Setiap langkah
kehidupan yang kalian ambil pasti memiliki tingkat risikonya sendiri-sendiri. Mulai
dari yang sudah kalian perkirakan atau yang malah mengangetkan. Dari yang bisa
kalian hadapi sendiri atau membuat kalian ingin berteriak kenapa keadaannya
begini. Risiko itu suatu hal yang lumrah. Hidup tanpa risiko juga hambar,
bukan? Seakan kalian tak pernah ditantang.
Kalau diperhatikan,
gue jarang menulis dalam satu paragraf panjang. Mungkin itu sebagai salah satu
gambaran bahwa nafas gue pendek. Menurut dosen dan modul TPMC, paragraf itu
selain berguna untuk membantu pemahaman pembaca terhadap sebuah topik juga memberi
jeda sebelum lompat ke topik berikutnya. Dan itu dia. Gue butuh jeda untuk
mengimbangi kemampuan menarik nafas gue.
Tapi postingan
ini bukan tentang nafas gue. Seperti biasa, ini kesempatan yang gue temukan
untuk curhat. Tentang risiko. Bosen kali ya kalo bahasannya risiko? Bukan, gue
bukan mau menguliahi yang membaca blog gue. Bukan juga mau sok bijak. Ini lebih
sebagai salah satu cara gue untuk terapi diri sekaligus menumbuhkan semangat. Karena
gue sadar, ga segala hal bisa kita ceritakan pada orang lain. Ada saatnya orang
yang kita percaya berseberangan dengan kita. Ada pula saatnya orang-orang
terdekat menghakimi kita. Namanya juga manusia. Apalagi golongan darah O yang
ada di mana-mana dan membuat kesimpulan sesukanya.
Sebagai mahasiswi
tingkat dua di jenjang pendidikan diploma, gue dituntut mendapatkan tempat PKL.
Artinya gue harus mencari tempat PKL sendiri kalo mau ikut gelombang satu. Dan
artinya pula gue menghadapi waktu yang singkat untuk menemukan tempat tersebut.
Singkat cerita gue datang ke sebuah tempat dan bertemu humasnya. Dia orang yang
welcome dan penuh simpati. Karena pilihan
gue sedikit dan itu tempat pertama sekaligus paling terbuka dalam kunjungan
gue, maka di surat PKL kampus gue mencantumkan nama perusahaan tersebut.
Waktu pendaftaran
PKL terbatas sementara gue harus melalui dua tahap wawancara. Sedikit menjengkelkan
karena mengurus surat dari kampus agak molor dari waktu yang gue perkirakan. Ternyata
saking banyaknya peminat tahap PKL gelombang satu, bagian urusan surat-menyurat
itu nampaknya kewalahan. Mau ga mau gue mengikuti birokrasi sekaligus ketentuan
yang ada. Gue ga punya pilihan. Gue punya banyak cadangan tapi ga ada satu pun
yang menjamin bahwa gue akan diterima.
Justru ini
tantangan sekaligus risikonya. Gue seperti main judi. Ga ada yang pasti. Tapi dengan
nekat gue mau berusaha. Gue ga mau diem aja dan nyari pertolongan orang yang
dalam yang memang ga gue punya. Lagi pula orang tua gue bilang akan sangat membanggakan
kalo gue berhasil mendapatkan tempat PKL atas usaha pribadi.
Sekarang
ini rasanya gue seperti dikejar-kejar waktu. Padahal waktu ga bisa dipercepat
atau diperlambat. Gue ga punya pilihan selain menunggu. Sebetulnya setiap
detik, setiap tarikan nafas, dan setiap kedipan mata ini gue merasakan
kegentaran. Gentar karena gue ga tau kemungkinan seberapa besar gue diterima. Gentar
karena gue belum tau apa waktunya cukup seandainya harus melamar ke tempat
lain. Gentar karena nyatanya gue ga punya dukungan atau hal-hal yang menguatkan
selain kesadaran bahwa gue punya Tuhan. Dan yang gue sadari setiap bangun tidur
adalah kepasrahan.
Setelah gue
mengurus dan sedang menunggu surat dari kampus keluar, gue akhirnya mendengar
kabar yang sedikit menyesakkan bahwa di perusahaan yang gue tuju tidak menerima
karyawan berjilbab. Gue yakin punya kemampuan dan jilbab tidak akan jadi
halangan. Yang bikin gue bertanya-tanya, gue kan ketemu langsung humasnya, dia
juga lihat jilbab di kepala gue. Tapi sikap dia yang seperti membukakan pintu
kesempatan lebar-lebar membuat gue yakin. Di kala gue mulai mendengar omongan
orang, gue kayak didorong ke jurang.
