ini
adalah karya fiksi yang merupakan hasil imajinasi, sehingga lebih cocok disebut
karangan. Jadi saya ini pengarang.
Tapi dari
yang saya ketahui dan saya alami, sejauh ini orang-orang yang suka mengarang
entah novel, cerpen, atau puisi mengatakan bahwa mereka penulis. Sebuah karangan,
seimajinatif apa pun isinya, tetap berpedoman pada hal-hal logis dan bisa pula
informatif. Semisal, beberapa cerpen yang saya hasilkan, sering merupakan hasil
dari pengamatan atas lingkungan. Cerpen-cerpen tersebut bisa jadi hasil curhat
dari seorang teman atau ingatan atas sebuah kejadian. Tentunya dengan sedikit
polesan di kanan kiri karena lagi-lagi, yang saya tulis itu kan fiksi.
Keakutan
pada apa yang saya sukai membuat saya berpikir untuk memilih dua bidang sebagai
tujuan PKL. Media dan penerbitan. Kenapa media? Saya ingin menjadi wartawan. Saya
ingin mencari berita. Saya mau bekerja lapangan. Saya ini tipe pembosan. Kalau terlalu
lama bekerja di belakang meja, rasanya bisa gila. Lima puluh menit kuliah saja
bisa mematikan semangat saya dalam sekejap. Sering saya diserang kantuk. Untuk menghibur
diri, saya banyak bercanda. Saya memang susah untuk diam dalam kelas. Akibat kebosanan
yang sedemikian rupa dan asyiknya bicara, saya berulang kali ditegur dosen mata
kuliah PPKN.
Lalu,
kenapa penerbitan? Padahal penerbitan tidak membuat saya turun ke lapangan. Meski
saya tida tahu pasti kalau melamar magang ke penerbitan, apa yang akan saya
kerjakan. Apakah saya benar-benar duduk dalam kubikel ukuran 2 x 1,5 meter atau
justru sebaliknya? Entahlah. Pegangan saya cuma satu, dunia penerbitan membuat
saya dekat dengan tulisan. Sejak kecil, saya ingin menjadi editor. Akan asyik
sekali saya bisa membaca naskah-naskah yang masuk. Hal ini sudah mulai saya
coba, semisal menjadi proof reader
gratisan bagi orang yang membutuhkan masukan dari saya atas karyanya.
Tuhan
memang adil, saya diberi mama yang realistis untuk mengimbangi otak saya yang
katanya idealis. Mama meminta saya untuk berpikir bagaimana kehidupan dunia
penerbitan sepuluh tahun ke depan. Ketika internet benar-benar tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan manusia. Ketika kertas digantikan oleh layar LCD. Buku
yang kita pegang bisa berubah menjadi tablet yang kita genggam. Membaca bukan
berarti membeli buku tapi mengakses e-book,
entah gratis atau mengunduh. Apa saya mau mengabdikan diri untuk jangka pendek?
Apa saya tidak memperhitungkan salary?
Kemudian saya bungkam. Ah, kenapa dia ada benarnya?
Mama bilang,
itu cuma zona nyaman saya. Sesuatu yang (mungkin) saya pahami dan saya kuasai. Padahal
jelas-jelas saya belum pernah punya pengalaman kerja di penerbitan. Tapi mama
yakin saya punya kemampuan. Akibat mata kuliah Komunikasi Bisnis di semester
sebelumnya, waktu saya memutuskan membuat perusahaan penerbitan indie fiktif. Di sini saya mengabungkan
antara pikiran seorang idealis dengan kebutuhan untuk menjadi realis. Saya mengambil
kelebihan-kelebihan dari penerbitan major dengan jasa penerbitan print on demand yang mengakomodasi
keinginan untuk self publishing. Mama
menganggap, dengan keberanian saya membawa sebuah ide baru yang sama sekali
asing ke dalam kelas dan mempresentasikan kepada dosen beserta mahasiswa yang
notabene awam soal dunia penulisan maupun penerbitan. Saya memaksa orang
memahami presentasi tersebut. Meski sampai detik ini asisten dosen mata kuliah
itu sering menyamakan dunia penerbitan dengan dunia percetakan. Oh terserahlah.
Saya cuma ingin memberi nuansa baru dalam kegiatan praktikum. Sedikit demi
sedikit orang menjadi tahu seperti apa isi dapur penerbitan. Walau saya tidak
menguasai keseluruhan.
Mama ingin
saya punya pegangan di luar media maupun penerbitan. Mama berharap saya tidak
hanya bergelut pada keinginan bekerja lapangan tapi juga memikirkan masa depan.
Akhirnya deal, mama sepakat memberi saya kesempatan melamar ke bidang
penerbitan. Tapi cuma satu penerbitan. Bisa dibilang penerbitan terbesar di
Indonesia. Kemudian mama ingin satu lamaran lainnya-dosen bilang saya bisa mengirimkan
maksimal dua lamaran-ke pemerintahan.
Pemikiran
tentang PKL ini cukup membuat pusing. Saya butuh pencerahan J
Jangan terlalu dibuat pusing, buat rencana, susun rencana, lakukan dan berdoa. Tuhan yg akan menjwb rencana2 dan usaha kita
BalasHapusya itu tadi mbak, rencananya adalah "pkl dimana?" :D
Hapusfollow ur passion :)
BalasHapuskudu bikin pilihan yg win win solution sama mama hahahhaha
Hapus