shutterstock.com |
Tanpa semangat
Andien menikmati sarapan yang disiapkan Bi Sumi di meja makan. Meja makan itu
selalu kosong. Hanya Andien yang setia mengisi, setiap pagi. Orang tuanya sudah
berangkat sejak pagi buta untuk menghindari macet di jalanan ibu kota. Kemudian
pulang ketika hari telah gelap dan Andien telah lelap. Di antara tegukan teh
manis dan kunyahan nasi goreng di mulutnya, Andien berbisik dalam hati,
bagaimana rasanya sarapan pagi bersama ayah bunda.
Dibiarkannya
rambut hitam legamnya diikat seadanya di tengkuk. Tanpa bedak atau parfum, ia
berangkat ke sekolah diantar Pak Diman yang setia mengantarjemputnya sejak TK. Mata
Andien menerawang keluar, melihat barisan kendaraan di jalan. Sepertinya ia akan
terlambat.
Satu bulan
lagi Andien akan mengikuti Ujian Nasional.
Selama tiga
tahun ia sekolah, bunda telah mempersiapkan banyak hal untuknya. Mulai dari
mendaftarkan les mata pelajaran, les bahasa asing, les balet, sampai les piano.
Menurut bunda, mengisi masa remaja Andien dengan segudang kegiatan akan banyak
manfaatnya. Membuat Andien yang pendiam nan pemalu mau tak mau berinteraksi
dengan sebayanya. Membuat Andien memiliki banyak pengalaman sekaligus keahlian.
Bunda lupa
akan satu hal.
Betapa lelahnya
menjadi seorang Andien yang baru pulang ke rumah pukul tujuh malam. Sementara teman-temannya
bisa bermain sepulang sekolah, ia harus mematuhi jadwal yang telah dibuatkan
bunda. Setiap kali teman-temannya mengajak main, Andien menolak dengan senyuman
sekaligus alasan.
“Aku mau
berangkat les.”
“Sekali-sekali
aja kamu bolos, bundamu juga ga akan tau. Bundamu sibuk kan? Ayolah Andien,
masak ga capek belajar terus?”
“Ga ah.
Aku udah ditunggu Pak Diman. Duluan ya teman-teman.”
Lama-lama
Andien menyadari jarang ada lagi teman-temannya yang menawari bermain. Mungkin mereka
bosan dengan penolakan Andien. Ia sadar itu. Namun ia merasa tidak punya
pilihan. Baginya, membolos itu pelanggaran kedisplinan. Ia ingat bagaimana
bundanya menasehati bahwa ayahnya sudah bekerja keras, mencari uang agar bisa
memenuhi kebutuhan hidup Andien. Kadang Andien bertanya-tanya, toh ia tidak
minta? Ia tidak menuntut didaftarkan les kemana-mana. Itu murni bukan
keinginannya.
“Andien,
kamu sudah terlambat tiga kali minggu ini,” ujar Bu Indah di ruangannya. Andien
menunduk. Tanpa sadar ia menggigit bibir.
“Kamu
dengar apa kata ibu, Andien?”
“Dengar,
bu.”
“Ini
surat buat orang tua kamu. Tapi sebelum itu, ibu mau bicara baik-baik sama
kamu. Kamu sakit? Cerita sama ibu.”
“Begini
bu.... saya...”
Tok tok
tok!
Pintu ruangan
Bu Indah diketuk. Tak lama kemudian Bu Indah pamit karena dipanggil kepala
sekolah. Andien bernafas lega. Entah jawaban apa yang harus ia berikan pada Bu
Indah.
Surat dari
Bu Indah tanpa sadar diremasnya . Buru-buru Andien memasukkan surat itu ke
dalam tasnya.
Malamnya,
dengan terbata, Andien meminta bunda datang ke sekolah besok.
“Buat
apa? Kamu kan ga pernah nakal di sekolah?”
“Bunda
ini gimana sih? Dipanggil wali kelas anaknya malah bilang anaknya ga pernah
nakal. Anak bunda ini kan anak yang manis. Mungkin Bu Indah cuma pengen silaturahmi
sama bunda,” ujar ayah sambil mengusap puncak kepala Andien. Andien tidak
menjawab. Ia takut. Bunda benar, ia tidak pernah nakal di sekolah. Tapi ia
tidak berani pula mengiyakan kata-kata ayah karena minggu ini ia bermasalah. Tiga
kali terlambat!
Esoknya,
bunda bicara empat mata dengan Bu Indah. Ketika meninggalkan sekolah, raut
wajah bunda terlihat sedih. Bunda tidak mau bicara. Andien semakin gugup. Ia tidak
punya alasan untuk terlambat karena ia selalu diantar jemput. Tapi bayangan Ujian
Nasional yang semakin dekat membuatnya membenci bangku sekolah. Ia bosan. Ia tidak
punya semangat!
Hari-hari
menjelang Ujian Nasional semakin dekat. Membuat Andien merasa semakin sesak. Beberapa
kali ia tidak masuk karena demam. Ia makin meragukan kemampuannya. Andien menghabiskan
waktu dengan melahap buku-buku soal yang ia beli secara impulsif. Agar fokus,
Andien mengurung diri di kamar. Ia lupa makan, lupa caranya bersenang-senang. Sudah
lama ia tdak menonton televisi atau mendengar radio. Ponselnya pun tak
tersentuh. Andien bagai membentengi diri.
Kemudian
hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Andien berulang kali memeriksa kotak
pensilnya. Menajamkan pensilnya. Melihat lalu menyimpan kembali kartu ujiannya.
“Jangan
takut. Kamu anak bunda. Kamu pasti bisa.”
Bunda mengecup
kening Andien. Hatinya berdesir. Justru melihat tatapan bunda dan ayah
membuatnya semakin gelisah. Sikap orang tuanya juga berubah. Mereka sengaja
tidak masuk kantor, menemani Andien sarapan, bahkan mengantar Andien ke
sekolah. Bi Sumi dan Pak Diman disuruh istirahat.
Andien duduk
paling depan di dekat pintu. Wajahnya terlihat pucat. Setelah pengawas
mempersilakan, ia membuka lembaran soal. Keringatnya mulai menitik. Mendadak ia
teringat penghapusnya yang tertinggal. Diperhatikannya lermbar jawaban
miliknya. Beberapa bulatan yang ia lingkari keluar dari garis. Pandangan Andien
mendadak gelap.