Ga kalah
banyak pula yang mempertanyakan keputusan gue untuk menekuni dunia yang menurut
kebanyakan orang, sama-sekali-bukan-gue. Mereka mengira gue bakal PKL di dunia
perbukuan, penerbitan, penulisan, jurnalistik, pokoknya hal-hal yang sangat gue
banget. Sebagian malah terlihat kecewa. Padahal di sini mereka cuma orang luar
yang ga tau sebetulnya gue jauuuuuh lebih kecewa karena tidak menekuni dunia
yang gue banget itu. Nah ini nilai positifnya. Personal brand yang gue
ciptakan, nyatanya, sangat kuat. Sampe orang kalo liat gue bilang, “lu pasti
pkl di koran atau penerbitan ya?”
Di sisi
lain gue juga mendapat tekanan dalam hal pembuktian. Meski gue menolak
mentah-mentah konsep keharusan untuk membuktikan diri. Karena hal ini akan
membuat gue sulit merasa puas dan cenderung mengabaikan pentingnya sebuah
proses. Gue ga merasa harus menunjukkan pada orang bahwa ini pilihan gue, ini
risiko gue, ini takdir gue, atau ini pencapaian gue. Itu bukan gue. Persetan
apa kata orang. Orang yang sok tau itu ga tau betapa berat dan melelahkannya
jalan yang gue tempuh tanpa harus memikirkan ulang apa-kata-orang.
Gue menulis
postingan ini dengan dada berdebar karena nyeri bukan penyakit tapi nyeri
karena harus menunggu. Ternyata ini ga semenyakitkan nunggu teman atau sahabat
atau pacar atau keluarga atau dosen atau siapalah yang tukang ngaret. Gue juga
kurang menghargai orang yang ngaret, terus menerus, ada aja lagi alasannya. Betapa
merendahkannya orang yang ngaret itu kepada orang yang nunggu. Dia kira hidup
gue cuma buat nunggu. Sebagai bentuk penghargaan kepada orang yang punya janji
temu dengan gue, biasanya gue udah siap minimal satu jam sebelumnya.
Sempat dengan
bodohnya omongan orang itu gue masukkan dalam kepala melalui telinga. Kemudian hari
terakhir UTS gue kacau dengan lembar jawaban yang basah kena titik air dan
jawaban yang asal gue coret. Sampai-sampai gue memenuhi bagian bawah kertas
jawaban dengan pola gelombang air dan menahan nafas berulang kali. Gue ga
berani nebak berapa nilainya nanti, hahaha.
Itu pula
alasan gue malas menceritakan tujuan atau keinginan gue PKL. Itu pula salah satu
alasan gue sangaaat bersyukur mendaftar PKL dalam kelompok kecil, cuma bertiga.
Coba kalo berlima atau malah bersembilan. Bayangkan betapa hebohnya mengurus
surat dari kampus, menunggu orang-orang yang kurang tepat waktu, mengakomodasi
kepentingan mahkluk yang beda-beda. Makin kecil kesempatan diterima pula. Karena
makin banyak rombongan PKL, makin ketat persaingan untuk diterima. Bahkan dalam
jumlah bertiga pun gue cukup takut ada salah satu yang ga diterima karena tahun
sebelumnya di tempat yang sama hanya menerima dua.
Gue masih
bersyukur karena orang tua gue dengan berbaik hati membelikan buku. Meski mereka
juga rajin mengatakan “kamu ga makan buku,” tapi itu bukan masalah. Sekarang gue
sedang menamatkan The Hobbit. Kemarin
uang yang dikasi belum cukup untuk membeli semua serial si Tolkien. Gue juga
lagi mengincar CD Di Atas Rata-Rata, The Casual Vacancy, dan sebuah buku
(anak-anak?) yang lupa apa judulnya tapi menceritakan toko roti Follow Your Bliss. Nama toko rotinya aja
udah cukup menghangatkan hati gue untuk membacanya. Gue selalu menjauhi rak
buku para penggalau yang membuat gue bosan setengah mati. Setiap melangkah ke
bagian buku fantasi, gue merasa gerakan tubuh gue mirip penari.
Sedikit beban
gue lepas setelah menulis. Sedikit demi sedikit. Gue akan mendapatkan jawaban
yang gue cari, mungkin sesegeranya dalam hitungan hari. Bye bye J
Semangaaaaat ^^/
BalasHapusPasti bisa lalui itu semua..
Saya juga nulis kalo lagi sedih, ahhh.. Semua-semua suasana juga bawaannya pengen nulis. It heals :)
terima kasih :)
HapusCD di atas rata-rata ada di gramed botani loh, cari aja, semangat ya nda, gw aja sampe sekarang masih belom tau pasti PKL dimana :D
BalasHapusbismillah aja gue mah hahahhaha
Hapus